Pilkada
Potensial dan DPT Fiktif
Inggar
Saputra ; Peneliti Institute for Sustainable Reform (Insure)
Sumber :
SUARA KARYA, 26 Juni 2012
Pilkada DKI Jakarta 2012 diikuti enam pasangan cagub-cawagub yang
akan memperebutkan tiket memimpin Jakarta, lima tahun mendatang. Semua calon
menjanjikan kepemimpinan visioner dan menganggap dirinya sebagai pejuang
rakyat. Semua calon boleh mengklaim sebagai prorakyat, tapi perlu diingat bahwa
rakyat Jakarta sudah bergerak menuju alam pemikiran rasional.
Berbagai hasil survei, bukan sebuah kepastian membanjirnya
dukungan rakyat Jakarta sehingga mudah memenangi pilkada. Kita bisa belajar
bagaimana data statistik hanya sebuah proses ilmiah, bukan hasil akhir
konstestasi dari pertandingan menuju kepastian memimpin DKI. Rakyat Jakarta ke
depan membutuhkan kerja nyata, bukan penilaian semu yang diukur berdasarkan
data statistik.
Kita boleh berharap sukses Pilkada DKI sebagai barometer
keberhasilan demokrasi Indonesia. Bagaimanapun demokratisasi DKI Jakarta adalah
lambang keteladanan berdemokrasi secara nasional. Sebab itu, semestinya DKI
menjadi contoh terbaik terkait sistem kependudukan untuk mendukung proses
demokrasi. Apalagi, KPU DKI sudah menjamin keberlangsungan pilkada berjalan
bersih. Para cagub dan cawagub, baik dari parpol maupun independen telah
menyatakan siap menyukseskan Pilkada DKI secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil.
Keyakinan KPU DKI Jakarta semakin besar karena mereka menganggap
sudah berhasil menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dengan baik. Berdasarkan
data KPU DKI Jakarta, DPT Pilkada DKI tercatat 6.982.179 orang. Nantinya mereka
akan memilih di 15.062 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan jumlah pemilih
laki-laki mencapai 3.553. 672 orang, dan pemilih perempuan (3.428.507 orang).
Penetapan DPT berlandaskan UU Nomor 15 Tahun 2012 dan Peraturan KPU Nomor 12
Tahun 2010 tentang pemutakhiran data pemilih.
Ironisnya, di tengah klaim sukses menetapkan DPT, kalangan parpol
memprotes kinerja KPU DKI. Mereka menilai Pilkada DKI Jakarta rawan kecurangan
karena masih membanjirnya DPT fiktif. Berdasarkan data Pusat Pergerakan Pemuda
Indonesia (P3I), setidaknya ada 1,4 juta pemilih fiktif (ghost voters) dikhawatirkan berpartisipasi dalam Pilkada DKI Jakarta,
Juli mendatang. Tercatat 1,4 juta pemilih fiktif masuk dalam Daftar Pemilih
Sementara (DPS). DPS yang berasal dari Pemprov DKI Jakarta, khususnya Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil.
Merespons persoalan DPT fiktif, setidaknya lima parpol telah
meminta KPU melakukan audit terhadap DPS sebelum melakukan pleno DPT. Kelima
parpol, PKS, Gerindra, PPP, P Golkar, dan PDIP menduga ada pemilih fiktif
berjumlah 1,4 juta orang. Mereka sempat meminta agar pilkada ditunda sampai
proses verifikasi data selesai dijalankan.
Persoalan DPT fiktif menandakan buruknya kinerja KPU dalam
mengelola pendataan untuk kepentingan strategis seperti Pilkada. Apalagi,
kejadian DPT fiktif bukan sekali saja terjadi. Sebelumnya pada Pilkada DKI
tahun 2007 ditemukan banyak pemilih fiktif. Ketika itu Pusat Kajian Politik
(Puskapol) FISIP UI dan LP3ES mencatat sebanyak 20-23 persen pemilih DKI tidak
terdaftar. Posisi mereka digantikan oleh pemilih yang terdaftar lebih dari satu
kali (pemilih ganda) dan pemilih fiktif atau orang yang masuk dalam daftar
pemilih, sementara ketika dicari di alamat yang bersangkutan, mereka sudah
tidak ada lagi.
Kondisi yang sama kembali terjadi pada Pemilu 2009 sehingga banyak
pihak merasa dirugikan atas 'kecelakaan' maraknya DPT fiktif. Ini tentu
menyedihkan dalam proses berdemokratisasi. Sebagai ujung tombak dalam
pemutakhiran data pemilih tetap, KPU DKI dianggap gagal menjalankan tugas
secara maksimal. Mereka gagal belajar dari kesalahan KPU DKI Jakarta
sebelumnya.
Ketidakberesan DPT adalah persoalan krusial yang membutuhkan
penanganan mendesak. Sebab, jika dibiarkan citra Pilkada DKI Jakarta akan
rusak, dam KPU DKI Jakarta bisa dinilai gagal menjalankan tugasnya. Untuk itu,
dibutuhkan sebuah solusi lewat penggabungan pendekatan sosial dan kemajuan
teknologi, informasi dan komunikasi. Solusi itu merupakan terapi sosial yang
sistemik dalam menelusuri cacat daftar pemilih akibat buruknya proses dan
infrastruktur kependudukan DKI Jakarta.
Dalam konteks sosial, diperlukan adanya keberanian KPU DKI Jakarta
untuk terjun langsung ke bawah. Mereka harus mau dan mampu menelusuri
kejanggalan yang terjadi di lapangan. Keberanian ini diperlukan agar pemilih
fiktif dapat diberantas sehingga tidak berkembang sebagai benalu pesta
demokrasi Jakarta. Mengandalkan pola dengan bertumpu kepada personal RT/RW
tidak pernah berjalan maksimal.
Sedangkan dalam pemanfaatan teknologi, KPU DKI Jakarta diharapkan
mampu menjalankan Grand Design Sistem Informasi (GDSI) KPU yang dirumuskan
pakar informasi sejak 1998. Secara garis besar, GDSI merumuskan pentingnya
pendaftaran pemilih yang terkait sistem kependudukan, meliputi 26 portofolio
aplikasi untuk tahapan pemilu. Strategi GDSI sebenarnya sudah dirancang dengan
menggunakan teknologi dengan tingkat transparansi, efektivitas, reliabilitas, dan
akuntabilitas yang tinggi. Tapi, selama ini yang terjadi konsep GDSI hanya
dijalankan setengah hati sehingga masih banyak terjadi perbedaan terkait data
penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dan DPT.
Untuk itulah, perlunya masyarakat dan kalangan parpol untuk
mengawasi secara seksama kinerja KPU DKI Jakarta. Berbagai masukan harus
ditanggapi serius sehingga proses demokrasi menghasilkan pemimpin yang bersih.
KPU DKI Jakarta diminta bekerja cepat menyesuaikan data pemilih dengan fakta
lapangan. Selain itu, solusi teknologi harus diterapkan sepenuh hati sehingga
kecurangan sistemik tidak terus dibiarkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar