Jihad
Koin untuk KPK
Siti
Marwiyah ; Dekan
Fakultas Hukum Universitas dr Soetomo Surabaya,
Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi DPD Jatim
Sumber :
JAWA POS, 27 Juni 2012
''BANGSA penakut tidak boleh merdeka dan tidak
berhak merdeka. Ketakutan adalah penasihat yang sangat curang untuk kemerdekaan.''
Demikian penegasan Andre Colin. Itu mengingatkan setiap warga bangsa supaya tak
bermental penakut. Kalau suatu bangsa masih lebih sering menunjukkan mental
penakut, bangsa tersebut akan terus terjajah alias tidak pantas merdeka.
Negeri ini sudah sekian lama ''dijajah'' koruptor, dibikin porak poranda atau dibuat banyak kehilangan keberdayaan. Rakyat masih bersahabat erat dengan kemiskinan, kefakiran, kekurangan gizi, dan kelaparan, misalnya, karena tak lepas dari peran kolonialisasi yang dilakukan koruptor.
Koruptor membuat buram wajah negeri ini. Tidaklah mutlak kesalahan koruptor, tetapi juga karena kesalahan kita yang bermental penakut dalam melawan koruptor. Koruptor berhasil menyebarkan ketakutan yang mereduksi independensi dan mengooptasi moralitas elemen-elemen strategis sosial serta struktural.
Salah satu instrumen politik yang sering digunakan komunitas dewan, minimal dijadikan senjata untuk ''memengaruhi'' institusi strategis semacam KPK, adalah soal aggaran. Besaran anggaran dan realisasinya memang bisa ditempatkan sebagai instrumen memperkuat atau memperlemah lembaga-lembaga yang dianggap bisa membuat mereka ''susah''. Kecurigaan ini logis saja. Sebab, kehadiran KPK telah banyak menampar citra dewan lantaran banyaknya anggota dewan yang menjadi tersangka, terdakwa, terpidana, hingga narapidana, termasuk yang menjadi buron.
Belum lama ini, survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menyatakan bahwa DPR merupakan lembaga terkorup. Menurut anggota Komisi VII DPR Dewi Ariyani, ada beberapa faktor yang membuat seorang anggota DPR melakukan korupsi. Pertama, niat atau serakah. Kedua, sistem yang membuka peluang. Ketiga, kebutuhan, baik dari diri sendiri maupun parpol. Keempat, tekanan.
Kondisi dewan seperti itulah yang membuat mereka terposisikan secara tidak langsung sebagai musuh KPK. Indikasi disharmonisasi hubungan antara dewan dan KPK dapat terbaca melalui pola pelemahan yang dikreasikan dewan seperti pemangkasan atau ''pengambangan'' anggaran.
Sejak lima tahun terakhir, permintaan anggaran untuk pembangunan gedung baru KPK tak pernah disetujui DPR. Bahkan, anggota Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menyatakan, anggaran baru akan diberikan jika status KPK berubah menjadi lembaga tetap, bukan ad hoc.
Menanggapi statemen itu, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan bahwa pihaknya akan menggalang koin pembangunan gedung dari kalangan masyarakat. Akibat panggilan yang menggugah kesadaran nurani ini, sejumlah elemen akhirnya berbondong-bondong mengirimkan ''koin'' ke KPK (Jawa Pos, 26 Juni 2012).
Busyro memang meyakini bahwa masyarakat pasti akan terus tergerak untuk membantu. KPK akan lebih berfokus pada pembangunan fondasi birokrasi negara berbasis sistem integritas nasional (SIN) yang sejalan dengan PP No 55 Tahun 2012 sekaligus mencegah korupsi secara sistemik, integral, dan komprehensif.
Problem sepele lebih sering dijadikan dalih oleh dewan untuk menolak penguatan KPK. Misalnya, stigma bahwa KPK hanya lembaga ad hoc. Padahal, dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK bahkan tidak disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc. Dalam pasal 3 UU No 30 Tahun 2002, KPK justru ditegaskan sebagai lembaga negara independen.
Pejabat KPK sudah mengungkapkan, gedung yang saat ini ditempati sudah tak memadai untuk menampung seluruh pegawai KPK yang mencapai 730 orang. Saat ini, gedung itu ditempati 650 orang. Sisanya, mereka terpaksa berkantor di dua gedung lain. Padahal, gedung tersebut hanya berkapasitas 350 orang.
Pertengahan Maret lalu, KPK meminta Komisi III DPR menghapus tanda bintang atau memberikan persetujuan atas rencana pembangunan gedung baru KPK. Total biaya pembangunan gedung baru itu mencapai Rp 225,7 miliar.
Ketika nanti gedung KPK memang bisa didirikan berkat sumbangan sukarela masyarakat, tuntutan moral terhadap KPK semakin besar. Tidak berarti ketika gedung itu dibangun dengan dana negara tuntutan terhadap kinerja KPK tidak besar. Tetapi, karena sudah berani menerima kontribusi finansial dari rakyat, KPK juga wajib menunjukkan kinerjanya yang bersifat sangat istimewa (extra-ordinary) dalam penanggulangan korupsi.
Pemberian koin oleh rakyat kepada KPK merupakan apresiasi publik yang wajib dibaca secara cerdas oleh KPK. Publik tidak menginginkan politik perlawanan terhadap koruptor ini berjalan setengah hati, apalagi diskriminatif. Institusi para mujahid koruptor ini tidak boleh melemah hanya gara-gara urusan gedung. Masyarakat sangat cinta KPK. Kita tentu belum lupa ketika ''sejuta Facebookers'' ikut memengaruhi alur jagat peradilan saat KPK (''cicak'') berhadapan dengan ''buaya'' (pembesar kepolisian).
Keinginan publik dalam kasus tersebut dapat dibaca sebagai bentuk ''jihad'' terhadap koruptor atau siapa pun yang ingin mengayomi dan membingkai koruptor. Publik tidak menghendaki negeri ini terus-menerus diacak-acak atau dibuat semakin sengkarut oleh ulah koruptor. Masyarakat sudah geram kepada elite politik yang menebar duri bagi upaya pembersihan penyakit penyalahgunaan kekuasaan. Seperti yang ditulis Mahmoud Husen (2010), masyarakat yang berani melakukan reaksi terhadap koruptor merupakan gambaran masyarakat yang tidak merelakan kehancuran konstruksi peradaban.
Koin untuk gedung KPK tidaklah semata ditujukan untuk memperkuat sarana fisik bagi kinerja KPK, melainkan sebagai dukungan moral. Ini merupakan dukungan fundamental bahwa KPK wajib serius dan pantang lemah syahwat dalam menghadapi segala bentuk ulah koruptor. ●
Negeri ini sudah sekian lama ''dijajah'' koruptor, dibikin porak poranda atau dibuat banyak kehilangan keberdayaan. Rakyat masih bersahabat erat dengan kemiskinan, kefakiran, kekurangan gizi, dan kelaparan, misalnya, karena tak lepas dari peran kolonialisasi yang dilakukan koruptor.
Koruptor membuat buram wajah negeri ini. Tidaklah mutlak kesalahan koruptor, tetapi juga karena kesalahan kita yang bermental penakut dalam melawan koruptor. Koruptor berhasil menyebarkan ketakutan yang mereduksi independensi dan mengooptasi moralitas elemen-elemen strategis sosial serta struktural.
Salah satu instrumen politik yang sering digunakan komunitas dewan, minimal dijadikan senjata untuk ''memengaruhi'' institusi strategis semacam KPK, adalah soal aggaran. Besaran anggaran dan realisasinya memang bisa ditempatkan sebagai instrumen memperkuat atau memperlemah lembaga-lembaga yang dianggap bisa membuat mereka ''susah''. Kecurigaan ini logis saja. Sebab, kehadiran KPK telah banyak menampar citra dewan lantaran banyaknya anggota dewan yang menjadi tersangka, terdakwa, terpidana, hingga narapidana, termasuk yang menjadi buron.
Belum lama ini, survei Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) menyatakan bahwa DPR merupakan lembaga terkorup. Menurut anggota Komisi VII DPR Dewi Ariyani, ada beberapa faktor yang membuat seorang anggota DPR melakukan korupsi. Pertama, niat atau serakah. Kedua, sistem yang membuka peluang. Ketiga, kebutuhan, baik dari diri sendiri maupun parpol. Keempat, tekanan.
Kondisi dewan seperti itulah yang membuat mereka terposisikan secara tidak langsung sebagai musuh KPK. Indikasi disharmonisasi hubungan antara dewan dan KPK dapat terbaca melalui pola pelemahan yang dikreasikan dewan seperti pemangkasan atau ''pengambangan'' anggaran.
Sejak lima tahun terakhir, permintaan anggaran untuk pembangunan gedung baru KPK tak pernah disetujui DPR. Bahkan, anggota Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menyatakan, anggaran baru akan diberikan jika status KPK berubah menjadi lembaga tetap, bukan ad hoc.
Menanggapi statemen itu, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan bahwa pihaknya akan menggalang koin pembangunan gedung dari kalangan masyarakat. Akibat panggilan yang menggugah kesadaran nurani ini, sejumlah elemen akhirnya berbondong-bondong mengirimkan ''koin'' ke KPK (Jawa Pos, 26 Juni 2012).
Busyro memang meyakini bahwa masyarakat pasti akan terus tergerak untuk membantu. KPK akan lebih berfokus pada pembangunan fondasi birokrasi negara berbasis sistem integritas nasional (SIN) yang sejalan dengan PP No 55 Tahun 2012 sekaligus mencegah korupsi secara sistemik, integral, dan komprehensif.
Problem sepele lebih sering dijadikan dalih oleh dewan untuk menolak penguatan KPK. Misalnya, stigma bahwa KPK hanya lembaga ad hoc. Padahal, dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK bahkan tidak disebutkan bahwa KPK merupakan lembaga ad hoc. Dalam pasal 3 UU No 30 Tahun 2002, KPK justru ditegaskan sebagai lembaga negara independen.
Pejabat KPK sudah mengungkapkan, gedung yang saat ini ditempati sudah tak memadai untuk menampung seluruh pegawai KPK yang mencapai 730 orang. Saat ini, gedung itu ditempati 650 orang. Sisanya, mereka terpaksa berkantor di dua gedung lain. Padahal, gedung tersebut hanya berkapasitas 350 orang.
Pertengahan Maret lalu, KPK meminta Komisi III DPR menghapus tanda bintang atau memberikan persetujuan atas rencana pembangunan gedung baru KPK. Total biaya pembangunan gedung baru itu mencapai Rp 225,7 miliar.
Ketika nanti gedung KPK memang bisa didirikan berkat sumbangan sukarela masyarakat, tuntutan moral terhadap KPK semakin besar. Tidak berarti ketika gedung itu dibangun dengan dana negara tuntutan terhadap kinerja KPK tidak besar. Tetapi, karena sudah berani menerima kontribusi finansial dari rakyat, KPK juga wajib menunjukkan kinerjanya yang bersifat sangat istimewa (extra-ordinary) dalam penanggulangan korupsi.
Pemberian koin oleh rakyat kepada KPK merupakan apresiasi publik yang wajib dibaca secara cerdas oleh KPK. Publik tidak menginginkan politik perlawanan terhadap koruptor ini berjalan setengah hati, apalagi diskriminatif. Institusi para mujahid koruptor ini tidak boleh melemah hanya gara-gara urusan gedung. Masyarakat sangat cinta KPK. Kita tentu belum lupa ketika ''sejuta Facebookers'' ikut memengaruhi alur jagat peradilan saat KPK (''cicak'') berhadapan dengan ''buaya'' (pembesar kepolisian).
Keinginan publik dalam kasus tersebut dapat dibaca sebagai bentuk ''jihad'' terhadap koruptor atau siapa pun yang ingin mengayomi dan membingkai koruptor. Publik tidak menghendaki negeri ini terus-menerus diacak-acak atau dibuat semakin sengkarut oleh ulah koruptor. Masyarakat sudah geram kepada elite politik yang menebar duri bagi upaya pembersihan penyakit penyalahgunaan kekuasaan. Seperti yang ditulis Mahmoud Husen (2010), masyarakat yang berani melakukan reaksi terhadap koruptor merupakan gambaran masyarakat yang tidak merelakan kehancuran konstruksi peradaban.
Koin untuk gedung KPK tidaklah semata ditujukan untuk memperkuat sarana fisik bagi kinerja KPK, melainkan sebagai dukungan moral. Ini merupakan dukungan fundamental bahwa KPK wajib serius dan pantang lemah syahwat dalam menghadapi segala bentuk ulah koruptor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar