Apologetika
Negara Gagal
Yudi
Latif ; Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
Sumber :
KOMPAS, 26 Juni 2012
Apologetika adalah suatu sikap untuk
mengambil sebagian pandangan yang memperkuat pendakuan (klaim) seraya menolak
sebagian lain yang melemahkan. Seperti sikap pemerintah yang begitu doyan
mengumbar penilaian dunia luar yang menguntungkan, tetapi begitu reaktif
menolak penilaian lain yang mementalkan klaim keberhasilannya.
Sikap seperti itu melahirkan standar ganda.
Di satu sisi, pemerintah membanggakan keberadaan Indonesia dalam kelompok G-20.
Di sisi lain, dalam menetapkan ukuran kemiskinan di negeri ini, pemerintah
tidak mengikuti standar yang dipakai dalam kelompok elite itu, tetapi memakai
ukuran yang berlaku di negara-negara terbelakang.
Pemerintah bangga dengan penilaian bahwa
Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi
memicingkan pandangan terhadap Indeks
Demokrasi Global dari Economist Intelligence Unit pada 2011 yang
menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 167 negara yang diteliti; jauh di
bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand
(57). Indonesia masuk kategori flawed
democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, dengan pemilu yang
tidak bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta
keterancaman pluralisme.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi terus
dirayakan seraya melupakan kemunduran Indonesia dalam indeks korupsi yang pada
tahun ini menempati urutan ke-100 dari 182 negara, juga dalam Indeks
Pendayagunaan SDM yang menempatkan Indonesia di urutan ke-124 dari 187 negara.
Juga dilupakan laporan suatu survei yang menempatkan Jakarta sebagai salah satu
dari 10 kota yang paling dibenci di dunia.
Sikap apologetika, menempatkan penilaian luar
sebagai alat pencitraan, bukan sarana mawas diri. Sikap seperti itu mengekang pencapaian
kebenaran dan kedewasaan. Kebenaran diraih melalui ketidaktertutupan. Adapun
kedewasaan ditempa melalui kesediaan menginsafi sisi terlemah dari diri
sendiri.
Celakanya, kecenderungan pemerintah untuk
menutupi kenyataan dan menyadari kelemahannya itu diberi peneguhan oleh
akademisi lingkar dalam istana. Jika Joseph Stiglitz menganjurkan pemimpin
politik mau terlibat dalam forum-forum ilmiah agar kebijakannya bersifat
obyektif, para ilmuwan di lingkaran dalam istana justru cenderung mengabaikan
sikap kritis dan obyektivitas di hadapan kuasa.
Sikap defensif terhadap kritik dan
obyektivitas itulah yang membuat permasalahan tidak sungguh-sungguh diatasi,
tetapi ditutupi oleh rekayasa pencitraan. Pada awal Februari tahun lalu,
tokoh-tokoh lintas agama dan Forum Rektor telah mengeluarkan peringatan akan
situasi genting yang mengancam bangsa, yakni posisi Indonesia di ambang negara
gagal. Namun, peringatan seperti itu justru ditanggapi sinis oleh ilmuwan di
lingkaran dalam istana yang menuduhnya sebagai celoteh busuk ”gagak hitam”.
Ternyata peringatan tokoh-tokoh bangsa itu
bukanlah isapan jempol semata. Berdasarkan publikasi The Fund for Peace 2012, posisi Indonesia dalam Failed States Index memburuk, dari
urutan ke-64 pada tahun lalu menjadi urutan ke-63 tahun ini.
Yang lebih merisaukan bukanlah penurunan
indeks itu sendiri, melainkan cara pemerintah dan ilmuwan lingkaran dalam
istana menanggapi indeks tersebut. Sikap apriori dan kritisisme tanpa pemahaman
mendalam atas basis penilaian indeks tersebut dikembangkan secara reaktif
dengan maksud melemahkan validitasnya.
Padahal, dengan mengedepankan sikap hanif (membuka diri pada kebenaran)
orang awam pun dengan mudah bisa meraba berbagai fenomena negara gagal di
negeri ini. Ciri-ciri Indonesia sebagai negara di ambang kegagalan terlihat
dari performa pemerintah pusat yang lemah atau tidak efektif dalam
mengendalikan kabinet dan pemerintah daerah, kelumpuhan pelayanan publik,
penyebarluasan korupsi dan kriminalitas, eksodus buruh migran, dan memburuknya
kesenjangan ekonomi.
Menurut Peter Burnell dan Vicky Randall
(2008), negara gagal dicerminkan oleh ketidakmampuan mengorganisasi aparatur
secara efektif, yang mengarah pada kekacaubalauan politik (political disorder). Hal itu antara lain ditandai ketidakjelasan otoritas
politik, korupsi merajalela, hukum tidak bisa diterapkan.
Karena itu, kritik bukan ditanggapi defensif,
melainkan diterima sebagai peringatan dini agar penyelenggara negara
bersungguh-sungguh menyelesaikan masalah nyata, dan tidak berhenti sebagai wacana
pencitraan semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar