Sabtu, 30 Juni 2012

Impor BBM dan Salah Kebijakan


Impor BBM dan Salah Kebijakan
Kurtubi ; Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies
KOMPAS, 29 Juni 2012


Ada logika sangat sederhana yang mestinya jadi pegangan bagi mereka yang kebetulan duduk sebagai bagian dari pemangku kepentingan/penentu kebijakan di bidang perminyakan nasional, khususnya yang menyangkut BBM, agar kebijakan dan langkah yang diambil berada di jalur yang benar.

Di tingkat makro, logika sederhana itu adalah semakin besar kapasitas ekonomi nasional seperti yang dicerminkan oleh jumlah dan pertumbuhan PDB setiap tahun, semakin besar pula energi/BBM yang dibutuhkan. Kebijakan yang benar adalah bagaimana agar energi/BBM bisa selalu terpenuhi untuk seluruh kebutuhan agar roda perekonomian terus berjalan, bahkan bisa dipercepat pertumbuhannya guna dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja.

Sebaiknya dihindari kebijakan yang mengekang, membatasi, menjatah kebutuhan BBM masyarakat. Kebijakan seperti itu berlawanan dengan tujuan pertumbuhan ekonomi. Adapun masalah ”beban subsidi BBM” sebaiknya dipecahkan dengan menggunakan kebijakan energi yang benar: diversifikasi dan menaikkan harga bila dimungkinkan secara sosial politis.

Sementara di tingkat korporat, Pertamina sebagai perusahaan yang 100 persen dimiliki negara seharusnya selalu berupaya memenuhi kebutuhan BBM yang terus meningkat itu dengan menambah kapasitas atau membangun kilang-kilang baru sesuai dengan tuntutan kebutuhan.

Kalau tidak, ketergantungan pada BBM impor pasti akan terus meningkat dengan segala dampak negatifnya. Cadangan devisa yang berpengaruh langsung pada nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terkuras. Lahan ”mafia minyak” tumbuh subur, yang berujung pada inefisiensi impor. Biaya pokok dan subsidi BBM terus meningkat. Ketahanan energi/BBM makin rawan.

Pasalnya, meski mekanisme impor minyak (minyak mentah dan BBM) seperti yang diklaim Pertamina selama ini sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (tender yang terbuka, transparan, lewat media elektronik, dan sebagainya), sepanjang yang memasok atau menjual minyak ke Pertamina itu adalah trader atau broker, tetap saja cara ini tak efisien alias merugikan Pertamina dan merugikan negara.

Pembelinya Pertamina

Trader atau broker itu bukan produsen atau penghasil minyak. Mereka membeli minyak dari produsen untuk dijual kembali. Dan pembelinya adalah Pertamina! Padahal, kebutuhan impor minyak bersifat permanen dan nilainya sangat besar, sekitar 35 miliar dollar AS per tahun atau sekitar Rp 1 triliun per hari!

Maka, agar manajemen BBM nasional lebih efisien, kebijakan Pertamina yang benar adalah segera membangun kilang baru. Namun, sayang sekali, data statistik menunjukkan bahwa setidaknya dalam 12 tahun terakhir ini kapasitas kilang Pertamina relatif stagnan pada level sekitar 1,1 juta barrel per hari.

Faktanya, Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara Asia lain. Dari tahun 2000 hingga 2010, China, India, Taiwan, Thailand, dan Korea telah menambah kapasitas kilang masing-masing 4.714.000 barrel, 1.484.000 barrel, 465.000 barrel, 354.000 barrel, dan 114.000 barrel. Kapasitas kilang Indonesia hanya sekitar 31.000 barrel, sementara kebutuhan BBM sangat besar dan terus melonjak.

Dari data yang tersua di tabel, terlihat bahwa meski margin membangun kilang itu konon ”relatif kecil” dibandingkan dengan margin sektor hulu, China, India, Taiwan, Thailand, dan Korea tetap membangun kilang-kilang baru karena ada manfaat lain yang sangat penting. Ia menciptakan lapangan kerja, menimbulkan efek multiplikasi yang tinggi bagi perekonomian dalam negeri, dan meningkatkan ketahanan energi/BBM negara yang bersangkutan.

Menghapus Perburuan Rente

Bagi Indonesia, pembangunan kilang baru yang ditujukan untuk berswasembada BBM dalam jangka panjang akan dapat menghapus peluang dijadikannya impor BBM sebagai ajang perburuan rente. Keengganan Pertamina membangun kilang merupakan kesalahan kebijakan: identik dengan melanggengkan ketergantungan pada BBM impor. Kebijakan menghindari membangun kilang baru sebaiknya segera diakhiri. Pemerintah harus menjadikan swasembada BBM sebagai program nasional.

Sedangkan ketergantungan pada minyak mentah impor kemungkinan besar akan bersifat permanen. Ini mengingat produksi minyak mentah terus anjlok karena langkanya penemuan cadangan baru setelah Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001. Meski secara geologis sumber daya migas di perut bumi Nusantara relatif melimpah (minyak 50 miliar-80 miliar barrel dan gas sekitar 350 triliun kaki kubik), cadangan terbukti yang diproduksikan saat ini hanya sekitar 3,9 miliar barrel yang akan habis sekitar 12 tahun ke depan!

Sangat sulit bagi Indonesia keluar dari perangkap importir neto minyak selama UU Migas tidak diganti atau dicabut. Soalnya, dengan UU Migas, menurut survei Fraser Institute Canada tahun 2011, kondisi investasi dan industri migas Indonesia menempati peringkat ke-114 dari 145 negara di dunia dan paling buruk di Asia dan Oceania. Lebih buruk dari Timor Leste, Papua Niugini, atau Filipina. Satu-satunya penemuan cadangan baru yang akan bisa meningkatkan produksi minyak mentah secara signifikan adalah Blok Cepu yang ditemukan sebelum UU Migas ada.

Pembangunan kilang baru sebaiknya diintegrasikan dengan strategi Pertamina Sektor Hulu untuk berekspansi ke luar negeri dengan mengakuisisi lapangan-lapangan produksi di luar negeri yang dapat mendukung dan memperkuat ketersediaan minyak mentah untuk diolah di kilang- kilang Pertamina.

Selama ini strategi akuisisi atau membeli lapangan migas dalam negeri yang dilakukan Pertamina kuranglah tepat. Selain langkah itu tak punya dampak terhadap tingkat produksi minyak nasional, juga tak mampu mengurangi ketergantungan Indonesia pada minyak mentah impor. Karena itu, kebijakan dan strategi pembangunan kilang ke depan sebaiknya secara terintegrasi ditujukan mengurangi ketergantungan pada BBM impor sekaligus mengurangi ketergantungan pada minyak mentah impor karena lapangan minyaknya di luar negeri dimiliki oleh Pertamina! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar