Erosi,
Kesuburan Tanah, dan Keberlanjutan
Agus
Pakpahan ; Direktur
Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian (2000-2003)
Sumber :
KORAN TEMPO, 25 Juni 2012
Untuk pertanian, tidak ada yang lebih penting
daripada kesuburan tanah. Kesuburan tanah menentukan tingkat produktivitas yang
dicapai. Dengan demikian, asumsi hal lain tetap, perbedaan kesuburan tanah
menentukan perbedaan tingkat keuntungan yang akan dicapai. Selain itu,
kesuburan tanah menggambarkan kualitas lingkungan. Artinya, lingkungan yang
baik akan memberi kesuburan tanah yang baik pula. Lingkungan yang sangat
penting dampaknya adalah lingkungan sosial-ekonomi.
Perlu diingat bahwa kesuburan tanah ini
sifatnya tidak statis. Kesuburan tanah bisa menurun atau meningkat bergantung
pada perlakuan manusia terhadapnya. Pada saat lahan-lahan belum dipergunakan
manusia sebagai faktor produksi, maka kesuburan lahan relatif stabil secara
alami. Tapi, pada saat tangan manusia sudah ikut campur seperti dalam
pertanian, maka lahan-lahan yang sebelumnya subur bisa berkurang atau bahkan
bisa menjadi lahan yang tanahnya sudah mati. Salah satu faktor penting yang
berbahaya bagi penurunan kesuburan tanah adalah erosi. Tulisan ini secara
ringkas memusatkan perhatian hanya pada aspek erosi dan dampaknya terhadap
produktivitas lahan pertanian dan kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai
(DAS) tengah dan hilir.
Secara kasatmata, kita bisa melihat bahwa
tingkat erosi tanah di Indonesia sudah terjadi secara berlebihan sebagaimana
diperlihatkan oleh warna air sungai yang cokelat tua, yang penuh dengan
partikel tanah dan benda lainnya yang hanyut di sungai-sungai. Magrath dan
Arens (1989) mengestimasi kerugian akibat erosi tanah dan air dalam bentuk
penurunan produktivitas lahan-lahan pertanian di Jawa mencapai US$ 341-406
juta, sebagai akibat penurunan produktivitas berkisar 3,7- 4,4 persen per
tahun. Adapun jumlah tanah yang hilang (artinya terangkut ke hilir) per hektare
di Jawa Barat rata-rata 144,4 ton per tahun, Jawa Tengah 133,3 ton per tahun,
Yogyakarta 118,2 ton per tahun, dan Jawa Timur 76 ton per tahun. Tingkat erosi
tersebut sangat tinggi. Bandingkan dengan data yang disampaikan Pimentel et.
al. (1995) yang menyebutkan bahwa laju erosi tanah di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin, yang digolongkan tinggi, berkisar 30-40 ton/ha/tahun. Sedangkan laju
erosi tanah di Amerika Serikat dan Eropa rata-rata 17 ton/ha/tahun.
Tingkat erosi yang menurunkan kesuburan serta
menambah biaya tersebut juga menimbulkan berbagai kerusakan di daerah aliran
sungai bagian tengah dan hilir, seperti pendangkalan dam atau waduk-waduk,
saluran irigasi yang rusak, serta meningkatnya polusi pada sistem DAS secara
keseluruhan dan menimbulkan kekeringan pada musim kemarau atau banjir pada
musim hujan. Magrath dan Arens (1989) menaksir dampak kerugian secara materiil
yang terjadi di DAS tengah dan hilir ini sebesar US$ 26-91 juta. Dengan nilai
sekarang, akan jauh lebih tinggi lagi.
Contoh klasik yang juga perlu menjadi pemicu
konservasi DAS hulu adalah catatan yang disampaikan Lowdermilk (1949) dalam ”Conquest of the Land Through Seven Thousand
Years”, yaitu kejadian erosi di Siria telah meninggalkan sejarah “hundred dead cities”, kota-kota mati
yang tertimbun tanah sebagai dampak jangka panjang erosi tanah. Untuk kota-kota
di Indonesia, dengan tingkat erosi di atas, kemungkinan menimbun kota-kota
sangat mungkin terjadi dengan laju yang mungkin lebih cepat.
Kesadaran akan perlunya penanganan erosi atau
kerusakan sumber daya lahan di atas sudah lahir di Indonesia sejak lama. Pada
1960-an dipacu program reboisasi dan penghijauan. Pohon-pohon pinus yang masih
tertinggal di kawasan Puncak, Jawa Barat, merupakan monumen dari langkah
tersebut. Namun data menunjukkan bahwa persoalan penurunan kesuburan tanah di
DAS hulu dan kerusakan lingkungan di DAS bagian tengah dan hilir masih
berlanjut hingga sekarang dengan laju yang mungkin makin meningkat. Satu di antara
upaya penting dalam penanganan masalah di atas dalam skala dunia adalah telah
berlangsungnya “International Workshop on
Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming”, di Solo, pada
1991. Untuk referensi, hasil workshop tersebut dapat dibaca dalam buku Conservation
Policies for Sustainable Hillslope Farming (S. Arsyad et. al., 1992), yang
diterbitkan oleh Soil and Water
Conservation Society, Iowa, Amerika Serikat. Banyak hal yang dapat dipetik
dari hasil workshop tersebut.
Penulis berpendapat bahwa rendahnya tingkat
erosi tanah dan air di Amerika dan Eropa sebagaimana diungkapkan di atas
merupakan dampak positif dari keberhasilan industrialisasi yang mengurangi
secara nyata tekanan penduduk terhadap lahan. Setiap penurunan 1 persen nilai
produk domestik bruto (PDB) pertanian Indonesia hanya diikuti oleh penurunan
tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5 persen. Berbeda dengan di negara-negara
yang industrialisasinya berhasil, yaitu penurunan tenaga kerja pertanian per
tahun bisa lebih dari 2 persen dalam periode abad ke-20. Dengan demikian, lahan
petani bertambah luas, sehingga kapasitas menerapkan praktek-praktek konservasi
tanah dan air menjadi makin memungkinkan untuk diterapkan. Dengan kontribusi 70
persen penduduk yang digolongkan miskin oleh BPS di Indonesia ini berada di
sektor pertanian, maka sangatlah menjadi alasan kuat bagaimana mengentaskan
warga dari kemiskinan di DAS hulu yang sekaligus juga sebagai instrumen untuk
menekan erosi di kawasan ini dan memulihkan kerusakan lingkungan DAS tengah dan
hilirnya.
Indonesia, dengan sistem geografis kepulauan
sehingga membentuk sebuah benua maritim, memerlukan tingkat konservasi tanah
dan air yang dipraktekkan di DAS hulu dan tengah yang sangat tinggi. Selain
akibat curah hujan yang tinggi, secara intrinsik gradien ekologi sebagai
habitat manusia sangat sempit. Karena itu, apabila kehidupan di kepulauan
Nusantara ini ingin berkelanjutan dan abadi sepanjang masa, selain
industrialisasi harus berhasil untuk menciptakan kehidupan baru bagi generasi yang
akan datang agar tidak terkondisikan menjadi “perusak” kesuburan lahan di DAS
hulu dan tengah, diperlukan pendayagunaan sumber daya kelautan sebagai
prioritas kehidupan Indonesia mendatang. Industrialisasi dan konservasi bagi
Indonesia harus menjadi rancang bangun pembangunan nasional yang merupakan dua
sisi dari satu mata uang yang sama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar