Kamis, 28 Juni 2012

Diambang Kegagalan?


Diambang Kegagalan?
Dinna Wisnu ;  Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina
Sumber :  SINDO, 27 Juni 2012


Apakah Indonesia di ambang kegagalan sebagai suatu negara? Wacana ini mengemuka seiring publikasi Indeks Negara Gagal dari The Fund for Peace yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-63 dari 177 negara. Cukup buruk. 

Dalam kategori yang sama dengan Indonesia ada Iran, Malawi, Kamboja, Lebanon, Laos, Filipina, Fiji, dan Tanzania. Kondisi terburuk 2012 ada di Somalia dan Kongo. Hasil studi tersebut spontan mengundang emosi dari sejumlah pihak. Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengatakan bahwa Indonesia mungkin punya kekurangan dalam hal efektivitas tata kelola pemerintahan, tetapi terlalu jauh jika disimpulkan sebagai negara gagal. Ia menyayangkan pernyataan sejumlah orang Indonesia yang sepakat dengan temuan The Fund for Peace karena tidak berpihak pada Indonesia.

Ciri Negara Gagal

Negara gagal (failed states) adalah terminologi dalam studi ilmu politik yang mendeskripsikan suatu kondisi di mana negara sebagai penanggung jawab dan pengelola suatu bangsa dan wilayah yang berdaulat tidak mampu memenuhi prinsip keadaban, kemanusiaan, ketertiban, dan kesejahteraan bagi warga negaranya hingga negeri itu terperangkap dalam kekerasan yang berkepanjangan. Robert Rotberg (2003) dalam bukunya, When States Fail, menyatakan bahwa negara dianggap gagal bila terperangkap dalam konflik dan kekerasan internal berkepanjangan dan pemerintahnya kehilangan legitimasi atau pengakuan dari warganya sebagai pemimpin sah di negeri itu.

Gagal perlu dibedakan dengan lemah. Negara masih bisa dijalankan oleh pemerintahan yang lemah karena menurut Robert Kaplan (2012), kebanyakan negara saat ini toh tak sanggup memenuhi tugasnya untuk melayani kepentingan publik dan terperangkap dalam korupsi dan ketamakan segelintir orang. Dalam teori, negara yang lemah justru dibutuhkan untuk memperkuat demokrasi karena pelembagaan ketidakpastian adalah karakter utama demokrasi yang khas (Przeworski 1991). Bedanya, dalam ketidakpastian demokrasi tetap ada koridor ketertiban umum, perlindungan hak asasi manusia, kelompok minoritas, dan kepastian hukum.

Dalam studi yang pernah ada, kegagalan suatu negara biasanya berpangkal pada model pengelolaan bangsa yang belum modern di mana perbedaan pendapat, konflik, dan kejahatan tidak diselesaikan dengan cara-cara hukum, tapi dengan kekuatan otot dan senjata. Lebih parah lagi bila negara bergeming menyaksikan warga saling baku hantam demi “mencari jalan keluar”. Kekerasan, menurut Rotberg, tidak harus menjadi indikasi negara gagal karena negara bisa saja memagari diri dengan segala macam ancaman, teror, dan kebrutalan sehingga warga tak punya kapasitas untuk melawan negara. Ini mengingatkan saya pada negara seperti Korea Utara.

Warga tidak punya medium untuk melakukan perubahan karena jalur perubahan sudah diputus oleh pihak berkuasa. Dalam konteks lain, negara gagal akan tega “menghisap darah” dari warga negaranya, termasuk melarikan dana publik, memburu, membunuh, membiarkannya kelaparan, atau melakukan genosida.

Keterbatasan Penelitian

Kembali pada studi yang dilakukan The Fund for Peace, ada 12 indikator sosial politik dan ekonomi yang dipakai dan kemudian diturunkan menjadi puluhan indikator pengenal ciri kegagalan suatu negara. Indikator itu ibarat sebuah jaring yang dilemparkan ke lautan informasi. Hasil tangkapannya kemudian diberi skor dan diolah menggunakan teknik content analysis. Hasilnya dicek ulang dengan menyandingkan skor tersebut dengan kondisi kualitatif terkini di negara itu, dilengkapi dengan pertimbangan pengamat.

Jadi, penelitian ini mencakup pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan analisis mendalam. Ini keunggulan studi ini, apalagi sumber data yang diambil ratusan jenis jumlahnya. Namun, seperti umumnya suatu penelitian, ada keterbatasan yang perlu dicatat oleh pembaca. Pertama, indikator turunan dari ke-12 indikator yang diyakini sebagai pertanda negara gagal sesungguhnya tidak satu jenis.

Ada tanda-tanda kegagalan negara yang: 1) sifatnya belum tentu terhindarkan (given) (contoh: musibah epidemi penyakit atau kekeringan), 2) merupakan hasil dari suatu tindakan (seperti tingkat malnutrisi, pembunuhan massal, ketergantungan pada dana asing), 3) menunjukkan model penanganan masalah oleh pemimpin negara (seperti penggunaan kekerasan oleh aparat negara, brutalitas polisi), dan 4) tren pertumbuhan masalah/hal-hal baik (seperti bertambahnya kelas menengah, dan konsentrasi kekayaan). Keempat jenis tanda ini tidak bisa dianggap sepenuhnya refleksi ketidakmampuan negara.

Content analysis tidak bisa mengenali perbedaan karakter dari keempat jenis klasifikasi indikator ini; semua dianggap sama dan ditotal saja. Jadi, bila sejumlah komponen punya skor tinggi, otomatis totalnya pun tinggi. Hanya, analisis macam ini membantu membandingkan lintas negara karena skor yang diperoleh hanya akan terlihat tinggi atau rendah bila disandingkan dengan skor negara lain. Akibatnya, jenis analisis ini perlu dipahami dalam posisi bersandingan dengan data dari negara lain; tidak boleh diartikan terpisah dari data negara lain yang dihitung di situ.

Kedua, karena data ini membidik peringkat bagi negara di seluruh dunia, tak terelakkan munculnya anomali. Ada sejumlah negara yang memenuhi indikator kegagalan, namun angkanya baru terlihat buruk bila dibandingkan dengan kelompok negara yang serupa atau lintas waktu di masa lampau. Negara-negara Eropa pascakrisis finansial 2008 misalnya sebenarnya bisa dikategorikan negara gagal pada 2012 karena dalam sejumlah kasus terjadi kebangkrutan ekonomi yang membuahkan banyak kegagalan ketertiban umum dan pelayanan publik di tingkat komunitas.

Jadi, para pejabat dan publik yang merespons studi The Fund for Peace harusnya tidak terjerat emosi. Suatu penelitian sebaiknya dilihat dalam proporsinya untuk menyajikan informasi pembanding terbaru. Tidak pernah ada kata terlalu dini untuk memublikasikan suatu hasil studi karena tujuan studi adalah memprovokasi wacana.

Profil Indonesia

Bagi Indonesia, skor terburuk adalah tekanan demografis yang komponennya terdiri atas 21 indikator turunan; mulai dari jumlah kasus HIV/AIDS, kemampuan mengendalikan penyakit, epidemi penyakit, bencana kekeringan, dan malnutrisi. Skor untuk indikator ini sebenarnya sama dengan skor Kamboja, Filipina, Papua Nugini, dan Bolivia. Skor terbaik Indonesia adalah untuk kemiskinan dan penurunan ekonomi, yang setara dengan kondisi di Vietnam, Ghana, dan Romania.

Jika dibandingkan dengan negara ASEAN, kondisi di Thailand dan Malaysia lebih baik karena jumlah kemiskinan yang lebih rendah dan jumlah warga yang meninggalkan negeri itu jauh lebih sedikit dibandingkan di Indonesia. Skor itu menutup kekurangan poin dalam perlindungan HAM atau keterbelahan elite. China ada di tujuh peringkat lebih baik dari Indonesia. Namun, sebenarnya China punya nilai buruk dalam tekanan demografi, perlindungan HAM, penanganan keluhan warga, dan pembangunan yang tidak merata.

Skor China terkatrol karena poin bagus dalam perbaikan kemiskinan, bersatunya aparat pemerintahan di bawah komando negara, dan rendahnya pengungsi. Semoga studi ini membuat Indonesia mawas diri. Pada akhirnya segala yang dilakukan di tataran domestik diukur pula oleh negara-negara lain sebagai wujud konkret keberpihakan negara pada warga, keadaban, dan kesejahteraan.

1 komentar:

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    BalasHapus