Kartu
Mati Demokrat
Umbu
TW Pariangu ; Dosen Fisipol Undana Kupang
Sumber :
MEDIA INDONESIA, 26 Juni 2012
SAMUEL
Huntington dalam bukunya, Tertib Politik pada Masyarakat yang sedang Berubah
(2004: 484), mengatakan sistem politik pada sebuah negara berkembang sangat
ditentukan kekukuhan partai dalam melembagakan dukungan massa. Ia menambahkan,
semakin sering suatu organisasi politik menjalankan suksesi politik dan
menggantikan tokoh pimpinannya dengan cara-cara yang demokratis, akan semakin
kuat derajat pelembagaan partai tersebut.
Tesis
itu cocok untuk mempertaruhkan nasib Partai Demokrat di tengah berbagai skandal
korupsi yang menimpanya belakangan ini. Kasus pembangunan Wisma Atlet yang
menyeret mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menjadi
terdakwa, dan mantan Wakil Sekjen Angelina Sondakh menjadi tersangka hingga
perkara korupsi pembangunan sarana olahraga terpusat di Ham balang, Bogor,
senilai Rp1,25 triliun yang diduga menyeret Andi Mallarangeng dan Anas
Urbaningrum akan terus menjadi bom waktu bagi nasib elektabilitas partai
pemenang Pemilu 2009 itu.
Jauh
sebelumnya, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia memperlihatkan penurunan
citra dan elektabilitas Partai Demokrat yang cukup tajam. Seandainya pemilu
digelar tahun ini, Demokrat hanya berada di posisi ketiga dengan suara 13,7%
setelah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Padahal, sebelumnya elektabilitas
Demokrat berada di atas 50%. Dugaan politik uang di Kongres II Demokrat di
Bandung pada 2010 yang menyeret nama Anas ikut memicu merosotnya popularitas
Demokrat sejak 11 bulan lalu, sebagaimana diakui Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam jumpa pers di Cikeas (5/2).
Sebenarnya
sudah sejak Februari lalu (6/2) Anas diultimatum Dewan Pembina
Partai
Demokrat agar selama tiga bulan ke depan mampu mengembalikan elektabilitas partai
tersebut menjadi 20%. “Kalau (elektabilitas partai) menyentuh angka 10%, tak
perlu menunggu proses hukum (ditetapkan sebagai tersangka), kami akan mengambil
sikap,“ kata anggota Dewan Kehormatan Demokrat Hayono Isman.
Namun
sikap apa gerangan yang diambil petinggi Demokrat sampai saat ini pun tak
kunjung jelas. Pertemuan antara Dewan Pembina Partai Demokrat dan unsur Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) di Cikeas beberapa waktu lalu, yang awalnya diduga
sebagai bagian dari skenario pelengseran Anas dari jabatannya, bahkan malah
membuahkan ketidakpastian. Padahal, survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia
(2-11 Juni 2012) menunjukkan tingkat elektabilitas Demokrat tinggal 11,3%.
Gagal Reifikasi
Di
sisi lain, KPK yang diharapkan mampu menuntaskan kasus korupsi di internal
Demokrat justru sedang terbelenggu oleh skeptisisme publik bahwa institusi
tentu saja bakal mengalami kesulitan menaikkan status kasus Hambalang dari
penyelidikan ke penyidikan, termasuk memanggil Anas untuk diperiksa, karena
sudah pasti akan berhadapan dengan lingkaran utama kekuasaan yang sarat dengan
kepentingan politik yang berpotensi menjadi kekuatan penyandera dan pemeras (potential blackmail) sehingga lembaga
superbodi tersebut bisa-bisa menjadi macan ompong. Artinya, nilai keadilan dan
kesetaraan hukum bagi publik akan dikorbankan demi penyelamatan kepentingan
politik yang lebih besar.
Suka
atau tidak suka, kenyataannya penetrasi opini media massa dari hari ke hari
makin menajamkan persepsi publik akan kebenaran nyanyian fals Nazaruddin terhadap Anas selama ini. Apalagi hasil survei
Barometer Kepercayaan 2012 oleh Indopacific
Edelman menunjukkan kadar kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media
massa mencapai 80% (Kompas, 7/2). Artinya, media massa sebagai pencipta opini
mampu `mengalahkan' pengaruh institusi hukum dan politik dalam membentuk
estimasi dan kepercayaan publik.
Dengan
kehilangan 8%-9% suara pascamerebaknya kasus korupsi kadernya sebagaimana
diduga Hayono Isman (Media Indonesia, 14/5), ini menjadi pekerjaan terberat
Partai Demokrat untuk membangun kembali reruntuhan kepercayaan rakyat. Atau
dalam bahasa Randall dan Svasand (2002), Partai Demokrat sedang terancam gagal
membangun reifikasi politiknya dalam memberi persepsi dan pengaruh positif
terhadap tingkat kepercayaan dan kesetiaan rakyat serta konstituennya.
Partai
politik sebagai `sekolah' demokrasi mestinya menjadi institusi penyokong
kukuhnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi. John Locke menyebut sebagai
kekaryaan yang ideal (workmanship ideal)
yang mesti dimiliki dan dijiwai para elite politik.
Motivasi,
komitmen, dan orientasi berpolitik politisi akan menentukan derajat kematangan
partai yang secara situasional dipengaruhi pula oleh variabel lain seperti mo
mentum, lingkungan, harapanharapan, dan nilai-nilai perubahan. Jika memiliki
pendirian ideologis yang baik dan fondasi kelembagaannya berdasarkan kalkulasi
prinsip kepublikan, partai tersebut dapat dikatakan berada dalam proses
pematangan sebagai partai populis dan ideologis (Pamungkas, 2011).
Namun
ketika partai secara institusional hanya dilihat sebagai instrumen untuk
memenuhi tujuan politik parsial yang menjauh dari kekaryaan demokrasi karena
diisi figure-figur inkapabel dan nirintegritas dalam struktur partai, itu akan
makin membentangkan jarak yang lebar antara harapan berdemokrasi dan realitas
fungsi partai politik kita.
Itulah
yang disebut Riggs (1985) sebagai model demokrasi formal manakala yang menjadi
ketentuan normatif dan hukum partai tidak dilaksanakan karena hilangnya
loyalitas terhadap ideologi partai. Demokrasi formal yang demikian akan ambrol
ketika sistem yang menopangnya tidak kuat menahan gempuran informasi,
kepentingan, nilai-nilai, dan budaya progresif yang terus diusung
gerakan-gerakan prodemokrasi.
Kasus Partai Demokrat bisa dikatakan sebagai
representasi potret buram (snapshoot)
kesadaran patik(?) berpartai kita. Corak dasar partai masih berakar pada
instrumental pragmatis dan apa yang disebut Dewi Fortuna Anwar sebagai idiosyncracy, yakni menumpukan eksistensi
partai pada diri pemimpin yang dipandang `berkarisma' (personalisasi dan
oligarki) yang mereduksi kemandirian institusional partai. Padahal, Warren
Bennis dan Patricia Ward (1997) mengingatkan zaman sekarang ialah zaman the end of great men. Keunggulan
organisasi (partai) tidak hanya ditentukan pemimpin, tetapi juga kecakapan
setiap anggota organisasi memainkan fungsi dan soliditas masing-masing.
Ironi
Demokrat
Musibah Demokrat menunjukkan sebuah ironi
politik di tubuh partai pemenang Pemilu 2009 itu. Ia akan runtuh bukan karena
rivalitas konvensional dengan partai kompetitornya dalam memperebutkan dukungan
elektoral publik, melainkan karena `kartu mati' yang dimainkan kader-kadernya
sendiri. Pada bagian lain, fenomena tersebut mencerminkan banyaknya kader
partai yang dikuliti kasus moral korupsi dapat dilihat sebagai implikasi dari
demokrasi yang diperjuangkan secara susah payah oleh pers dan masyarakat
madani. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar