Rabu, 27 Juni 2012

“Si Pitung” yang Sedang Men-jazz-kan Jakarta

“Si Pitung” yang Sedang Men-jazz-kan Jakarta
Bagus Takwin dan Niniek L Karim ;  Pengajar di Fakultas Psikologi UI
Sumber :  KOMPAS, 25 Juni 2012


”Saya kerja jadi gubernur, pakai target. Ada semua indikator keberhasilannya…. Jadi saya tidak terlalu ambil pusing jika orang bilang, ini enggak, ini gagal, ini gagal. Ukuran saya bukan itu, ukuran saya indikator-indikator itu.”

Ucapan Fauzi Bowo ini mewakili kepribadiannya. Ada sifat teratur dan disiplin pada dirinya. Fauzi adalah orang yang berhasrat untuk menjaga segalanya terorganisasi dan tertata. Ia juga orang yang produktif dan mengedepankan etos kerja. Di sisi lain, ia terkesan tidak memedulikan apa yang dipikirkan orang tentang dirinya dan apa yang dikerjakannya. Ia berpegang pada prinsip dan aturan yang diyakini dapat memberikan kebaikan bagi banyak orang.

Hal ini mengingatkan kita lagi kepada si Pitung, legenda Betawi itu. Ia cenderung bereaksi negatif terhadap kritik yang tak disertai argumentasi dan tanpa solusi. Ekspresi wajah yang tak menggubris itu bisa menyinggung pihak lain. Tidak gampang dipengaruhi opini atau keluhan tak mendasar, tetapi ia siap mendengar dari para ahli.

Latar belakang keluarga dan pendidikan Fauzi Bowo membiasakannya menjadi orang disiplin dan teratur sejak kecil. Dari ayah, ia mendapat kebiasaan hidup disiplin, teratur, dan teliti. Dalam wawancara kami dengan Fauzi, ia menyatakan; ”Ayah saya sangat meticulous (hati-hati, peka terhadap detail, teliti)… sifat itu saya dapat dari dia.” Ketekunan dan kegigihan menjalani pekerjaan hingga memperoleh hasil yang baik merupakan contoh yang ditunjukkan oleh ayahnya.

Pengaruh terbesar didapat Fauzi dari ibunya. ”Ibu saya, barangkali, dia driving force (daya dorong) buat saya sejak kecil. Jadi dia yang memotivasi, mendorong, juga memfasilitasi antara hobi, main, dan agama.” Banyak nilai yang ditanamkan ibu, tetapi yang dianggapnya paling penting dan ia pegang adalah ”jika kamu mengerjakan sesuatu, kerjakan sungguh-sungguh”. Itu diterapkan di berbagai aspek.

Pada masa kecilnya, Fauzi didorong untuk mengetahui dan mempelajari banyak hal. Di rumah lelang milik kakek dan neneknya, Fauzi melihat banyak hal yang kemudian menggugahnya untuk punya minat luas. Sejak kecil ia sudah menekuni banyak hobi, seperti mengumpulkan prangko dan koin, mendengarkan musik, serta mengoleksi karya seni.

Ibunya selalu memberi penekanan, ”Kalau kamu mengoleksi sesuatu, kamu harus tahu apa yang kamu koleksi.” Oleh sang ibu, ia didorong untuk banyak membaca. Di rumahnya ada banyak buku, termasuk ensiklopedia. Sejak SD ia sudah dibiasakan membaca Britannica Encyclopedia dan ensiklopedia berbahasa Belanda. Dua ensiklopedia ini menjadi referensinya waktu kecil. Keterbukaannya terhadap pengalaman dan hal baru sudah terbentuk sejak kanak-kanak.

”Saya ingin Jakarta seperti jazz. Setiap warganya ikut aktif bermain.” Ucapan Fauzi ini menyiratkan keterbukaannya kepada banyak hal.

Jazz adalah musik yang menuntut pemain dan pendengarnya memiliki keterbukaan yang tinggi. Riset mengenai hubungan musik dan kepribadian menunjukkan bahwa orang yang menyukai jazz memiliki apresiasi tinggi terhadap seni, memanfaatkan emosi, suka bertualang, memiliki ide yang tak biasa, dan imajinatif, serta punya rasa ingin tahu yang besar. Sifat terbukanya ia proyeksikan kepada Jakarta. Apa yang Fauzi inginkan dari Jakarta mencerminkan yang ingin ia lakukan bagi dirinya.

Jakarta yang kompleks bisa diibaratkan musik jazz. Beragam unsur yang berbeda ada di sana dengan kepadatan luar biasa. Bukan hanya padat oleh orang, rumah, dan kendaraan, Jakarta juga padat oleh aktivitas, keyakinan, gagasan, kebutuhan, keinginan, harapan, mimpi, kepentingan, dan lain-lain.

Bagaimana memadukan semua itu menjadi polyphony (paduan dari beragam bunyi independen), bukan cacophony (gonggongan segerombolan anjing), sehingga menghasilkan kebaikan bagi semua orang merupakan persoalan utama Jakarta. Fauzi menunjukkan ambisi untuk mencapai polyphony itu lewat ucapannya, ”Saya ingin Jakarta seperti jazz.”

Untuk memadukan berbagai unsur Jakarta diperlukan keterbukaan sekaligus keteraturan. Beragam unsur Jakarta tak dapat dipahami dan dirangkul tanpa keterbukaan. Kompleksitas kota ini membutuhkan aturan yang ajek dengan tetap meleluasakan warganya menampilkan subyektivitas masing-masing.

Fauzi punya kualitas itu. Namun, diperlukan juga sifat pengasuh dan keterampilan interpersonal yang baik untuk mengurus Jakarta. Beragam orang dengan keinginan berbeda harus dipertemukan dengan rangkulan yang disertai emosi positif. Mereka ingin didengar dan dianggap penting.

Jakarta juga memerlukan kehangatan dan keramahan; sesuatu yang sering kali dikesankan tak ada pada Fauzi Bowo. Kecenderungannya berlaku seperti akademikus yang kritis dan dingin (kesan yang biasanya dipancarkan orang pintar) sering ditafsirkan orang sebagai ketidakpedulian dan arogan. Padahal, itu bukan sifat aslinya. Ia bisa hangat dan bersahabat pada saat-saat lowong, humoris, dan punya minat sosial yang tinggi.

Motif Sosial

Kecenderungan Fauzi Bowo untuk lebih fokus pada tugas dan penyelesaian masalah yang dihadapinya sehingga terkesan ia mengabaikan perasaan dan kepentingan orang lain. Hal itu karena didorong oleh motif sosial untuk berprestasi yang tinggi. Kebutuhan untuk berprestasi adalah pendorong terbesarnya. Didasari oleh nilai ”bermanfaat bagi banyak orang”, ia selalu berusaha untuk mendapat hasil terbaik. Fauzi cenderung perfeksionistik, sifat yang umumnya ada pada orang yang dipengaruhi ibu.

Fauzi punya hasrat besar untuk menyelesaikan tugas seoptimal mungkin dan ingin mencapai sasaran secara realistis dengan risiko yang diperhitungkan. Untuk itu, ia bekerja keras.

Keinginan untuk bermanfaat bagi banyak orang mengindikasikan adanya kebutuhan akan kekuasaan pada diri Fauzi Bowo. Bermanfaat dapat juga dipahami sebagai berpengaruh dan memiliki pengaruh terhadap orang lain, yang merujuk pada Weber, itu berarti berkuasa.

Pengaruh itu ia hasilkan dari keahlian dan sifat dapat diandalkan. Fauzi berusaha untuk memahami tugas dan pekerjaannya sebaik mungkin, menjadi orang terbaik di bidangnya, dan menjadi orang yang lebih mengerti dari orang lain dalam usahanya memberi pengaruh kepada masyarakatnya.

Indikasi kebutuhan berkuasa juga terlihat dalam gayanya yang tak jarang mendominasi diskusi dan pembicaraan. Kebutuhan ini berkembang dari pengalamannya menjadi orang yang biasa diandalkan dalam berbagai situasi. Kebutuhan yang mendorongnya selalu siap sigap menerima tanggung jawab yang diembannya; berperan sebagai orang mengatur dan mengendalikan orang lain.

Kepercayaan, Pikiran, Penalaran

”Sekarang…, bagaimana kita membuat politik itu bermanfaat untuk kota ini dan untuk masyarakat.” Dengan pernyataan ini, Fauzi Bowo menunjukkan kepercayaannya bahwa kehidupan politik adalah ajang untuk mencapai harmoni. Ia percaya bahwa kehidupan politik dapat memberi manfaat bagi masyarakat.

Pemahaman Fauzi Bowo mengenai kota dan permasalahan Jakarta lewat program yang sudah diputuskan seperti MRT, mengeluarkan obligasi daerah, membangun sea great wall (tembok laut besar) untuk mengantisipasi kenaikan air setinggi 3 meter pada tahun 2025, yang konon bisa menenggelamkan Jakarta, mengindikasikan kompleksitas pikiran yang tinggi.

Fauzi mampu melihat berbagai dimensi dari satu persoalan dan menemukan benang merah dari dimensi itu. Pola penalaran yang sistematis dapat terlihat dari kecenderungan untuk membahas masalah secara komprehensif, hati-hati dalam mengidentifikasi masalah, dan menggunakan prosedur yang terprogram rapi. Ia punya kerangka pikir komprehensif dalam memandang permasalahan Jakarta dan berpegang pada kerangka itu saat mendekati dan menyelesaikan masalah.

Keyakinan pada prinsip dan kerangka pikir tersebut membuatnya percaya diri dan cenderung tidak mudah digugah orang lain. Memegang disiplin ilmu yang ditekuni yang diyakini kebenarannya, menjadikannya selektif dalam menerima masukan. Hal ini menyebabkan banyak orang menilainya tak suka kritik. Kesan itu jadi lebih kuat oleh ucapannya,

”Saya tak mau ambil pusing orang bilang apa.” Wujud kekuatan, karya, dan hasil kerjanya dalam tahapan terencana yang sudah dan sedang terproses sering kali tertutup oleh kesan itu. Di periode berikutnya, jika ia terpilih kembali menjadi gubernur, rasanya perlu bagi Fauzi Bowo untuk lebih mengembangkan kepeduliannya terhadap reaksi orang, setidaknya memberi tanggapan emosional yang positif. Dan kita makin teringat kepada si Pitung, tentu saja si Pitung yang jazzy.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar