Sabtu, 30 Juni 2012

Tumpang-Tindih Lahan: Siapa yang Salah?

Tumpang-Tindih Lahan: Siapa yang Salah?
Todung Mulya Lubis ; Senior Partner, Lubis, Santosa & Maramis Law Firm
KORAN TEMPO, 29 Juni 2012


Pernah Komisi Pemberantasan Korupsi membuat pernyataan bahwa ada 4.000-an tumpang-tindih lahan tambang, khususnya batu bara dan nikel. Saya tak tahu jumlah persisnya berapa, tetapi saya melihat dengan mata kepala sendiri betapa banyak kasus tumpang-tindih lahan tambang ini terjadi. Beberapa klien saya, termasuk BUMN yang menurut nalar hukum saya akan aman dari serbuan tumpang-tindih lahan, ternyata tak juga aman. Tak kurang dari PT Antam Tbk dan PT Bukit Asam Tbk yang lahannya juga digerus karena tumpang-tindih lahan tambang di kawasan yang mereka miliki. Beberapa perusahaan asing sudah mulai frustrasi dengan hilangnya lahan mereka karena diambil oleh perusahaan lain. Sebagian kasus sudah masuk ke pengadilan dan ada pula yang masuk ke arbitrase internasional.

Potret runyam tumpang-tindih lahan tambang ini bermuara pada beberapa sebab. Pertama, penyalahgunaan wewenang oleh bupati yang mengeluarkan “izin usaha pertambangan” atau IUP (dulu kuasa pertambangan) di atas lahan yang sudah ada “izin usaha pertambangan” atau IUP. Alasannya klasik, yaitu lahan tambang yang ada itu tak didayagunakan, dan daerah membutuhkan pemasukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), di samping stimulasinya terhadap pengembangan sektor informal. Untuk sebagian, alasan ini masuk akal. Tetapi, dalam banyak kasus yang ditemui, “izin usaha pertambangan” itu dikeluarkan justru di atas lahan yang sedang akan didayagunakan atau tengah didayagunakan.

Dalam kasus-kasus di mana lahan tambang tersebut belum dimanfaatkan, pertanyaannya adalah: kenapa belum ada pendayagunaan? Perlu diketahui bahwa menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, IUP itu terdiri atas IUP eksplorasi dan IUP eksploitasi. IUP eksplorasi terdiri atas penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Sedangkan IUP eksploitasi terdiri atas kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan (pasal 36). Bupati perlu meneliti sedang dalam tahap apa sebuah IUP dan nilailah secara proporsional. Semua IUP tersebut akan ada masa berlakunya. Dan jika masa berlakunya masih belum selesai, pencabutan IUP tak boleh dilakukan. Tetapi justru banyak IUP baru yang dikeluarkan di atas IUP yang sedang berjalan di mana sedang ada kegiatan.

Bisa saja ada IUP yang tak didayagunakan sama sekali meski sudah mendapat peringatan berkali-kali. Di sini mekanisme hukumnya juga mesti jelas, transparan, dan akuntabel. Semua pemilik IUP harus diberi kesempatan melaksanakan IUP-nya sebelum ada tindakan pencabutan IUP. Itu pun dengan catatan bahwa bupati harus siap menghadapi semua gugatan hukum di pengadilan dan atau arbitrase, nasional maupun internasional. Semua pemberian dan pencabutan IUP semata-mata haruslah berlandaskan hukum karena Indonesia adalah negara hukum.

Kedua, kewenangan bupati dalam memberikan dan mencabut IUP haruslah sesuai dengan hukum dan tak boleh sama sekali bertentangan dengan ketentuan hukum dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Seperti kita ketahui, berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, bupati diberi kewenangan memberikan dan mencabut IUP. Ini esensi dari otonomi daerah. Tetapi karena daerah itu berada dalam lingkungan negara hukum republik Indonesia, bupati juga mesti menghormati semua produk hukum lain yang berlaku. Dalam banyak kasus, para bupati sudah bertindak sebagai “raja kecil” yang tak tunduk pada hukum negara yang lebih tinggi. Bukankah para bupati harus tunduk pada asas-asas pemerintahan yang baik sebagai landasan memerintah (governance)?

Kita tidak sedang memutar jarum jam ke belakang, karena otonomi daerah itu merupakan “a point of no return”. Kita tak menghendaki kembali ke pemerintahan yang sentralistik. Tetapi banyak orang yang sudah gerah dan mengatakan bahwa otonomi daerah sekarang ini sudah kebablasan. Dalam beberapa hal memang terlihat sudah kebablasan, tetapi bukan pemerintahan sentralistik jawabannya. Kita semua mesti memperbaiki governance di daerah, sehingga supremasi hukum itu menjadi rujukan dari semua keputusan pemerintahan daerah. Para bupati adalah penegak hukum nomor satu, bukan pelanggar hukum nomor satu.

Ketiga, dari segi politik, pemilihan bupati itu mahal dan penuh dengan money politics. Untuk ikut dalam pilkada, dibutuhkan investasi yang tidak kecil, karena mengikuti semua tahapan pilkada sudah membutuhkan puluhan atau ratusan miliar rupiah, tergantung di mana kabupaten tersebut berada. Apakah para calon bupati punya dana sebesar itu? Banyak calon bupati yang tak punya modal cukup dan akhirnya harus mengemis pada pemodal yang umumnya adalah pengusaha. Di sinilah “ijon politik” itu dimulai. Pemodal melakukan investasi dengan harapan bahwa investasinya akan membuahkan hasil.

Ketika pilkada berakhir dan bupati baru terpilih atau bupati lama terpilih kembali, maka hitung-hitungan itu dimulai. Di sinilah diinventarisasi kekayaan daerah dan yang mana yang bisa dijadikan sebagai pembayaran utang politik itu. Tentu pembayarannya tidak tunai (cash). Pembayaran itu dilakukan melalui IUP, termasuk yang sebetulnya berada di atas lahan perusahaan lain yang masih belum mati. Bupati tahu mengenai hal ini, tetapi tak kuasa menolak permintaan pemodal yang memberikannya modal politik. Inilah jerat politik demokrasi yang meruntuhkan nilai-nilai hukum, meruntuhkan tatanan hukum yang berlaku. Dari satu daerah ke lain daerah, kita menemukan persoalan yang sama, baik yang menyangkut lahan perkebunan, tambang, maupun perikanan.

Adalah gampang untuk mengatakan bahwa hukum harus ditegakkan. Penyalahgunaan hukum oleh bupati mesti ditindak. Tetapi ini tidak mungkin dilakukan kalau kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan para advokat berkolusi satu sama lain menegakkan yang salah. Pemerintah pusat pun tak bisa melempar handuk dengan mengatakan bahwa itu semua persoalan otonomi daerah. Pemerintah pusat pertama-tama dan yang utama yang mempunyai kewajiban untuk mengoreksi tumpang-tindih lahan yang semakin menggurita ini. Jangan biarkan soal tumpang-tindih lahan ini jadi bom waktu yang akan merugikan kita semua. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar