Kritik
Komisioner OJK
Anggito
Abimanyu ; Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Gadjah Mada
Sumber :
REPUBLIKA, 25 Juni 2012
Komisi
XI DPR telah memutus kan tujuh orang yang mengisi Dewan Komisioner (DK)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Selasa (19/6) malam. OJK adalah institusi
yang menyatukan regulasi dan pengawasan jasa keuangan, baik bank maupun lembaga
keuangan bukan bank.
Penyatuan
semua lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan diharapkan dapat
memberikan perlakuan yang sama (the same
level playing field) bagi seluruh cabang industri keuangan dan semua bentuk
hukum kepemilikan. Penyatuan itu sekaligus akan dipimpin oleh seorang ketua
dewan komisioner, satu orang wakil ketua, dan tujuh anggota meliputi empat
kepala eksekutif, seorang auditor, dan dua orang anggota ex-officio dari BI dan Kemenkeu. Untuk jabatan ketua, para anggota
dewan memilih Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D Hadad secara aklamasi.
Sementara
itu, enam orang lainnya terpilih berdasarkan pemungutan suara (voting).
Baru
sehari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memilih DK OJK, protes langsung bergulir. Protes
keras datang dari Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas). Mereka
memprotes komposisi DK OJK terpilih yang tidak meloloskan wakil industri
perbankan di lembaga super dalam industri keuangan ini. Komposisi terbanyak
dari regulator, yakni Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serta Bank Indonesia
(BI).
Dari
Kemenkeu ada Nurhaida (kepala Bapepam), Firdaus Djaelani (sekarang di LPS),
serta Rahmat Waluyanto (dirjen Pengelolaan Utang). Adapun dari BI ada Muliaman
Hadad yang terpilih menjadi ketua OJK, Kusumaningtuti S Soetiono, serta Nelson
Tampubolon. Satu-satunya yang beda adalah Ilya Avianti dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Perbanas
juga memprotes karena BI dan Kemenkeu sudah memiliki wakil ex-officio dalam lembaga ini. Walau mengaku tetap menghormati
keputusan presiden dan DPR, “Sangat disayangkan tak ada tempat satu pun wakil
kami,“ jelas Ketua Perbanas Sigit Pramono, Rabu (20/6). Menurut Sigit,
keputusan Komisi XI ini tidak bijak. Harusnya ada asas keseimbangan dan
keterwakilan industri yang menjadi dasar pemikiran sebelum memutuskan para
pemimpin lembaga super ini.
Untuk
itu, konon Perbanas berencana menempuh jalur hukum. Yakni, mengajukan uji
materi beberapa pasal Undang-Undang OJK ke Mahkamah Konstitusi. Namun, Sigit
belum bisa memastikan kapan rencana ini akan dilakukan. Tidak jelas pasal mana
dalam UU OJK yang akan digugat Perbanas karena anggota dewan komisioner
bersifat tidak eksklusif dan tidak ada pertimbangan asas keseimbangan dan
keterwakilan industri.
Wakil
Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis menilai, Perbanas tak konsisten. Sebelum
uji kelayakan dan kepatutan, DPR sudah memanggil Perbanas dan Himpunan
Bank-Bank Milik Negara (Himbara).
Saat
itu, kedua asosiasi bankir ini menganggap ke-14 nama yang diajukan pemerintah
baik. Mereka pun memercayakan DPR untuk memilih tujuh anggota dewan komisioner
dari 14 nama.
Menyalahkan
DPR, menurut Harry, tidak fair. Sebab, Perbanas tidak pernah menyebutkan secara
khusus calon mana yang mereka dukung. Ketika bertemu Komisi XI, mereka hanya
mengemukakan hal yang bersifat umum.
Prioritas OJK
Meski
terjadi polemik antara DPR dan Perbanas, OJK harus segera melakukan langkah-langkah
dan prioritas utama, yakni mempersiapkan konsolidasi anggota dewan komisioner
terpilih. Prioritas kedua adalah mempersiapkan langkah-langkah transisi ke 2013
dan 2014 sebelum berfungsi penuh sebagai OJK yang terintegrasi.
Prioritas
ketiga adalah memastikan kegiatan pengawasan industri keuangan tetap
berlangsung secara normal dan wajar, termasuk implementasi berbagai macam
kebijakan agar tidak mengganggu stabilitas industri keuangan. Keempat,
menyiapkan integrasi pengawasan antara Bapepam-LK dan pengawasan perbankan dari
BI.
Kontribusi
dari sektor keuangan di Indonesia masih rendah dalam mendorong pertumbuhan dan
pemerataan pendapatan. Pada 2011, rasio antara aset perbankan dan PDB nominal
diperkirakan mencapai 68 persen dan kapitalisasi pasar adalah 47 persen dari
PDB. Angka ini relatif jauh di bawah negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand,
dan Filipina. Untuk mengejar ketinggalan tersebut, diperlukan upaya dari OJK
untuk mendorong terjadinya pendalaman sektor keuangan (financial deepening) dengan memperluas akses, financial inclusion, dan mengembangkan diversifikasi produk jasa
keuangan, termasuk produk-produk syariah dan derivatif.
Baik
dilihat dari jumlah lembaganya maupun nilai aktivanya, dewasa ini hingga masa
dekat mendatang, industri perbankan masih akan tetap menjadi tulang punggung
jasa keuangan di Indonesia. Dengan demikian, pengaturan dan pengawasan industri
perbankan masih akan tetap menonjol dalam pengaturan serta pengawasan industri
keuangan.
Sementara
itu, kegiatan industri perbankan di Indonesia masih terbatas pada kegiatan
tradisional, yakni menerima deposito dan memberikan kredit.
Perbankan di Indonesia belum masuk pada kegiatan derivatif yang lebih kompleks. Keperluan pembelanjaan dunia usaha dan sektor rumah tangga masih akan sangat tergantung dari industri perbankan itu. Mobilisasi modal melalui pasar obligasi dan pasar modal masih terbatas dan masih memerlukan waktu karena, antara lain, sangat bergantung pada kemajuan perbaikan insfrastruktur industri keuangan.
Perbankan di Indonesia belum masuk pada kegiatan derivatif yang lebih kompleks. Keperluan pembelanjaan dunia usaha dan sektor rumah tangga masih akan sangat tergantung dari industri perbankan itu. Mobilisasi modal melalui pasar obligasi dan pasar modal masih terbatas dan masih memerlukan waktu karena, antara lain, sangat bergantung pada kemajuan perbaikan insfrastruktur industri keuangan.
Masalahnya,
seperti pengalaman di negara-negara lainnya, pengembangan atau inovasi produk
sektor jasa keuangan berjalan lebih cepat terjadi daripada regulasi sehingga
sering menimbulkan ekses negatif dan menimbulkan risiko bagi konsumen. Regulasi
yang dikeluarkan sering kali tertinggal dari inovasi produk yang diluncurkan
oleh lembaga keuangan, baik bank maupun Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).
Keadaan
menjadi semakin sulit karena motivasi dari pengembangan produk yang canggih dan
dipenuhi dengan financial engineering serta
memanfaatkan celah kelemahan regulasi yang sekaligus menumbuhsuburkan
praktik-praktik kecurangan mulai dari pemberian imbalan tinggi hingga penipuan
yang pada akhirnya merugikan investor, khususnya investor ritel. Disinilah
pentingnya pemahaman terhadap berbagai inovasi produk, aspek prudensial, dan
pengembangan regulasi.
Untuk
itu, yang diperlukan oleh OJK adalah pembentukan unit spesial yang mengkaji
perkembangan inovasi produk-produk keuangan di seluruh dunia. Unit ini juga
harus mempelajari seluruh best practice
regulasi di seluruh dunia dan melakukan quick
response bekerja sama dengan lembaga-lembaga riset ekonomi-keuangan di
berbagai universitas.
OJK
perlu mengoptimalkan peran dari Komisi Kode Etik dalam menjalankan GCG di
internal OJK, mengefektifkan aparat penyidikan, dan bekerja sama dengan
instansi pengadilan dalam penegakan hukum terhadap berbagai praktik-praktik
kecurangan.
Di
sisi lain, sektor keuangan di Indonesia masih rentan menghadapi risiko downside dan external shock akibat krisis global yang menular dengan cepat
melalui sektor keuangan dan trade
financing. Dalam menghadapi dampak krisis global, sektor keuangan harus
memiliki struktur permodalan yang kuat dan juga pendanaan yang stabil. Struktur
pendanaan yang dimiliki oleh sektor keuangan saat ini masih memiliki risiko
keuangan, yakni jangka waktu terlalu pendek, peranan dari dana asing yang cukup
besar, dan sumber dananya kurang bervariasi.
Dalam
masa transisi sangat penting bagi OJK untuk dapat membangun kredibilitas,
integritas, independensi, dan kepercayaan mengingat hal tersebut merupakan
pertaruhanan bagi keberlanjutan institusi baru seperti OJK. Konsolidasi dalam
masa transisi penting dilakukan untuk memastikan kredibilitas OJK dalam
berkoordinasi dengan pihak lain. Dalam masa transisi, perlu dibentuk sebuah tim
untuk membuat jadwal agenda masa transisi yang kredibel.
Terlepas
masalah protes dari Perbanas, menurut saya, komposisi DK OJK saat ini sudah
cukup ideal. Tidak masuknya personal dari industri perbankan, khususnya, tidak
menjadi masalah karena OJK adalah institusi yang mengatur dan mengawasi jasa
keuangan, bukan pelaku.
Dan sayangnya, calon-calon dari industri
perbankan yang diajukan oleh Perbanas maupun yang masuk dalam 14 besar bukan
calon terbaik. Jadi, maklum jika tidak ada calon dari industri yang terpilih
oleh DPR. Ini juga sekalian introspeksi dari Perbanas sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar