Rabu, 27 Juni 2012

Apologetika Negara Gagal


Apologetika Negara Gagal
Yudi Latif ;  Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
Sumber :  KOMPAS, 26 Juni 2012


Apologetika adalah suatu sikap untuk mengambil sebagian pandangan yang memperkuat pendakuan (klaim) seraya menolak sebagian lain yang melemahkan. Seperti sikap pemerintah yang begitu doyan mengumbar penilaian dunia luar yang menguntungkan, tetapi begitu reaktif menolak penilaian lain yang mementalkan klaim keberhasilannya.
Sikap seperti itu melahirkan standar ganda. Di satu sisi, pemerintah membanggakan keberadaan Indonesia dalam kelompok G-20. Di sisi lain, dalam menetapkan ukuran kemiskinan di negeri ini, pemerintah tidak mengikuti standar yang dipakai dalam kelompok elite itu, tetapi memakai ukuran yang berlaku di negara-negara terbelakang.

Pemerintah bangga dengan penilaian bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi memicingkan pandangan terhadap Indeks Demokrasi Global dari Economist Intelligence Unit pada 2011 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 167 negara yang diteliti; jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Indonesia masuk kategori flawed democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, dengan pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralisme.

Pencapaian pertumbuhan ekonomi terus dirayakan seraya melupakan kemunduran Indonesia dalam indeks korupsi yang pada tahun ini menempati urutan ke-100 dari 182 negara, juga dalam Indeks Pendayagunaan SDM yang menempatkan Indonesia di urutan ke-124 dari 187 negara. Juga dilupakan laporan suatu survei yang menempatkan Jakarta sebagai salah satu dari 10 kota yang paling dibenci di dunia.

Sikap apologetika, menempatkan penilaian luar sebagai alat pencitraan, bukan sarana mawas diri. Sikap seperti itu mengekang pencapaian kebenaran dan kedewasaan. Kebenaran diraih melalui ketidaktertutupan. Adapun kedewasaan ditempa melalui kesediaan menginsafi sisi terlemah dari diri sendiri.

Celakanya, kecenderungan pemerintah untuk menutupi kenyataan dan menyadari kelemahannya itu diberi peneguhan oleh akademisi lingkar dalam istana. Jika Joseph Stiglitz menganjurkan pemimpin politik mau terlibat dalam forum-forum ilmiah agar kebijakannya bersifat obyektif, para ilmuwan di lingkaran dalam istana justru cenderung mengabaikan sikap kritis dan obyektivitas di hadapan kuasa.

Sikap defensif terhadap kritik dan obyektivitas itulah yang membuat permasalahan tidak sungguh-sungguh diatasi, tetapi ditutupi oleh rekayasa pencitraan. Pada awal Februari tahun lalu, tokoh-tokoh lintas agama dan Forum Rektor telah mengeluarkan peringatan akan situasi genting yang mengancam bangsa, yakni posisi Indonesia di ambang negara gagal. Namun, peringatan seperti itu justru ditanggapi sinis oleh ilmuwan di lingkaran dalam istana yang menuduhnya sebagai celoteh busuk ”gagak hitam”.

Ternyata peringatan tokoh-tokoh bangsa itu bukanlah isapan jempol semata. Berdasarkan publikasi The Fund for Peace 2012, posisi Indonesia dalam Failed States Index memburuk, dari urutan ke-64 pada tahun lalu menjadi urutan ke-63 tahun ini.

Yang lebih merisaukan bukanlah penurunan indeks itu sendiri, melainkan cara pemerintah dan ilmuwan lingkaran dalam istana menanggapi indeks tersebut. Sikap apriori dan kritisisme tanpa pemahaman mendalam atas basis penilaian indeks tersebut dikembangkan secara reaktif dengan maksud melemahkan validitasnya.

Padahal, dengan mengedepankan sikap hanif (membuka diri pada kebenaran) orang awam pun dengan mudah bisa meraba berbagai fenomena negara gagal di negeri ini. Ciri-ciri Indonesia sebagai negara di ambang kegagalan terlihat dari performa pemerintah pusat yang lemah atau tidak efektif dalam mengendalikan kabinet dan pemerintah daerah, kelumpuhan pelayanan publik, penyebarluasan korupsi dan kriminalitas, eksodus buruh migran, dan memburuknya kesenjangan ekonomi.

Menurut Peter Burnell dan Vicky Randall (2008), negara gagal dicerminkan oleh ketidakmampuan mengorganisasi aparatur secara efektif, yang mengarah pada kekacaubalauan politik (political disorder). Hal itu antara lain ditandai ketidakjelasan otoritas politik, korupsi merajalela, hukum tidak bisa diterapkan.

Karena itu, kritik bukan ditanggapi defensif, melainkan diterima sebagai peringatan dini agar penyelenggara negara bersungguh-sungguh menyelesaikan masalah nyata, dan tidak berhenti sebagai wacana pencitraan semata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar