Neolahabisme
dan Korupsi Alquran
M
Bashori Muchsin ; Guru besar dan Direktur Program
Pascasarjana
Universitas Islam Malang
Sumber :
MEDIA INDONESIA, 26 Juni 2012
SALAH
satu `kado istimewa' yang diwariskan Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat di
muka bumi, khususnya komunitas muslim, ialah mental militan atau pemberani
dalam menghadapi tantangan atau godaan model apa pun demi tegaknya kebenaran,
keadilan, kejujuran, dan harkat kemanusiaan yang sudah digariskan Alquran.
Sebagai
contoh, saat Nabi giat-giatnya mendakwahkan kebenaran wahyu Allah SWT,
datanglah kelompok Abu Lahab (elite kafir Qurays) yang bermaksud menghambat dan
menghentikannya. Komunitas Abu Lahab itu tak menginginkan prinsip keadilan dan
keadaban yang diajarkan beliau semakin mendapatkan tempat di masyarakat. Demi
mencapai maksud tersebut, mereka menawarkan takhta, perempuan, dan kekayaan
kepada Nabi.
“Sekalipun
matahari, rembulan, dan apa pun di muka bumi ini kalian berikan kepadaku, aku
tidak akan berhenti menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kejujuran,“ demikian
jawab Nabi saat dirayu dan hendak dijinakkan Abu Lahab cs. Itu menunjukkan Nabi
telah meletakkan fondasi moral bagi setiap pejuang kebenaran supaya tidak
menyerah dan kalah hanya oleh tawaran seperti kompromi politik, dagang
kekuasaan, atau bagi-bagi kursi.
Apa
yang dilakukan Nabi itu juga berhubungan dengan komitmen pembelaannya terhadap
kepentingan masyarakat yang sudah lama terpuruk akibat penindasan dan praktik
kebinatangan yang diberlakukan dan ditradisikan komunitas kafir.
Model Kepemimpinan
Jika
meneladani apa yang dipraktikkan Nabi, kita setidaknya bisa fokus pada masalah
model kepemimpinan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, yang boleh
jadi saat kepemimpinan ini diterapkan, gaya neolahabisme atau penyakit
bersumber dari Abu Lahab gaya baru ikut membungkusnya. Neolahabisme bisa saja
mengemas dirinya menjadi ranjau-ranjau yang membuat kepentingan rakyat
dikalahkan, kebenaran gagal mengalir objektif, dan keadilan terjegal di tengah
jalan.
`Tekad
bersama untuk mendahulukan kepentingan bersama, masyarakat, bangsa, dan negara
di atas kepenttingan pribadi dan golongan sendiri' (samen bundeling van alle krachten van de natie) ialah ungkapan Bung
Karno di hadapan rakyat dan pejabat pemerintahan, yang beridealisme
membangkitkan rasa nasionalisme, komitmen kebangsaan, dan pencerahan Indonesia,
khususnya komitmen pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.
Pesan
Bung Karno itu juga mengajarkan, dalam membangun bangsa, setiap orang yang
dipercaya menjadi elite percaya menjadi elite negara atau menduduki kursi yang
membawa atribut atau identitas suara rakyat idealnya mengutamakan atau mendahulukan
komitmen kebangsaan yang ditujukan demi mewujudkan kese jahte raan rakyat,
membebaskan rakyat dari kemiskinan, berjuang di garis depan untuk melawan
berbagai ancaman asing dan penyakit internal yang cenderung mengoyak Republik
menjadi sebuah negeri keropos, dan menyucikan diri sesuci-sucinya agar tidak
terjerumus pada kasus dan `kaukus rezim' atau kolaborasi neolahabisme berpola
pembenaran korupsi, penodaan keadilan, serta berbagai bentuk penyalahgunaan
kekuasaan. Dugaan kasus korupsi pengadaan Alquran, jika terbukti, merupakan wujud
neolahabisme yang mengindikasi kan masih berjayanya mental koruptif
menghegemoni penguasa negeri ini.
Komunitas
elite negara idealnya mampu jadi negarawan seperti Nabi atau bersikap cerdas
dan humanistis dalam menunjukkan kapabilitas intelektual-spiritual,
kemanusiaan, dan akseptabilitas moral politik mereka guna meninggikan makna
tanggung jawab (kewajiban) kepada rakyat dan bukannya memilih jalan sebaliknya,
menjadikan rakyat sebagai kendaraan untuk memenuhi `berahi politik' semata,
kegilaan jabatan, dan nafsu kapitalistis.
Opsi
pembusukan amanat atau pemenangan kebohonganlah yang hingga kini masih ditempuh
sebagian elemen negeri ini. Mereka mengemas diri sebagai petualang yang gemar
menciptakan peluangpeluang strategis yang membuat mereka jadi selebritas
kekuasaan kaya raya atau menempati strata elitis `upper class' yang membuat rakyat jadi penonton merana. Kroni dan
kepentingan eksklusif `kaukus politik', misalnya, dijadikan `kepentingan
keluarga' yang mereka absolutkan dengan mengalahkan amanat kerakyatan.
Ketika
pemimpin terjebak dalam lingkaran pola hidup yang berelasi mutlak pada nilai
kebendaan, kedudukan, dan keduniaan, hidupnya niscaya makin teralienasi dari
hasrat menjunjung tinggi dan menyejarahkan doktrin kenabian (keagamaan dan
ketuhanan). Doktrin agung seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, dan
kemanusiaan yang digariskan Alquran akhirnya dijadikan sebagai objek yang
dikomoditas sesuai dengan selera dan ambisi-ambisi yang tak kenal titik nadir.
Idealnya,
doktrin kebenaran, kejujuran, dan keadilan serta penghormatan terhadap HAM
dalam Alquran merupakan cabaran ajaran ketuhanan Cahaya Tuhan yang seharusnya
menyinari kegersangan jiwa dan bermanfaat dalam mencerdaskan nalar kemanusiaan
(elite kekuasaan) ternyata diredupkan sendiri oleh kegilaan aksi megalomania
kepentingan keduniaan, kebendaan, dan kedudukan yang berhasil menjajah atau
memperbudak mereka menjadi neolahabisme. Mereka ini terkerangkeng dalam relasi
bergaya homo animalis.
Tampilan
relasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mereka desain hanya
mendeskripsikan polarisasi dan ‘pembusukan nilai’ (values decay). Pembusukan itu salah satunya terwujud dengan
keberanian mengorupsi pengadaan Alquran.
Dalam
tataran serbaneolahabisme itu, komunitas elitis akhirnya hanya mengikuti irama
pergumulan yang memuaskan dimensi hedonistis dan oportunistis mereka meski
target pemuasan keserakahan itu harus dilakukan dengan meminggirkan dan
berusaha mematikan hukum dan etik profesinya. Perburuan tersebut dapat membuat
mereka makin `piawai' dalam menggelar konspirasi kriminalisasi yang
mendestruksi hak-hak publik, seperti ketenangan, kebersamaan, kesejahteraan,
persaudaraan, dan kesatuan hidup berbangsa.
Hilangnya
makna keberagaman itu, disebut John Dewey, dapat mengakibatkan manusia-manusia
modern menjadi lebih dungu jika dibandingkan dengan manusia primitif dalam
menaklukkan diri sendiri. Mereka berlaku seperti busa yang mudah dihempaskan
badai kepentingan dunia. Boleh saja manusia modern itu pintar dan cerdas dalam langgam
politik dan iptek. Namun bila aktivitas yang mereka kemas, meminjam kata
sejarawan Ahmad Amin, sarat dengan `pembangkangan kebenaran' atau lekat dengan
kejahatan dan pelanggaran hak rakyat, perilaku mereka tak lebih dari komunitas
barbar Abu Lahab cs.
Deskripsi
sosok itu cukup dapat terbaca lewat gelora berahi elite kekuasaan yang bergerak
tanpa kendali, brutal, menghalalkan kejahatan, sarat kekejian, mengeksploitasi
hak-hak sesama, mengabaikan keselamatan publik, menabur kezaliman, serta
menghancurkan kredibilitas rakyat dan masa depan mereka.
Mereka itu juga tak mampu menjawab
pertanyaan, “Fa aina tadzhabuun (mau
apa dan ke mana sesungguhnya Anda hidup)?“ Mereka benar-benar dungu. Meminjam
sindiran Allah dalam Alquran, “Wa maa
yasy'uruun,“ mereka sungguh tak menyadari dan memahami bahwa Allah-lah yang
seharusnya menjadi puncak penggembalaan dan tujuan hidup (QS Al-Baqarah: 9
& 13). ●
jika benar terbukti,
BalasHapusSiap2 hukuman dunia dan akhirat!!
Bosan dengan berita - berita yang itu-itu aja??
Mau tau berita terupdate??
Mau tau yang serba unik??
Mau tau yang seru - seru??
silahkan kunjungi >> http://www.mautau.net/