Tumpang-Tindih
Lahan: Siapa yang Salah?
Todung
Mulya Lubis ; Senior Partner, Lubis, Santosa & Maramis
Law Firm
KORAN TEMPO, 29 Juni 2012
Pernah Komisi Pemberantasan Korupsi membuat
pernyataan bahwa ada 4.000-an tumpang-tindih lahan tambang, khususnya batu bara
dan nikel. Saya tak tahu jumlah persisnya berapa, tetapi saya melihat dengan
mata kepala sendiri betapa banyak kasus tumpang-tindih lahan tambang ini
terjadi. Beberapa klien saya, termasuk BUMN yang menurut nalar hukum saya akan
aman dari serbuan tumpang-tindih lahan, ternyata tak juga aman. Tak kurang dari
PT Antam Tbk dan PT Bukit Asam Tbk yang lahannya juga digerus karena tumpang-tindih
lahan tambang di kawasan yang mereka miliki. Beberapa perusahaan asing sudah
mulai frustrasi dengan hilangnya lahan mereka karena diambil oleh perusahaan
lain. Sebagian kasus sudah masuk ke pengadilan dan ada pula yang masuk ke
arbitrase internasional.
Potret runyam tumpang-tindih lahan tambang
ini bermuara pada beberapa sebab. Pertama, penyalahgunaan wewenang oleh bupati
yang mengeluarkan “izin usaha pertambangan” atau IUP (dulu kuasa pertambangan)
di atas lahan yang sudah ada “izin usaha pertambangan” atau IUP. Alasannya
klasik, yaitu lahan tambang yang ada itu tak didayagunakan, dan daerah
membutuhkan pemasukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), di
samping stimulasinya terhadap pengembangan sektor informal. Untuk sebagian,
alasan ini masuk akal. Tetapi, dalam banyak kasus yang ditemui, “izin usaha
pertambangan” itu dikeluarkan justru di atas lahan yang sedang akan
didayagunakan atau tengah didayagunakan.
Dalam kasus-kasus di mana lahan tambang
tersebut belum dimanfaatkan, pertanyaannya adalah: kenapa belum ada
pendayagunaan? Perlu diketahui bahwa menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, IUP itu terdiri atas IUP eksplorasi
dan IUP eksploitasi. IUP eksplorasi terdiri atas penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studi kelayakan. Sedangkan IUP eksploitasi terdiri atas kegiatan
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan
penjualan (pasal 36). Bupati perlu meneliti sedang dalam tahap apa sebuah IUP
dan nilailah secara proporsional. Semua IUP tersebut akan ada masa berlakunya.
Dan jika masa berlakunya masih belum selesai, pencabutan IUP tak boleh
dilakukan. Tetapi justru banyak IUP baru yang dikeluarkan di atas IUP yang
sedang berjalan di mana sedang ada kegiatan.
Bisa saja ada IUP yang tak didayagunakan sama
sekali meski sudah mendapat peringatan berkali-kali. Di sini mekanisme hukumnya
juga mesti jelas, transparan, dan akuntabel. Semua pemilik IUP harus diberi
kesempatan melaksanakan IUP-nya sebelum ada tindakan pencabutan IUP. Itu pun
dengan catatan bahwa bupati harus siap menghadapi semua gugatan hukum di
pengadilan dan atau arbitrase, nasional maupun internasional. Semua pemberian
dan pencabutan IUP semata-mata haruslah berlandaskan hukum karena Indonesia
adalah negara hukum.
Kedua, kewenangan bupati dalam memberikan dan
mencabut IUP haruslah sesuai dengan hukum dan tak boleh sama sekali
bertentangan dengan ketentuan hukum dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Seperti kita ketahui, berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
bupati diberi kewenangan memberikan dan mencabut IUP. Ini esensi dari otonomi
daerah. Tetapi karena daerah itu berada dalam lingkungan negara hukum republik
Indonesia, bupati juga mesti menghormati semua produk hukum lain yang berlaku.
Dalam banyak kasus, para bupati sudah bertindak sebagai “raja kecil” yang tak
tunduk pada hukum negara yang lebih tinggi. Bukankah para bupati harus tunduk
pada asas-asas pemerintahan yang baik sebagai landasan memerintah (governance)?
Kita tidak sedang memutar jarum jam ke
belakang, karena otonomi daerah itu merupakan “a point of no return”. Kita tak menghendaki kembali ke pemerintahan
yang sentralistik. Tetapi banyak orang yang sudah gerah dan mengatakan bahwa
otonomi daerah sekarang ini sudah kebablasan. Dalam beberapa hal memang
terlihat sudah kebablasan, tetapi bukan pemerintahan sentralistik jawabannya.
Kita semua mesti memperbaiki governance di daerah, sehingga supremasi
hukum itu menjadi rujukan dari semua keputusan pemerintahan daerah. Para bupati
adalah penegak hukum nomor satu, bukan pelanggar hukum nomor satu.
Ketiga, dari segi politik, pemilihan bupati
itu mahal dan penuh dengan money politics. Untuk ikut dalam pilkada,
dibutuhkan investasi yang tidak kecil, karena mengikuti semua tahapan pilkada
sudah membutuhkan puluhan atau ratusan miliar rupiah, tergantung di mana
kabupaten tersebut berada. Apakah para calon bupati punya dana sebesar itu?
Banyak calon bupati yang tak punya modal cukup dan akhirnya harus mengemis pada
pemodal yang umumnya adalah pengusaha. Di sinilah “ijon politik” itu dimulai.
Pemodal melakukan investasi dengan harapan bahwa investasinya akan membuahkan
hasil.
Ketika pilkada berakhir dan bupati baru
terpilih atau bupati lama terpilih kembali, maka hitung-hitungan itu dimulai.
Di sinilah diinventarisasi kekayaan daerah dan yang mana yang bisa dijadikan
sebagai pembayaran utang politik itu. Tentu pembayarannya tidak tunai (cash).
Pembayaran itu dilakukan melalui IUP, termasuk yang sebetulnya berada di atas
lahan perusahaan lain yang masih belum mati. Bupati tahu mengenai hal ini,
tetapi tak kuasa menolak permintaan pemodal yang memberikannya modal politik.
Inilah jerat politik demokrasi yang meruntuhkan nilai-nilai hukum, meruntuhkan
tatanan hukum yang berlaku. Dari satu daerah ke lain daerah, kita menemukan
persoalan yang sama, baik yang menyangkut lahan perkebunan, tambang, maupun
perikanan.
Adalah gampang untuk mengatakan bahwa hukum
harus ditegakkan. Penyalahgunaan hukum oleh bupati mesti ditindak. Tetapi ini
tidak mungkin dilakukan kalau kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan para
advokat berkolusi satu sama lain menegakkan yang salah. Pemerintah pusat pun
tak bisa melempar handuk dengan mengatakan bahwa itu semua persoalan otonomi
daerah. Pemerintah pusat pertama-tama dan yang utama yang mempunyai kewajiban
untuk mengoreksi tumpang-tindih lahan yang semakin menggurita ini. Jangan
biarkan soal tumpang-tindih lahan ini jadi bom waktu yang akan merugikan kita
semua. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar