Rabu, 27 Juni 2012

Hendardji Soepandji : Ingin Berdenyut Bersama Warga di Kota yang Layak Dihuni


Hendardji Soepandji : Ingin Berdenyut Bersama Warga di Kota yang Layak Dihuni
Madina Nusrat dan Fransisca Romana ;  Wartawan KOMPAS
Sumber :  KOMPAS, 26 Juni 2012


Kota Jakarta yang menjadi pusat denyut kehidupan Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Seiring usia dan perkembangannya, beban yang ditanggung Jakarta semakin berat. Di mata calon gubernur nomor urut dua, Hendardji Soepandji, sudah saatnya Jakarta perlu diremajakan agar menjadi kota megapolitan yang layak huni. Peremajaan kota menjadi pilihan bagi Hendardji yang bertekad hanya memimpin Jakarta selama satu periode. ”Tata kota Jakarta perlu ditata ulang dengan berbasis pada peningkatan ruang publik,” ujar Hendardji.

Memanfaatkan momentum perekonomian dunia yang kini mengarah ke Asia, Jakarta harus bisa menjadi kota yang dibangun dengan dukungan perekonomian yang kuat. Caranya, dengan mengembangkan pola ekonomi makro dan mikro.
Itulah sikap tegas yang disampaikan Hendardji. Dalam skala makro, menurutnya, Jakarta harus bisa menjadi akses ekonomi nasional dan internasional. ”Sebab itu, Jakarta harus membangun infrastruktur pendukungnya. Dibandingkan dengan beberapa kota lain di dunia, Jakarta sebenarnya sudah lebih unggul 20 tahun. Tahun 1990, Bangkok belum punya jalan tol, Jakarta sudah. Tetapi, sekarang, mereka sudah punya subway, Jakarta belum punya,” katanya.


Dalam skala mikro, Hendardji merasa bahwa warga Jakarta harus menjadi pelaku ekonomi sektor riil, bukan sekadar jadi pelayan. Sektor ekonomi kerakyatan itu ditandai dengan hidupnya pasar tradisional, usaha kecil menengah, dan pedagang kaki lima.
Jumlah warga kelas menengah ke bawah di Jakarta mencapai 70 persen, sementara warga menengah ke atas hanya 30 persen. ”Lihat saja jumlah mal lebih banyak daripada jumlah pasar tradisional. Jumlahnya harus dirasionalisasi,” ujar Hendardji.
Menurut dia, saat ini ekonomi makro dan ekonomi mikro di Jakarta belum berjalan sebagaimana mestinya. Rencana detail tata ruang yang ada belum mewadahi semua sektor ekonomi agar bergerak dengan semestinya.

”Saya keliling ke 267 kelurahan di Jakarta dan selalu saya temukan warga miskin. Pendapatan mereka hanya Rp 300.000 per bulan,” katanya.

Guna menjembatani kesenjangan itu, prioritas Hendardji adalah memperbaiki seluruh fasilitas publik. Salah satu persoalan yang menjadi perhatian Hendardji adalah transportasi yang aman, nyaman, dan terjangkau. Seseorang yang naik transportasi umum seharusnya transit tak lebih dari dua kali. Kalau transportasi murah, biaya hidup pun tentu murah.

Untuk mewujudkannya, Hendardji menawarkan konsep untuk memperpendek jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja atau sekolah. ”Konsep itu sudah saya jalankan untuk kawasan Kemayoran. Kemayoran menjadi satu-satunya tempat yang tidak macet di Jakarta. Orang tinggal, bekerja, sekolah, rekreasi, belanja, dan olahraga dilakukan di satu kawasan,” ujar Hendardji, yang pernah satu tahun menjadi Direktur Utama Pusat Pengelola Kompleks Kemayoran.

Hendardji akan mengupayakan agar orang bekerja tidak keluar dari kecamatannya dan orang bersekolah tidak perlu keluar dari kelurahannya. Dengan memperpendek jarak, terbukti kemacetan bisa diatasi.


Konsep pembangunan vertikal juga menjadi strategi Hendardji untuk menata dan meremajakan kota. Seiring pembangunan rumah susun, dibangun juga fasilitas di sekitarnya. Misalnya, lantai 1 rusun digunakan sebagai tempat usaha, sedangkan lantai 2 ke atas untuk hunian. Di sekitar rusun juga dibangun sekolah dan puskesmas. Dengan begitu, warga tidak perlu pergi jauh-jauh dari tempat tinggalnya.
”Anggaran untuk itu ada di 17 kementerian. Memang anggarannya kecil-kecil, tetapi kalau dikali 17, akan menjadi banyak juga,” kata Hendardji.

Bukan Gratis

Masalah pendidikan dan kesehatan tak luput dari perhatian Hendardji. Berdasarkan perhitungan dia, ada 800.000 orang hampir miskin di Jakarta. Kalau sakit 3-4 hari saja, mereka sudah jadi miskin. Untuk itu, warga miskin akan diberikan asuransi yang diambilkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara warga mampu bisa membiayai sendiri biaya kesehatannya. Dengan begitu, dana dari APBD dapat digunakan untuk membangun fasilitas kesehatan.

Bagi Hendardji, masalah pendidikan dan kesehatan tak terletak pada biaya gratis, tetapi agar semua warga bisa terlayani dengan baik dan mendapatkan pelayanan yang berkualitas.

”Tugas pemerintah bukan menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis, karena itu tidak ada dalam konstitusi, tetapi bagaimana meningkatkan kualitasnya. Kalau sekolah gratis, terus jadi bodoh, bagaimana? Bagaimana pendidikan mau berkualitas kalau perpustakaan saja tidak punya?” katanya.

Di mata Hendardji, tugas pemerintah adalah memberikan kemudahan bagi semua warganya. Berpegang dari tugas itu, Hendardji bermaksud menghidupkan pelayanan publik selama 24 jam. Termasuk juga menggalakkan kegiatan kesenian, olahraga, dan hiburan yang bergerak pada malam hari. Kegiatan semacam ini juga terbukti bisa turut menggerakkan perekonomian masyarakat. Jika ekonomi masyarakat bergerak dan berputar, jumlah angka penganggur pun bisa dikurangi.

Ruang Publik

Keberadaan fasilitas dan ruang publik di sebuah kota merupakan sebuah keharusan. Itu sebabnya, fasilitas publik ini harus terus dibenahi, termasuk jumlah ruang publik juga akan ditambah. Menurut Hendardji, dengan bertambahnya ruang publik, ruang terbuka hijau pun akan bertambah. Ia menargetkan ruang terbuka hijau ini sebanyak 30 persen dari seluruh ruang yang ada di Jakarta.

Bangunan yang menyalahi aturan, seperti di pinggir kali dan pinggir rel, akan dibongkar dan direlokasi. Warga pun diminta untuk aktif membuat ruang terbuka hijau di tempat tinggalnya, misalnya dengan membuat tempat resapan air. Dengan bertambahnya ruang terbuka hijau, Hendardji berharap persoalan banjir yang selalu menghantui Jakarta bisa diatasi.

Ruang publik itu, menurut Hendardji, bisa sekaligus mencegah kriminalitas. Sarana olahraga, misalnya, dibangun untuk memberi tempat menyalurkan energi bagi yang gemar tawuran. Ruang publik perlu dibangun agar masyarakat tidak terkotak-kotak. Warga akan melebur karena mereka punya ruang untuk berinteraksi satu sama lain. Di ruang publik itu pula, warga bisa bebas menyalurkan ekspresinya.
”Selama ini Pancasila mati suri. Masyarakat sudah bergerak ke arah patembayan, bukan lagi sebuah paguyuban yang bergotong-royong. Pancasila harus dihidupkan lagi. Caranya ya lewat interaksi di ruang publik itu. Toleransi tidak bisa hanya diomongkan, harus dilakukan,” kata Hendardji.

Untuk membangun kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, Hendardji akan meningkatkan kehadiran pemimpin di masyarakat supaya warga merasa dekat. Melalui ruang-ruang publik yang ada, Hendardji akan hadir menyapa masyarakat.

”Dengan begitu, kami membangun kepercayaan terhadap pemerintah melalui keterbukaan dan komunikasi yang jujur. Kami akan dekati juga tokoh pemuda dan tokoh masyarakat supaya menjadi efek deterens bagi para pelanggar aturan,” katanya.
Sebagai calon gubernur yang maju melalui jalur perseorangan, Hendardji tetap akan membangun komunikasi dengan partai politik. Meskipun demikian, dia tidak akan tunduk atau mau dikendalikan oleh partai politik.

”Meskipun kami dari jalur independen, tak berarti kami mengikuti semua yang mereka perintahkan. Pemimpin harus punya karakter,” ujarnya dengan tegas.

Kalau perlu, lanjut Hendardji, gubernur DKI Jakarta bisa diberi jabatan sebagai RI 3 supaya ada kedekatan komunikasi dengan pusat dan bisa berbagi beban dengan daerah penyangga. Hal itu karena Jakarta merupakan kota megapolitan yang tidak bisa lepas dari wilayah sekitarnya.

Anggaran daerah juga akan dibuka supaya masyarakat bisa memberi usulan dan masukan kepada parlemen. Tak hanya program yang dibeberkan, tetapi setiap uang yang digunakan pemerintah pun akan diungkapkan kepada rakyat sebagai alat untuk mengontrol penyalahgunaan anggaran.

Dengan segala upaya itu, Hendardji berharap Jakarta menjadi kota yang agamis, yang warganya saling menghormati dan saling menghargai, serta tidak arogan. Warga kota sadar dengan yang dilakukannya, bukan sekadar karena tekanan. Kebersihan, keindahan, olahraga, seni, dan budaya pun harus menjadi sikap hidup masyarakat. Dengan demikian, Jakarta layak menyandang sebutan megapolitan yang layak huni.

Lalu, apakah modal yang dimilikinya cukup untuk mewujudkan Jakarta sebagai megapolitan yang layak huni, apalagi dia berasal dari latar belakang tentara? ”Sebagai tentara, saya terbiasa tertib dan bersih. Saya pernah jadi komandan, saya juga Ketua Umum PB Forki, dan saya mendapat dukungan penuh untuk maju. Konsep tata kota saya punya dari pengalaman sebagai Dirut Kemayoran,” ujarnya.

Hendardji tetap membuka ruang kerja sama dengan mitra kerja. ”Tapi, tidak dikendalikan mereka. Mereka yang harus menjalankan konsep saya, bukan sebaliknya. Saya rasa tidak akan ada halangan,” katanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar