Rabu, 27 Juni 2012

Pilkada Potensial dan DPT Fiktif


Pilkada Potensial dan DPT Fiktif
Inggar Saputra ;  Peneliti Institute for Sustainable Reform (Insure)
Sumber :  SUARA KARYA, 26 Juni 2012


Pilkada DKI Jakarta 2012 diikuti enam pasangan cagub-cawagub yang akan memperebutkan tiket memimpin Jakarta, lima tahun mendatang. Semua calon menjanjikan kepemimpinan visioner dan menganggap dirinya sebagai pejuang rakyat. Semua calon boleh mengklaim sebagai prorakyat, tapi perlu diingat bahwa rakyat Jakarta sudah bergerak menuju alam pemikiran rasional.

Berbagai hasil survei, bukan sebuah kepastian membanjirnya dukungan rakyat Jakarta sehingga mudah memenangi pilkada. Kita bisa belajar bagaimana data statistik hanya sebuah proses ilmiah, bukan hasil akhir konstestasi dari pertandingan menuju kepastian memimpin DKI. Rakyat Jakarta ke depan membutuhkan kerja nyata, bukan penilaian semu yang diukur berdasarkan data statistik.

Kita boleh berharap sukses Pilkada DKI sebagai barometer keberhasilan demokrasi Indonesia. Bagaimanapun demokratisasi DKI Jakarta adalah lambang keteladanan berdemokrasi secara nasional. Sebab itu, semestinya DKI menjadi contoh terbaik terkait sistem kependudukan untuk mendukung proses demokrasi. Apalagi, KPU DKI sudah menjamin keberlangsungan pilkada berjalan bersih. Para cagub dan cawagub, baik dari parpol maupun independen telah menyatakan siap menyukseskan Pilkada DKI secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Keyakinan KPU DKI Jakarta semakin besar karena mereka menganggap sudah berhasil menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dengan baik. Berdasarkan data KPU DKI Jakarta, DPT Pilkada DKI tercatat 6.982.179 orang. Nantinya mereka akan memilih di 15.062 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan jumlah pemilih laki-laki mencapai 3.553. 672 orang, dan pemilih perempuan (3.428.507 orang). Penetapan DPT berlandaskan UU Nomor 15 Tahun 2012 dan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2010 tentang pemutakhiran data pemilih.

Ironisnya, di tengah klaim sukses menetapkan DPT, kalangan parpol memprotes kinerja KPU DKI. Mereka menilai Pilkada DKI Jakarta rawan kecurangan karena masih membanjirnya DPT fiktif. Berdasarkan data Pusat Pergerakan Pemuda Indonesia (P3I), setidaknya ada 1,4 juta pemilih fiktif (ghost voters) dikhawatirkan berpartisipasi dalam Pilkada DKI Jakarta, Juli mendatang. Tercatat 1,4 juta pemilih fiktif masuk dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS). DPS yang berasal dari Pemprov DKI Jakarta, khususnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Merespons persoalan DPT fiktif, setidaknya lima parpol telah meminta KPU melakukan audit terhadap DPS sebelum melakukan pleno DPT. Kelima parpol, PKS, Gerindra, PPP, P Golkar, dan PDIP menduga ada pemilih fiktif berjumlah 1,4 juta orang. Mereka sempat meminta agar pilkada ditunda sampai proses verifikasi data selesai dijalankan.

Persoalan DPT fiktif menandakan buruknya kinerja KPU dalam mengelola pendataan untuk kepentingan strategis seperti Pilkada. Apalagi, kejadian DPT fiktif bukan sekali saja terjadi. Sebelumnya pada Pilkada DKI tahun 2007 ditemukan banyak pemilih fiktif. Ketika itu Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI dan LP3ES mencatat sebanyak 20-23 persen pemilih DKI tidak terdaftar. Posisi mereka digantikan oleh pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali (pemilih ganda) dan pemilih fiktif atau orang yang masuk dalam daftar pemilih, sementara ketika dicari di alamat yang bersangkutan, mereka sudah tidak ada lagi.

Kondisi yang sama kembali terjadi pada Pemilu 2009 sehingga banyak pihak merasa dirugikan atas 'kecelakaan' maraknya DPT fiktif. Ini tentu menyedihkan dalam proses berdemokratisasi. Sebagai ujung tombak dalam pemutakhiran data pemilih tetap, KPU DKI dianggap gagal menjalankan tugas secara maksimal. Mereka gagal belajar dari kesalahan KPU DKI Jakarta sebelumnya.

Ketidakberesan DPT adalah persoalan krusial yang membutuhkan penanganan mendesak. Sebab, jika dibiarkan citra Pilkada DKI Jakarta akan rusak, dam KPU DKI Jakarta bisa dinilai gagal menjalankan tugasnya. Untuk itu, dibutuhkan sebuah solusi lewat penggabungan pendekatan sosial dan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi. Solusi itu merupakan terapi sosial yang sistemik dalam menelusuri cacat daftar pemilih akibat buruknya proses dan infrastruktur kependudukan DKI Jakarta.

Dalam konteks sosial, diperlukan adanya keberanian KPU DKI Jakarta untuk terjun langsung ke bawah. Mereka harus mau dan mampu menelusuri kejanggalan yang terjadi di lapangan. Keberanian ini diperlukan agar pemilih fiktif dapat diberantas sehingga tidak berkembang sebagai benalu pesta demokrasi Jakarta. Mengandalkan pola dengan bertumpu kepada personal RT/RW tidak pernah berjalan maksimal.

Sedangkan dalam pemanfaatan teknologi, KPU DKI Jakarta diharapkan mampu menjalankan Grand Design Sistem Informasi (GDSI) KPU yang dirumuskan pakar informasi sejak 1998. Secara garis besar, GDSI merumuskan pentingnya pendaftaran pemilih yang terkait sistem kependudukan, meliputi 26 portofolio aplikasi untuk tahapan pemilu. Strategi GDSI sebenarnya sudah dirancang dengan menggunakan teknologi dengan tingkat transparansi, efektivitas, reliabilitas, dan akuntabilitas yang tinggi. Tapi, selama ini yang terjadi konsep GDSI hanya dijalankan setengah hati sehingga masih banyak terjadi perbedaan terkait data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dan DPT.

Untuk itulah, perlunya masyarakat dan kalangan parpol untuk mengawasi secara seksama kinerja KPU DKI Jakarta. Berbagai masukan harus ditanggapi serius sehingga proses demokrasi menghasilkan pemimpin yang bersih. KPU DKI Jakarta diminta bekerja cepat menyesuaikan data pemilih dengan fakta lapangan. Selain itu, solusi teknologi harus diterapkan sepenuh hati sehingga kecurangan sistemik tidak terus dibiarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar