Rabu, 27 Juni 2012

Memburu “Godot” Lapindo


Memburu “Godot” Lapindo
Sumaryoto ;  Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
Sumber :  SUARA MERDEKA, 26 Juni 2012


ENTAH apa yang berkecamuk dalam benak Hari Suwandi sehingga korban semburan lumpur Lapindo itu nekat berjalan kaki dari Sidoarjo ke Jakarta demi bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di Gedung DPRD Jateng dan kampus IAIN Walisongo Semarang (SM, 21/06/12), ia kembali mengungkapkan tekadnya untuk meminta pertanggungjawaban. Ganti untung bagi sebagian korban semburan lumpur itu belum tuntas, termasuk dirinya yang masih kurang 20%, kurang lebih Rp 90 juta dari seharusnya Rp 350 juta.

Menunggu realisasi ganti rugi yang dijanjikan Lapindo, bagi Hari, sama halnya dengan menunggu Godot yang tak jelas kapan datangnya, seperti kisah getir dalam ’’Waiting for Godot’’ karya dramawan Inggris Samuel Becket (1906-1989). Hari pun memburu ’’Godot’’ ke Jakarta.

“Saya akan menghadap Pak SBY. Saya akan terus bertahan di istana hingga Presiden mau menemui,” kata warga  RT 8 RW 8 Kedungbendo Kelurahan Tanggulangin, Sidoarjo, Jatim, yang selama perjalanan, sejak 14 Juni 2012 sudah menghabiskan lima pasang sandal jepit.

Barangkali tak begitu penting apakah sesampai di Jakarta ia berhasil menemui SBY atau tidak. Yang penting, ia telah menunjukkan perlawanan. Ia telah melawan keputusasaan dalam dirinya dan dalam jiwa setiap korban lumpur Lapindo, bukan dengan diam, dan dengan demikian ia telah menunaikan tugasnya: merawat asa! Ia sadar, dirinya bukan siapa-siapa. Jadi, berharap bertemu Presiden sama dengan mimpi di siang bolong.

Berharap bertemu Ical pun barangkali ibarat mimpi. Simak saja pernyataan Ical pekan lalu ketika diminta komentar wartawan soal aksi Hari Suwandi. ’’Capek deh,’’ kata Ical.
Hari sebenarnya sadar, bila mau Ical dan SBY bisa saja menyelesaikan soal ganti rugi itu segera, tanpa harus menunggu ia berjalan kaki ke Jakarta, yang mungkin akan disusul oleh korban lumpur Lapindo lainnya.

Mengapa SBY tak mau cepat? Barangkali ia tak mau terus-menerus memberikan talangan bagi Lapindo. ”Pemerintah tidak akan menalangi,” kata Menko Kesra Agung Laksono.
PT Minarak Lapindo Jaya memang menunggak pembayaran kepada korban lumpur. Minarak selaku juru bayar Lapindo sudah membayar Rp2,91 triliun dari total Rp 3,830 triliun kewajiban mereka, sehingga masih tersisa Rp 918 miliar untuk korban di empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo. Sisa itulah yang kini sedang ditagih Hari dan kawan-kawan.

Amanat Konstitusi

Semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo terjadi sehari setelah bencana gempa bumi Yogyakarta, Sabtu Wage, 27 Mei 2006. Enam tahun bukan waktu singkat bagi Hari dan korban lumpur Lapindo lainnya untuk menunggu ganti rugi.

Ganti rugi bagi korban lumpur di wilayah peta terdampak sebenarnya menjadi tanggung jawab Lapindo. Tapi mengingat konstitusi mengamanatkan negara melindungi segenap warga negara dan seluruh tumpah darah maka ketika itu penulis selaku pimpinan Komisi V DPR, menyetujui pemerintah memberikan talangan bagi Lapindo.

Ternyata talangan itu keterusan. Bahkan berdasarkan lobi-lobi politik, korban lumpur di luar peta terdampak, yang semula menjadi tanggungan Lapindo, kini di-cover Badan Penanggulangan Lumpur Si-doarjo (BPLS).  Tahun ini, BPLS kembali mengucurkan anggaran Rp 561 miliar lagi. Sejak 2007 hingga kini negara mengeluarkan Rp 27,4 triliun untuk penanganan lumpur Lapindo, dan keluarga Ical konon hanya Rp 3,4 triliun.

Kini, Hari memburu Godot ke Jakarta. Apakah Ical, atau bahkan SBY berkenan menemui dan kemudian menghadirkan Godot ke depan korban lumpur Lapindo? Kita tidak tahu. Yang jelas, kita mengetuk hati nurani dan kearifan semua pihak, terutama Ical dan SBY. Bagi Ical, tak ada alasan untuk terus menunda pembayaran sisa ganti rugi, bagaimanapun caranya. Bagi SBY pun, mestinya bisa menekan Ical melalui koalisi partai di Setgab untuk segera melunasi ganti rugi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar