Selasa, 26 Juni 2012

Erosi, Kesuburan Tanah, dan Keberlanjutan


Erosi, Kesuburan Tanah, dan Keberlanjutan
Agus Pakpahan ;  Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian (2000-2003)
Sumber :  KORAN TEMPO, 25 Juni 2012


Untuk pertanian, tidak ada yang lebih penting daripada kesuburan tanah. Kesuburan tanah menentukan tingkat produktivitas yang dicapai. Dengan demikian, asumsi hal lain tetap, perbedaan kesuburan tanah menentukan perbedaan tingkat keuntungan yang akan dicapai. Selain itu, kesuburan tanah menggambarkan kualitas lingkungan. Artinya, lingkungan yang baik akan memberi kesuburan tanah yang baik pula. Lingkungan yang sangat penting dampaknya adalah lingkungan sosial-ekonomi.

Perlu diingat bahwa kesuburan tanah ini sifatnya tidak statis. Kesuburan tanah bisa menurun atau meningkat bergantung pada perlakuan manusia terhadapnya. Pada saat lahan-lahan belum dipergunakan manusia sebagai faktor produksi, maka kesuburan lahan relatif stabil secara alami. Tapi, pada saat tangan manusia sudah ikut campur seperti dalam pertanian, maka lahan-lahan yang sebelumnya subur bisa berkurang atau bahkan bisa menjadi lahan yang tanahnya sudah mati. Salah satu faktor penting yang berbahaya bagi penurunan kesuburan tanah adalah erosi. Tulisan ini secara ringkas memusatkan perhatian hanya pada aspek erosi dan dampaknya terhadap produktivitas lahan pertanian dan kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) tengah dan hilir.

Secara kasatmata, kita bisa melihat bahwa tingkat erosi tanah di Indonesia sudah terjadi secara berlebihan sebagaimana diperlihatkan oleh warna air sungai yang cokelat tua, yang penuh dengan partikel tanah dan benda lainnya yang hanyut di sungai-sungai. Magrath dan Arens (1989) mengestimasi kerugian akibat erosi tanah dan air dalam bentuk penurunan produktivitas lahan-lahan pertanian di Jawa mencapai US$ 341-406 juta, sebagai akibat penurunan produktivitas berkisar 3,7- 4,4 persen per tahun. Adapun jumlah tanah yang hilang (artinya terangkut ke hilir) per hektare di Jawa Barat rata-rata 144,4 ton per tahun, Jawa Tengah 133,3 ton per tahun, Yogyakarta 118,2 ton per tahun, dan Jawa Timur 76 ton per tahun. Tingkat erosi tersebut sangat tinggi. Bandingkan dengan data yang disampaikan Pimentel et. al. (1995) yang menyebutkan bahwa laju erosi tanah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang digolongkan tinggi, berkisar 30-40 ton/ha/tahun. Sedangkan laju erosi tanah di Amerika Serikat dan Eropa rata-rata 17 ton/ha/tahun.

Tingkat erosi yang menurunkan kesuburan serta menambah biaya tersebut juga menimbulkan berbagai kerusakan di daerah aliran sungai bagian tengah dan hilir, seperti pendangkalan dam atau waduk-waduk, saluran irigasi yang rusak, serta meningkatnya polusi pada sistem DAS secara keseluruhan dan menimbulkan kekeringan pada musim kemarau atau banjir pada musim hujan. Magrath dan Arens (1989) menaksir dampak kerugian secara materiil yang terjadi di DAS tengah dan hilir ini sebesar US$ 26-91 juta. Dengan nilai sekarang, akan jauh lebih tinggi lagi.

Contoh klasik yang juga perlu menjadi pemicu konservasi DAS hulu adalah catatan yang disampaikan Lowdermilk (1949) dalam ”Conquest of the Land Through Seven Thousand Years”, yaitu kejadian erosi di Siria telah meninggalkan sejarah “hundred dead cities”, kota-kota mati yang tertimbun tanah sebagai dampak jangka panjang erosi tanah. Untuk kota-kota di Indonesia, dengan tingkat erosi di atas, kemungkinan menimbun kota-kota sangat mungkin terjadi dengan laju yang mungkin lebih cepat.

Kesadaran akan perlunya penanganan erosi atau kerusakan sumber daya lahan di atas sudah lahir di Indonesia sejak lama. Pada 1960-an dipacu program reboisasi dan penghijauan. Pohon-pohon pinus yang masih tertinggal di kawasan Puncak, Jawa Barat, merupakan monumen dari langkah tersebut. Namun data menunjukkan bahwa persoalan penurunan kesuburan tanah di DAS hulu dan kerusakan lingkungan di DAS bagian tengah dan hilir masih berlanjut hingga sekarang dengan laju yang mungkin makin meningkat. Satu di antara upaya penting dalam penanganan masalah di atas dalam skala dunia adalah telah berlangsungnya “International Workshop on Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming”, di Solo, pada 1991. Untuk referensi, hasil workshop tersebut dapat dibaca dalam buku Conservation Policies for Sustainable Hillslope Farming (S. Arsyad et. al., 1992), yang diterbitkan oleh Soil and Water Conservation Society, Iowa, Amerika Serikat. Banyak hal yang dapat dipetik dari hasil workshop tersebut.

Penulis berpendapat bahwa rendahnya tingkat erosi tanah dan air di Amerika dan Eropa sebagaimana diungkapkan di atas merupakan dampak positif dari keberhasilan industrialisasi yang mengurangi secara nyata tekanan penduduk terhadap lahan. Setiap penurunan 1 persen nilai produk domestik bruto (PDB) pertanian Indonesia hanya diikuti oleh penurunan tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5 persen. Berbeda dengan di negara-negara yang industrialisasinya berhasil, yaitu penurunan tenaga kerja pertanian per tahun bisa lebih dari 2 persen dalam periode abad ke-20. Dengan demikian, lahan petani bertambah luas, sehingga kapasitas menerapkan praktek-praktek konservasi tanah dan air menjadi makin memungkinkan untuk diterapkan. Dengan kontribusi 70 persen penduduk yang digolongkan miskin oleh BPS di Indonesia ini berada di sektor pertanian, maka sangatlah menjadi alasan kuat bagaimana mengentaskan warga dari kemiskinan di DAS hulu yang sekaligus juga sebagai instrumen untuk menekan erosi di kawasan ini dan memulihkan kerusakan lingkungan DAS tengah dan hilirnya.

Indonesia, dengan sistem geografis kepulauan sehingga membentuk sebuah benua maritim, memerlukan tingkat konservasi tanah dan air yang dipraktekkan di DAS hulu dan tengah yang sangat tinggi. Selain akibat curah hujan yang tinggi, secara intrinsik gradien ekologi sebagai habitat manusia sangat sempit. Karena itu, apabila kehidupan di kepulauan Nusantara ini ingin berkelanjutan dan abadi sepanjang masa, selain industrialisasi harus berhasil untuk menciptakan kehidupan baru bagi generasi yang akan datang agar tidak terkondisikan menjadi “perusak” kesuburan lahan di DAS hulu dan tengah, diperlukan pendayagunaan sumber daya kelautan sebagai prioritas kehidupan Indonesia mendatang. Industrialisasi dan konservasi bagi Indonesia harus menjadi rancang bangun pembangunan nasional yang merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar