Kamis, 28 Juni 2012

Manuver Biaya Politik ala Nasdem

Manuver Biaya Politik ala Nasdem
Mundzar Fahman ;  Doktor Ilmu Politik, Berpengalaman jadi Wartawan
Sumber :  JAWA POS, 27 Juni 2012


ADA ide ''edan-edanan'' dari Partai Nasional Demokrat alias Nasdem dalam menghadapi Pemilu 2014. Partai politik baru itu akan mendanai para kadernya yang maju sebagai calon anggota legislatif. Anggaran yang disiapkan Rp 3 triliun. Setiap calon didanai Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar. (Jawa Pos 25 Juni 2012).

Ada yang menilai, ide itu bagus. Alasannya, calon yang potensial terpilih, tetapi kurang memiliki amunisi (dana), bisa dibantu. Selain itu, dengan adanya dana sebesar itu, yang akan dibelanjakan di sekitar masa kampanye pemilu, berarti uang yang beredar di masyarakat juga sangat besar. Masyarakat bakal ikut kecipratan berkah di masa kampanye pemilu. Lagi pula, dana kampanye partai akan lebih mudah dikontrol.

Tetapi, ada sisi-sisi mengkhawatirkan dari gagasan Nasdem itu. Pertama, rasanya mustahil partai bakal menggratiskan semua dana yang sudah dikucurkan untuk calegnya tersebut. Partai akan meminta ganti kepada calegnya, seluruhnya atau sebagian (misalnya, 50 persen). Baik ganti dalam bentuk duit cash yang bisa diangsur maupun ganti dalam bentuk proyek-proyek dari caleg selama menjabat kepada partainya.

Ambil contoh, Partai Nasdem mendanai caleg A sebesar Rp 5 miliar. Setelah si caleg terpilih, partai mewajibkan kadernya mengembalikan separo. Berarti, Rp 2,5 miliar dengan cara diangsur selama lima tahun menjabat. Jika itu yang terjadi, kader partai yang terpilih harus mengangsur kepada partainya sekitar Rp 500 juta per tahun atau sekitar Rp 42 juta per bulan.

Nah, jika gaji anggota DPR selama ini sekitar Rp 65 juta per bulan, tentunya sangat berat bagi si kader partai jika harus menyisihkan Rp 42 juta dari gajinya itu untuk dibayarkan kepada partainya. Apalagi jika dana yang dikucurkan partai mencapai Rp 10 miliar untuk seorang calon dan partai meminta ganti seratus persen. Tentu, bisa dibayangkan betapa beratnya bagi kader untuk bisa membayar itu jika hanya mengandalkan dari gaji resmi.

Lalu, bagaimana jika si kader tidak perlu mengganti dengan duit cash, tetapi dengan proyek? Menurut saya, dampaknya kurang lebih sama. Artinya, sama-sama berat bagi si kader. Mengapa?

Jika pengembalian kepada partai tersebut dalam bentuk proyek, si kader akan sibuk merekayasa proyek. Akhirnya, kader partai yang terpilih di DPR tidak punya waktu dan pikiran yang cukup untuk memikirkan bangsa dan rakyat yang sudah memilihnya. Kader partai sibuk mencari dan merekayasa proyek-proyek untuk upeti partainya. Akhirnya, yang dipikirkan kader itu hanya proyek, proyek, dan proyek. Tiada hari tanpa berpikir tentang proyek untuk partainya.

Kedua, dengan didanai segede itu oleh partai, sang kader akan menjadi terlalu bergantung kepada partainya. Kader merasa berutang budi yang sangat besar kepada partainya. Kader bakal selalu bersikap sendiko dhawuh, atau sami'na wa atha'na, patuh secara mutlak kepada kehendak partainya. Kader terlalu takut di-recall.

Kondisi seperti itu, tentu saja, sangat mengkhawatirkan. Jika gaji anggota dewan banyak tersedot untuk membayar utang kepada partai sehingga mengalami defisit keuangan, ujung-ujungnya mereka akan menggunakan jurus dewa mabuk agar bisa memenuhi kekurangannya. Jika sudah seperti itu, lalu apa yang bakal terjadi? Segala cara akan dilakukan, termasuk korupsi. Menurut auditor BPK-RI Lukman Hakim, ada empat faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Yaitu, faktor kebutuhan, tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi.

Sekarang ini sudah bukan rahasia lagi bahwa wakil rakyat kita terus mencari celah untuk memenuhi kebutuhan mereka, sekaligus untuk lebih mempertebal kantong mereka. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah memperbanyak kunjungan kerja, baik ke luar negeri maupun dalam negeri. Kegiatan bimtek (bimbingan teknis) untuk meningkatkan kualitas diri mereka juga dimanfaatkan untuk mempertebal kantong. Di daerah-daerah, dana jasmas (jaring aspirasi masyarakat) pun digunakan untuk membuat rekening mereka kian gendut. Di DPR, diduga ada praktik bagi-bagi proyek senilai Rp 7,7 triliun yang dilakukan oleh anggota dewan. Salah satu terdakwanya adalah Wa Ode Nurhayati, anggota dewan. Di DPRD Surabaya diduga ada kasus penyimpangan dana bimtek untuk anggota dewan. Di DPRD Bojonegoro diduga ada kasus penyunatan dana jasmas yang melibatkan anggota dewan setempat.

Yang juga layak dikhawatirkan dari ide ''gila-gilaan'' Nasdem tersebut, pendanaan yang besar dari partai untuk calegnya itu mengesankan Nasdem menyetujui praktik money politics di masyarakat.

Realitas di sebagian masyarakat selama ini, warga melakukan transaksional dalam pemilu. Mereka mau memberikan suara di TPS (tempat pemungutan suara) jika suara mereka dihargai dengan uang. Ungkapan: ''Nek ono duite yo budhal (Jika ada uangnya, ya berangkat ke TPS)'' sudah akrab di telinga masyarakat. Ungkapan itu tidak sekadar joke atau celetukan, tetapi tenanan (serius).

Nah, Nasdem seolah memahami betul realitas yang terjadi di dalam masyarakat kita selama ini. Mestinya Nasdem berusaha meniadakan atau sekadar mengurangi itu. Bukan malah ikut menyuburkan.

Tetapi, rencana Nasdem itu baru sebatas wacana. Memang belum waktunya direalisasikan. Juga belum tentu akan dilaksanakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar