Sabtu, 30 Juni 2012

Keluarga Sejahtera, Keluarga Bahagia


Keluarga Sejahtera, Keluarga Bahagia
Mustafa Kamal ; Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI
SINDO, 29 Juni 2012


Pada hari ini, Indonesia memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas). Pembahasan mengenai keluarga selalu menjadi hal penting karena keluarga menjadi salah satu kehidupan manusia.

Membentuk keluarga dan memperoleh kebahagiaan, sesungguhnya merupakan satu kesatuan.Kebahagiaan dalam membentuk keluarga ini wajar muncul mengingat di antara indikasi konsep bahagia adalah berkurangnya ketegangan, kekecewaan dalam diri, dan munculnya rasa puas baik dalam soal aspek fisik, mental, emosi, dan sosial. Singkatnya, kebahagiaan ini merupakan penyempurna hidup.

Sayangnya, batas kebahagiaan yang didoakan dan diungkap pascapesta pernikahan terjadi sering kali segera lenyap, manakala waktu yang berlalu menempatkan satu keluarga pada satu masalah: ketiadaan kesejahteraan. Ketiadaan kesejahteraan tak sama dan sebangun dengan kemiskinan, apalagi sekadar kecilnya pendapatan, meski banyak orang menyamakan istilah keluarga prasejahtera sebagai keluarga miskin.

Keluarga sejahtera diartikan oleh BKKBN sebagai keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang layak, dan mempunyai hubungan serasi, seimbang, dan selaras antaranggota keluarga serta anggota keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Maka tak heran, manakala sebagian kriteria ini tak bisa terpenuhi di dalam keluarga, kebahagiaan pun mulai terkikis dalam kehidupan berkeluarga.

Keluarga yang tidak sejahtera dan terkikis rasa bahagianya akan tumbuh menjadi masyarakat yang tidak bahagia dan menjadi ancaman bagi kekuatan bangsa. Pasalnya, masyarakat yang tidak bahagia sulit mendorong diri mereka untuk berperan aktif, kreatif,dan produktif memajukan bangsa. Bahwa hidup sejahtera telah menjadi impian tiap keluarga, tentu tak perlu diperdebatkan lagi, karena kesejahteraan merupakan faktor pendorong kebahagiaan keluarga. Dan untuk itu,setiap keluarga harus berjuang keras demi meraih kesejahteraan ini.

Namun meski tiap keluarga memiliki tanggung jawab masing-masing untuk meraih kesejahteraan, merupakan tugas negaralah untuk memastikan bahwa setiap keluarga mendapat peluang yang sama dan dukungan yang maksimal untuk menjadi sejahtera. Ada contoh menarik dari apa yang dilakukan pemerintahan Bhutan,kerajaan kecil di kawasan yang dikelilingi Pegunungan Himalaya.

Alih-alih hanya sibuk mengejar indeks pembangunan manusia (IPM) yang ditetapkan PBB dengan ukuran-ukuran seperti tingkat pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kesetaraan gender, negeri ini juga membuat indeks kebahagiaan manusia bagi warganya untuk mengetahui tingkat kebahagiaan mereka dan memastikan tercapainya derajat kebahagiaan yang cukup bagi setiap warga negara. Bhutan rupanya meyakini benar bahwa individu yang berbahagia akan berpadu dan tumbuh menjadi keluarga yang berbahagia, lantas menjelma menjadi masyarakat yang berbahagia dan kemudian mereka bisa menggerakkan roda kehidupan bernegara dengan lebih baik.

Kebutuhan Material dan Spiritual

Kita tentu bersyukur banyak program pemerintah,terkait peningkatan ekonomi keluarga, seperti program-program Kelompok Usaha Bersama (KUBE), bantuan alat pertanian dan ternak, penyediaan rumah murah bersubsidi, bantuan langsung tunai,raskin. Namun, ini baru sebatas pada upaya penanggulangan kemiskinan.Apalagi,beberapa program juga kerap dipandang “gagal” karena terbelit masalah ketidakakuratan data, ketiadaan pendampingan, lemahnya pengawasan dan evaluasi, serta rentan dikorupsi.

Untuk dapat hidup layak dan mandiri, sesungguhnya masyarakat harus bekerja, entah sebagai buruh, karyawan, atau pekerja mandiri. Ini berarti negara harus membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Ini juga dimaksudkan agar negara kita tidak perlu lagi membiarkan para istri dan ibu, kaum perempuan,menjajakan tenaganya di negeri orang dan meninggalkan keluarga yang dicintainya, betapa pun besarnya devisa yang mereka sumbangkan bagi kas negeri ini. Petani dan nelayan harus mendapat dukungan saranaprasarana memadai, akses untuk memiliki tanah garapan sendiri atau perahu, misalnya.

Ini bukan hal yang mustahil bila pemerintah mau membuka peluang kerja sama tripartit antara pihak negara, pihak pengusaha besar, dan atau lembaga keuangan serta pihak petani atau nelayan. Infrastruktur pun harus terbangun baik, sebab petani dan nelayan misalnya, tidak hanya perlu pupuk dan minyak tanah atau solar yang murah (karena disubsidi negara), tetapi juga memerlukan kepastian bahwa “modal dasar”usaha mereka itu tersedia di lapangan. Bukan tertahan oleh tangan-tangan penimbun yang “berkuasa” atau justru tertahan oleh jalan rusak dan keterlambatan pengiriman barang.

Bagi para pekerja mandiri, wirausaha, pengusaha—terutama dari kelompok UMKM— dukungan juga dibutuhkan agar mereka dapat mewujudkan usaha dengan tenang, mudah, bebas pungutan liar. Akses keuangan atau perbankan pada kelompok usaha kecil dan mikro harus dipermudah. Begitu pula soal izin usaha. Dukungan bagi para pekerja mandiri ini sebenarnya justru menguntungkan pemerintah, setidaknya beban pemerintah membuka lapangan kerja seluas-luasnya bisa sedikit teratasi.

Tapi tak hanya itu.agar menjadi sejahtera, masyarakat juga harus terpenuhi kebutuhan spiritualnya dan terjaga keharmonisan sosialnya. Ini bisa diartikan bahwa negara harus bisa menyediakan sarana- prasarana beribadah yang baik, layak, dan cukup jumlahnya.Kemudian, negara pun harus mampu menegakkan keamanan dan kepastian hukum demi menjaga kelangsungan kerukunan antarumat beragama, antaretnis, antarsuku bangsa, dan antarkelas strata sosial.

Ini tentu bukan hanya berarti penguatan program dari berbagai kementerian dan lembaga, melainkan termasuk pembinaan dan pendampingan pada masyarakat itu sendiri. Ketika kita sama berharap bahwa keluarga Indonesia tumbuh menjadi sehat,cerdas, mandiri, jujur, santun, dan peduli sesama misalnya,program pembinaan, pendampingan, dan advokasi juga harus mendukung hal tersebut. Bagaimana kita berharap masyarakat akan jujur,misalnya,bila korupsi terus merajalela,menjerat para petinggi negara,dan seolah tak terselesaikan dengan efek yang mampu membuat jera.

Bagaimana pula kita berharap angka penderita HIV/AIDS menurun bila pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja tidak intens dan merata diprogramkan, pendidikan moral dan keagamaan tidak lagi kuat digaungkan, dan peredaran narkoba serta pornografi tidak secara intens dan kontinu diberantas? Begitu pula terhadap arus informasi dari media massa, cetak, elektronik, dan internet misalnya, tak perlu dilakukan sensor tetapi tetap harus dilakukan pengamatan dan pembinaan. Dengan begitu,masyarakat tidak lagi mendapatkan lebih banyak terpaan informasi “sampah”yang tidak jauh dari “pendidikan” soal hedonisme, egoisme, dan konsumerisme.

Semua orang akan sepakat bila dikatakan ini adalah tugas besar bersama yang harus diemban setiap anggota masyarakat. Tetapi negara,lebih khusus pemerintah yang menggenggam amanah kepemimpinan di tangannya,harus menjadi pemikul beban terbesar dalam peran menyejahterakan keluarga di Indonesia.Agar setiap keluarga Indonesia menjadi sejahtera,kemudian menjelma menjadi bahagia dan bangsa ini pun tumbuh menjadi bangsa yang sejahtera, bangsa yang bahagia pula. Semoga!

1 komentar:

  1. Halo Admin budisansblog.blogspot.com,

    Kami dari Vemale.com, situs wanita grup dari KapanLagi.com.
    Apakah kita bisa kerjasama untuk bertukar link?

    Anda bisa menampilkan link Vemale.com di budisansblog.blogspot.com
    Untuk posisi link-nya, kami berharap link dari Vemale.com diletakkan di sidebar kanan atas.

    Dan kami akan menampilkan link budisansblog.blogspot.com di halaman Vemale.com: http://www.vemale.com/relationship/keluarga/

    Terima kasih atas kerjasamanya :)

    Humas Vemale.com
    Selvie Chummairoch

    BalasHapus