Rabu, 27 Juni 2012

Kartu Mati Demokrat


Kartu Mati Demokrat
Umbu TW Pariangu ;  Dosen Fisipol Undana Kupang
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 26 Juni 2012


SAMUEL Huntington dalam bukunya, Tertib Politik pada Masyarakat yang sedang Berubah (2004: 484), mengatakan sistem politik pada sebuah negara berkembang sangat ditentukan kekukuhan partai dalam melembagakan dukungan massa. Ia menambahkan, semakin sering suatu organisasi politik menjalankan suksesi politik dan menggantikan tokoh pimpinannya dengan cara-cara yang demokratis, akan semakin kuat derajat pelembagaan partai tersebut.

Tesis itu cocok untuk mempertaruhkan nasib Partai Demokrat di tengah berbagai skandal korupsi yang menimpanya belakangan ini. Kasus pembangunan Wisma Atlet yang menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menjadi terdakwa, dan mantan Wakil Sekjen Angelina Sondakh menjadi tersangka hingga perkara korupsi pembangunan sarana olahraga terpusat di Ham balang, Bogor, senilai Rp1,25 triliun yang diduga menyeret Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum akan terus menjadi bom waktu bagi nasib elektabilitas partai pemenang Pemilu 2009 itu.

Jauh sebelumnya, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia memperlihatkan penurunan citra dan elektabilitas Partai Demokrat yang cukup tajam. Seandainya pemilu digelar tahun ini, Demokrat hanya berada di posisi ketiga dengan suara 13,7% setelah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Padahal, sebelumnya elektabilitas Demokrat berada di atas 50%. Dugaan politik uang di Kongres II Demokrat di Bandung pada 2010 yang menyeret nama Anas ikut memicu merosotnya popularitas Demokrat sejak 11 bulan lalu, sebagaimana diakui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam jumpa pers di Cikeas (5/2).

Sebenarnya sudah sejak Februari lalu (6/2) Anas diultimatum Dewan Pembina
Partai Demokrat agar selama tiga bulan ke depan mampu mengembalikan elektabilitas partai tersebut menjadi 20%. “Kalau (elektabilitas partai) menyentuh angka 10%, tak perlu menunggu proses hukum (ditetapkan sebagai tersangka), kami akan mengambil sikap,“ kata anggota Dewan Kehormatan Demokrat Hayono Isman.

Namun sikap apa gerangan yang diambil petinggi Demokrat sampai saat ini pun tak kunjung jelas. Pertemuan antara Dewan Pembina Partai Demokrat dan unsur Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di Cikeas beberapa waktu lalu, yang awalnya diduga sebagai bagian dari skenario pelengseran Anas dari jabatannya, bahkan malah membuahkan ketidakpastian. Padahal, survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (2-11 Juni 2012) menunjukkan tingkat elektabilitas Demokrat tinggal 11,3%.

Gagal Reifikasi

Di sisi lain, KPK yang diharapkan mampu menuntaskan kasus korupsi di internal Demokrat justru sedang terbelenggu oleh skeptisisme publik bahwa institusi tentu saja bakal mengalami kesulitan menaikkan status kasus Hambalang dari penyelidikan ke penyidikan, termasuk memanggil Anas untuk diperiksa, karena sudah pasti akan berhadapan dengan lingkaran utama kekuasaan yang sarat dengan kepentingan politik yang berpotensi menjadi kekuatan penyandera dan pemeras (potential blackmail) sehingga lembaga superbodi tersebut bisa-bisa menjadi macan ompong. Artinya, nilai keadilan dan kesetaraan hukum bagi publik akan dikorbankan demi penyelamatan kepentingan politik yang lebih besar.

Suka atau tidak suka, kenyataannya penetrasi opini media massa dari hari ke hari makin menajamkan persepsi publik akan kebenaran nyanyian fals Nazaruddin terhadap Anas selama ini. Apalagi hasil survei Barometer Kepercayaan 2012 oleh Indopacific Edelman menunjukkan kadar kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media massa mencapai 80% (Kompas, 7/2). Artinya, media massa sebagai pencipta opini mampu `mengalahkan' pengaruh institusi hukum dan politik dalam membentuk estimasi dan kepercayaan publik.

Dengan kehilangan 8%-9% suara pascamerebaknya kasus korupsi kadernya sebagaimana diduga Hayono Isman (Media Indonesia, 14/5), ini menjadi pekerjaan terberat Partai Demokrat untuk membangun kembali reruntuhan kepercayaan rakyat. Atau dalam bahasa Randall dan Svasand (2002), Partai Demokrat sedang terancam gagal membangun reifikasi politiknya dalam memberi persepsi dan pengaruh positif terhadap tingkat kepercayaan dan kesetiaan rakyat serta konstituennya.

Partai politik sebagai `sekolah' demokrasi mestinya menjadi institusi penyokong kukuhnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi. John Locke menyebut sebagai kekaryaan yang ideal (workmanship ideal) yang mesti dimiliki dan dijiwai para elite politik.

Motivasi, komitmen, dan orientasi berpolitik politisi akan menentukan derajat kematangan partai yang secara situasional dipengaruhi pula oleh variabel lain seperti mo mentum, lingkungan, harapanharapan, dan nilai-nilai perubahan. Jika memiliki pendirian ideologis yang baik dan fondasi kelembagaannya berdasarkan kalkulasi prinsip kepublikan, partai tersebut dapat dikatakan berada dalam proses pematangan sebagai partai populis dan ideologis (Pamungkas, 2011).

Namun ketika partai secara institusional hanya dilihat sebagai instrumen untuk memenuhi tujuan politik parsial yang menjauh dari kekaryaan demokrasi karena diisi figure-figur inkapabel dan nirintegritas dalam struktur partai, itu akan makin membentangkan jarak yang lebar antara harapan berdemokrasi dan realitas fungsi partai politik kita.

Itulah yang disebut Riggs (1985) sebagai model demokrasi formal manakala yang menjadi ketentuan normatif dan hukum partai tidak dilaksanakan karena hilangnya loyalitas terhadap ideologi partai. Demokrasi formal yang demikian akan ambrol ketika sistem yang menopangnya tidak kuat menahan gempuran informasi, kepentingan, nilai-nilai, dan budaya progresif yang terus diusung gerakan-gerakan prodemokrasi.

Kasus Partai Demokrat bisa dikatakan sebagai representasi potret buram (snapshoot) kesadaran patik(?) berpartai kita. Corak dasar partai masih berakar pada instrumental pragmatis dan apa yang disebut Dewi Fortuna Anwar sebagai idiosyncracy, yakni menumpukan eksistensi partai pada diri pemimpin yang dipandang `berkarisma' (personalisasi dan oligarki) yang mereduksi kemandirian institusional partai. Padahal, Warren Bennis dan Patricia Ward (1997) mengingatkan zaman sekarang ialah zaman the end of great men. Keunggulan organisasi (partai) tidak hanya ditentukan pemimpin, tetapi juga kecakapan setiap anggota organisasi memainkan fungsi dan soliditas masing-masing.

Ironi Demokrat

Musibah Demokrat menunjukkan sebuah ironi politik di tubuh partai pemenang Pemilu 2009 itu. Ia akan runtuh bukan karena rivalitas konvensional dengan partai kompetitornya dalam memperebutkan dukungan elektoral publik, melainkan karena `kartu mati' yang dimainkan kader-kadernya sendiri. Pada bagian lain, fenomena tersebut mencerminkan banyaknya kader partai yang dikuliti kasus moral korupsi dapat dilihat sebagai implikasi dari demokrasi yang diperjuangkan secara susah payah oleh pers dan masyarakat madani. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar