Tank
Leopard dan Diplomasi Kita
Joss
Wibisono ; Redaktur
Senior pada Radio Nederland Siaran Indonesia
di Hilversum, Negeri Belanda
Sumber :
KORAN TEMPO, 26 Juni 2012
Debat De Tweede Kamer parlemen Belanda pada
Kamis, 21 Juni, itu berakhir aneh. Di luar kebiasaan, seusai debat tidak
diadakan pemungutan suara. Sore itu tidak ada keputusan yang diambil. Apa
pasal? Maklum, pemerintah, dalam hal ini Menteri Luar Negeri Uri Rosenthal,
mencabut rencananya meminta izin parlemen untuk menjual 80 unit tank Leopard
kepada Indonesia. Tampaknya memang itulah satu-satunya pilihan sang Menlu.
Maklum, dia berhadapan dengan parlemen yang mayoritas menentang rencana itu.
Dengan mencabut usulnya, berarti pemerintahan demisioner Perdana Menteri Mark
Rutte, yang jatuh April silam, menyerahkan soal penjualan tank ini kepada
pemerintah baru hasil pemilu 12 September mendatang.
Menghadapi debat ini, pemerintah Belanda
sebenarnya sudah mengambil langkah-langkah memadai. Misalnya telah dilakukan
pengecekan pada peraturan ekspor Uni Eropa, dan dipastikan rencana penjualan
tank ke Indonesia tidak melanggar aturan itu. Lebih dari itu, duta besar
hak-hak asasi manusia Lionel Veer juga sudah diutus ke Indonesia untuk mencari
tahu perihal situasi hak-hak asasi manusia. Veer menyatakan, dalam bidang
demokrasi dan hak-hak asasi manusia, Indonesia sudah mengalami kemajuan pesat.
Tetapi sang duta besar masih khawatir akan situasi Papua, walaupun pemerintah Belanda
yakin tank Leopard tidak akan dikerahkan di sana.
Kekhawatiran Duta Besar Veer inilah yang
dimanfaatkan kalangan oposisi untuk menampik rencana pemerintah. Frans
Timmerman, juru bicara politik luar negeri Partai Buruh (PvdA), menilai argumen
pemerintah tidak meyakinkan. Arjan El Fassed dari Fraksi GroenLinks (kiri
hijau) menyatakan belum pernah mendengar ucapan seorang pakar atau pengamat
hak-hak asasi manusia bahwa penjualan tank kepada Indonesia memang bisa
dipertanggungjawabkan.
Sudah sejak akhir tahun lalu, tak lama
setelah Indonesia mengumumkan niatnya membeli tank Belanda yang diobral,
parlemen Belanda menentang rencana ini. Anggota Fraksi GroenLinks, Arjan El
Fassed, yang berdarah campuran Palestina-Belanda, mengajukan mosi menentang
rencana itu. Alasannya, kinerja hak-hak asasi manusia Indonesia tidak
meyakinkan. Mosi ini mendapat dukungan partai-partai oposisi lain, termasuk,
menariknya, PVV, partai pimpinan Geert Wilders yang anti-muslim serta
anti-pendatang.
Wilders waktu itu masih merupakan gedoogpartner
(mitra koalisi yang tak ikut memerintah) dua partai yang berkuasa, yaitu partai
konservatif VVD dan partai Kristen demokrat CDA. Bagaimana bisa demikian?
Bukankah, sebagai mitra koalisi, Wilders juga harus mendukung pemerintah?
Ternyata waktu itu ada kesepakatan dengan PVV bahwa partai ini akan bersikap
“seolah-olah tidak melihat” kalau parlemen memperdebatkan penjualan tank kepada
Indonesia.
Masalahnya bertambah rumit ketika kabinet
Perdana Menteri Mark Rutte jatuh akhir April lalu. PVV pimpinan Wilders merasa
tidak terikat lagi pada kesepakatan itu. Artinya, mereka tetap mendukung mosi
parlemen yang menentang penjualan tank Leopard kepada Indonesia. Kalau
partai-partai lain mempermasalahkan hak-hak asasi manusia, PVV punya alasan
lain. Partai ini bersitegang soal Belanda tidak boleh berhubungan dengan negara
Islam. Dan karena penduduknya mayoritas Islam, Indonesia, bagi mereka, termasuk
negara Islam.
Penolakan De Tweede Kamer menimbulkan
pertanyaan baru. Apalagi kalau mengingat parlemen Belanda mengizinkan penjualan
kapal perang Korvet kepada Indonesia. Mengapa Korvet diizinkan sedangkan
Leopard tidak?
Ada tiga kemungkinan jawaban. Pertama, komposisi
kabinet Belanda waktu izin penjualan Korvet keluar. Waktu itu, tahun 2004, di
Belanda berkuasa Kabinet Balkenende II, yang terdiri atas partai Kristen
demokrat CDA, partai konservatif VVD, dan partai demokrat D66. Tiga partai ini
menguasai mayoritas parlemen, sehingga mosi menentang penjualan Korvet yang
diajukan partai sosialis SP tidak memperoleh mayoritas.
Jawaban lain adalah pemilihan umum yang akan
berlangsung 12 September mendatang. Untuk itu, pelbagai partai politik Belanda
ingin tampil seseksi mungkin di hadapan pemilih. Karena itu, kalangan partai
kiri memegang teguh prinsip mereka, termasuk prinsip menghormati hak-hak asasi
manusia. Mereka menolak berkompromi dengan dua partai kanan yang berkuasa.
Kemungkinan ketiga adalah kemampuan politikus
Belanda membedakan Angkatan Laut dari Angkatan Darat kita. Di zaman Orde Baru,
AD lebih banyak terlibat dalam pelanggaran hak-hak asasi manusia ketimbang AL.
Selain itu, Belanda paham Indonesia perlu menjaga integritas wilayahnya. Dan
bagi negara kepulauan, itu adalah tugas Angkatan Laut.
Pada dasarnya memang partai-partai kirilah
yang menentang penjualan senjata kepada negara-negara yang dianggap melanggar
hak-hak asasi manusia. Selain PVV yang punya alasan sendiri, mosi
anti-penjualan tank Leopard kepada Indonesia digerakkan oleh partai-partai
kiri: GroenLinks (kiri hijau), SP
(partai sosialis), dan Partij van de
Arbeid (partai buruh). Lalu masih ada partai kecil ChristenUnie yang beraliran Kristen ortodoks dan selalu membela
orang-orang Papua.
Di sini langsung tampak betapa partai-partai
kiri merupakan ladang yang belum digarap oleh diplomasi Indonesia. Harus
diakui, selama ini diplomasi kita hanya merapat pada partai-partai kanan.
Maklum, hanya kalangan kanan yang mendukung Indonesia di masa Orde Baru. Sebagai
pengganyang PKI dan partai kiri lain, Orde Baru selalu alergis kepada kalangan
kiri. Puncaknya adalah ketika orang kuat Orba murka terhadap Jan Pronk (menteri
Partai Buruh PvdA) karena mengecam banjir darah Santa Cruz, November 1991.
Kalau di zaman reformasi ini Jakarta terus-terusan mendesak pihak luar negeri
supaya menggunakan kacamata lain dalam melihat Indonesia, maka Indonesia
sendiri pada gilirannya harus sadar pula bahwa diplomasinya selama ini juga
berat sebelah.
Ketika menjabat Duta Besar RI untuk Kerajaan
Belanda, mendiang Fanny J.E. Habibie juga dikenal dekat dengan politikus kanan
Belanda. Dua di antara mereka, Hans van Baalen (partai konservatif VVD) dan Ben
Bot (partai Kristen demokrat CDA), bahkan dianugerahi Bintang Mahaputra pada 2009.
Jangankan dianugerahi bintang, dekat dengan kalangan kiri saja tidak pernah
diupayakan oleh diplomasi Indonesia yang menganggap dirinya negara besar.
Hanya ketika Gus Dur menjabat RI satu,
politikus kiri Belanda merapat ke Indonesia. Dipelopori oleh Ad Melkert (Ketua
Fraksi PvdA di parlemen) yang kawan dekat Gus Dur semasa INFID, mereka memuji
demokratisasi yang melanda Indonesia. Walau begitu, Marijke Vos, politikus
GroenLinks, sempat mendebat Gus Dur soal kekerasan di Maluku. Sayang, kedekatan
ini tidak dikembangkan. Salah satu sebabnya, mungkin, Indonesia sampai sekarang
belum juga mengenal partai berhaluan kiri.
Sekarang sudah tiba saatnya diplomasi
Indonesia diperlebar dengan mendekati partai-partai kiri Belanda. Duta Besar
Retno Marsudi, yang sempat ditolak ketika hendak bertemu dengan Diederik
Samson, pemimpin Partai Buruh, harus pandai-pandai mengerahkan daya pesona
diplomasinya supaya bisa dekat dengan kalangan kiri. Apalagi karena jajak
pendapat meramalkan partai-partai kiri itu akan menang dalam pemilu 12
September mendatang.
Tanpa upaya mendekati kalangan kiri,
penundaan penjualan tank Leopard bisa berubah menjadi pembatalan. Kecuali kalau
memang hendak berbelanja Leopard di Jerman, yang jelas-jelas lebih mahal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar