Sabtu, 16 Juni 2012

Anas Oh Anas…

Anas Oh Anas…
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi, Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina dan STIKOM London School of Public Relations, Jakarta
Sumber :  INILAH.COM, 15 Juni 2012


Pekan ini, gosip seputar Anas Urbaningrum ramai kembali. Sesudah kontroversi pernyataannya soal,"gantung di Monas kalau Anas korupsi," tempo hari, kini sorotan media kepadanya terkait dua perhelatan penting Partai Demokrat (PD) yang tidak dihadirinya.

Pertama, Anas absen pada pertemuan yang dihadiri pimpinan daerah PD dari 33 provinsi di kediaman Ketua Dewan Pembina PD, yang juga Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cikeas, Selasa (12 Juni) sore.

Esoknya, 13 Juni, Anas kembali tidak hadir pada sarasehan Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator (FKPD) Partai Demokrat di Hotel Sahid. Padahal dalam acara di Hotel Sahid itu, SBY memberi pengarahan lewat pidato panjang.

Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada yang mengatakan bahwa Anas diundang tapi berhalangan. Tapi yang beredar justru gosip, bahwa ketidakhadiran Anas ada hubungannya dengan upaya memangkas kekuatan Ketua Umum PD itu.

Peneliti LIPI Siti Zuhro menilai apa yang dilakukan SBY melalui FKPD memberi kesan kepada publik ada pengurangan fungsi dan peran ketua umum.

"Ada peminggiran yang sangat disengaja," kata Siti sebagaimana dimuat INILAH.COM.
Dan itu logis: dari kacamata komunikasi, saat ada gosip muncul, dan pengambil keputusan atau juru bicara organisasi tidak menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, maka yang muncul adalah makin meruyaknya gosip.

Anas belum bersuara. Kepada seorang sahabat dekatnya, Anas mengatakan, dia tetap tenang dan tidak akan melakukan sejumlah manuver yang memperburuk soliditas Partai Demokrat.

"Mas Anas bilang, 'tenang saja, wassalam'. Tidak ada tanda-tanda beliau marah, gelisah atau panik," ujar Aminuddin Syam kepada INILAH.COM

Memang dalam pidatonya SBY sama sekali tidak menyebut nama siapa pun. Ia bicara secara umum, dengan fokus pada masalah keterpurukan PD dan soal korupsi.

Di tengah merosotnya reputasi partai pemerintah itu, tampaknya sang Ketua Dewan Pembina PD ingin meneguhkan tekadnya, bahwa semua halangan dan tantangan yang terjadi belakangan ini hendaknya tidak membuat para kader PD terlalu berkecil hati, tetapi semuanya menjadi masukan agar cepat berbenah diri.

Sejauh catatan yang ada, tampaknya baru kali ini SBY membuat pernyataan yang mengakui masalah partainya. "Harus jujur diakui bahwa posisi partai kita sedang menurun. Sebabnya karena sejumlah kecil oknum yang terlibat korupsi," kata SBY.

Media Tidak Adil?

Namun SBY tidak rela kalau hanya partainya yang dihujat akibat korupsi.
"Tetapi apakah hanya Partai Demokrat yang kadernya terlibat korupsi? Tidak. Saya menunjukkan fakta, data dan angka dari sumber-sumber yang sah yang menyimpulkan partai politik yang kadernya melakukan korupsi jauh di atas Partai Demokrat," kata SBY, yang kemudian membacakan statistik angka-angka korupsi di DPRD, DPR dan lembaga lainnya.

Pada intinya, SBY menegaskan bahwa 'dosa' korupsi oknum Partai Demokrat masih lebih kecil ketimbang yang dilakukan oknum dari partai politik (parpol) lain.

Di tingkat menteri, anggota DPR RI, gubernur, bupati dan walikota, misalnya, korupsi oknum PD 'hanya' sekitar delapan persen. Di atasnya masih ada oknum dari dua parpol yang lebih korup, masing-masing dengan angka sekitar 33% dan 16%.

"Itulah faktanya. Itulah kenyataannya. Adilkah bila dengan data ini, partai kita dianggap partai korup, sedangkan yang di atas kita dianggap bersih?" tanya SBY, "Lalu mengapa yang dihabisi dan divonis adalah Partai Demokrat?"

Di dalam pidatonya, SBY menunjuk bahwa media, khususnya televisi, telah membesar-besarkan masalah korupsi di tubuh PD itu. Ia seolah hendak mengatakan bahwa tidaklah adil hanya menunjung hidung PD, sebab orang lain juga sama melakukan korupsi, bahkan dalam tingkatan yang lebih 'ganas'.

Tetapi orang sulit menerima pembelaan itu. Sebab, sudah menjadi tugas media selalu mengontrol pemerintah dan partai politik. Berhubung PD adalah *'the ruling party'*, maka setiap berita mengenai partai itu atau pun tokohnya menjadi makin seksi bagi media.

Di AS dan di negara mana pun di dunia, sudah jamak bila partai penguasa menjadi 'bulan-bulanan' paling empuk kritik media dan pengamat. Ibarat tumbuhan, penguasa berada di pucuk pohon yang tinggi, sehingga angin pun menerpa paling kencang.

Sudah menjadi kaidah umum dalam jurnalisme, bahwa makin besar bobot (magnitude) sebuah peristiwa buruk, makin menariklah ia untuk diberitakan. Nah, kondisi sebagai 'penguasa' itulah yang selalu menambahkan bobot bagi pemberitaan di media.

Selain itu, berita yang menyangkut tokoh utama (prominent people) atau mereka yang 'elite' tentu lebih menarik. Kalau saja SBY bukan Ketua Dewan Pembina PD, apalagi bila beliau bukan anggota partai itu, ketertarikan media terhadap kasus korupsi PD pasti tidak sehebat sekarang.

Begitu pula bagi Anas: kalau saja dia bukan pemimpin PD, boleh jadi sorotan media kepadanya tidak akan sempat membuat dirinya sedemikian 'capek'.

Itu yang pertama. Kedua, mengatakan bahwa ‘orang lain juga korupsi’, tentu saja justru kurang bijak. Kita tidak tahu siapa yang menyusun draft pidato SBY itu, tetapi dilihat dari kacamata etika komunikasi atau ‘public relations’, apa yang disampaikan SBY itu serupa dengan 'mencari-cari alasan' yang kadang dipakai orang saat mencari pembenaran dalam pelanggaran etika.

Kita kuatir, itu seperti bilang begini, "karena semua orang buang sampah di sini, maka boleh *dong* kalau saya ikut mengotori tempat ini?"

Bagaimana pun, mungkin orang bisa memaklumi, itu dilakukan karena SBY tak ingin 'kehilangan muka' di depan rakyat, bahwa seolah-olah oknum di partainya saja yang korup.

Itu sebabnya, saat menutup pidatonya, SBY menegaskan bahwa partainya tidak akan melindungi anggotanya jika terlibat korupsi.

Maka, pada bagian akhir pidatonya itu -- ini penting, tapi agaknya tak banyak dibahas media -- SBY secara khusus memerintahkan agar semua kader PD membuat pakta integritas untuk tidak melakukan korupsi. "Jangan main-main dengan APBN dan APBD," katanya, "Itulah sikap saya: terang, jelas, dan mudah dimengerti."

Kita doakan, semoga pakta integritas itu nantinya bukan muncul di atas kertas saja, melainkan terwujud dalam tindakan nyata semua anggota partai yang dipimpin Anas itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar