Bias
Konsep Negara Gagal
Robertus
Robet ; Sekretaris
Jenderal Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Sumber :
KORAN TEMPO, 27 Juni 2012
Isu (sebagai) negara gagal kembali diarahkan
kepada Indonesia. Anehnya, isu itu ditiupkan oleh kritikus kalangan dalam negeri.
Saya tentu saja bersimpati pada keprihatinan yang barangkali menjadi motif dari
ditiupkannya isu itu dalam suara yang demikian serius. Bagi segelintir pihak,
produksi isu itu barangkali menyenangkan karena istilah “gagal” bisa membuat
pemerintah tercemooh. Namun, secara sosial, kritik dengan cara
“mengeksploitasi” indeks kelemahan diri sendiri secara kurang tepat jelas
sangat tidak produktif. Akan tetapi, dengan melihat seringnya upaya magnifikasi
secara bombastis istilah “negara gagal” sekadar demi pelampiasan kritik,
beberapa penjelasan berikut ini mungkin bisa membantu pemahaman publik.
Para akademisi merujuk kapan pertama kalinya
konsepsi negara gagal muncul pada 4 Mei 1898, yakni di dalam pidato
kontroversial Perdana Menteri Inggris zaman itu, Lord Salisbury. Pidato “The
Dying Nation” yang kemudian dikenal dengan doktrin Salisbury ini
menancapkan suatu ide mengenai pembagian bangsa-bangsa berdasarkan
“kesehatannya”. Lord Salisbury dalam pidatonya mengatakan: “You may roughly
divide the nations of the world as the living and the dying�the
weak state are becoming weaker and strong states are becoming stronger�the
living nations will gradually encroach on the territory of the dying and seeds
and causes of conflict among civilized nations will speedily appear.”
Meski demikian, evolusi konsep negara gagal
mencapai titik tertingginya justru di era 15 tahun terakhir, terutama dipicu
oleh krisis di kawasan Afrika. Negara gagal makin mendapatkan perhatian yang
luas, baik dari para akademisi maupun para pengambil keputusan, termasuk di
sini negara-negara besar seperti Inggris dan Amerika Serikat. Inggris semasa
Tony Blair secara khusus mendirikan Country
at Risk of Instability (CRI), yang merupakan sebuah program khusus untuk
mendesain kebijakan terhadap apa yang mereka sebut sebagai fragile state.
Dokumen CRI menyoroti kekhawatiran yang meningkat menyangkut gejala-gejala
seperti rontoknya institusi ekonomi, sosial dan politik; hilangnya kendali
teritorial; kekacauan sipil; perpindahan populasi yang masif; dan kekerasan
dalam konflik internal di berbagai negara, seperti Somalia, Republik Demokrasi
Congo, Sudan, Republik Afrika Tengah, Liberia, Sierra Leone, dan Cote d’Ivoire.
Meski demikian, menurut Norton, doktrin
Salisbury memberikan pembedaan diskursif awal dalam sudut pandang Darwinisme
mengenai negara lemah dan negara kuat. Namun, persis karena praktek diskursif
semacam ini pula kemudian--di masa kini--muncul kecurigaan yang cukup kuat dan
beralasan bahwa konsepsi negara gagal dianggap sebagai semacam penandaan yang
lebih banyak berfungsi untuk memperkuat hegemoni dan klaim dari pihak yang
menamakan dirinya sebagai “negara stabil atau kuat”.
Bias “orientalis” makin menemukan
kebenarannya kemudian ketika penulis konservatif semacam Francis Fukuyama juga
ikut membentuk diskursus baru yang lebih dominatif. Dalam doktrin Fukuyama,
negara gagal diidentikkan secara sepihak: “Weak of failing states commit
human rights abuses, provoke humanitarian disasters, drive massive waves of
immigration, and attack their neighbours. Since September 11, it also has been
clear that they shelter international terrorist who can do significant damage
to the United States and other developed countries” (Fukuyama, Francis,
2004, State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century,
Profile Books, hlm. 125).
Dengan basis itu, maka, misalnya pemaparan
Indeks negara gagal yang muncul belakangan ini biasanya dibasiskan pada survei
terhadap negara-negara dengan menerapkan biasanya 12 indikator, yakni: (1).
Tekanan demografis; (2). Perpindahan penduduk dan pengungsian; (3)
Kelompok-kelompok kekerasan; (4). Kekacauan dan penundaan perpindahan melalui
penerbangan; (5). Kriminalisasi dan atau delegitimasi negara; (6). Merosotnya
pelayanan publik; (7). Penundaan atau penerapan hukum yang sewenang-wenang;
(8). Aparat keamanan beroperasi seperti negara di dalam masyarakat; (9).
Merebaknya faksionalisasi elite; (10), Ketidakmerataan ekonomi; (11),
Kemerosotan ekonomi yang tajam. Indikator-indikator itu dikelompokkan dalam
tiga kategori, yakni Indikator Sosial, Indikator Politik, dan Ekonomi. Dengan
itu, menurut indeks ini, negara gagal adalah negara-negara di mana 12 indikator
yang ada dalam kondisi sangat buruk.
Dari penjelasan di atas, dapatlah kita
mengerti bahwa isu mengenai negara gagal sebenarnya lebih banyak dipengaruhi
oleh argumen humanitarian dan keamanan internasional. Ini bisa dilihat dari
argumen yang dikemukakan oleh Hilary Benn, sekretaris negara bidang pembangunan
internasional era Blair. Ia mengatakan bahwa negara-negara yang lemah akan
menghadirkan tantangan terhadap sistem pemerintahan global.
Supaya sistem
internasional bisa bekerja, ia mengandalkan negara yang kuat yang mampu
memberikan pelayanan kepada populasinya, mewakili warganya dan mengendalikan
segala aktivitas di kawasan perbatasannya, serta menghormati norma, perjanjian,
dan kerja sama internasional. Sebagai lawannya, Benn mengemukakan, negara yang
lemah dan gagal hanya akan menyediakan lahan pembiakan bagi kejahatan
internasional, penampungan terorisme, dan mengancam pelaksanaan Millennium Development Goal, penyebaran
HIV/AIDS, pengungsi, serta pelarian kekayaan.
Dari sudut pandang produksi diskursifnya,
dapat juga kita katakan bahwa konsep ini sebenarnya diproduksi secara top-down
dan mewakili mentalitas dominan negara-negara besar. Apalagi dengan mengingat
bahwa terdapat banyak kasus di mana di negara-negara yang disebut “lemah” itu,
kegagalan terjadi justru sebagai akibat dari kesalahan kebijakan serta
praktek-praktek tertentu dari negara-negara yang lebih besar. Karena itu,
secara etis pengguna indeks ini sebenarnya tidak dapat kita pakai untuk
mengukur diri kita sendiri. Ia memang lebih cocok digunakan oleh pemerintahan
di negara-negara Eropa Utara yang memiliki banyak kepentingan dan kekhawatiran
di negara kecil di Afrika dan Amerika Latin.
Dengan melihat asal-muasal penggunaan konsep
ini, sebenarnya kita boleh merasa heran dengan mereka yang menggunakan konsep
ini untuk melabel negara sendiri sebagai negara gagal. Selain memang tidak
tepat, secara etis juga terasa kurang baik. Mungkin banyak orang yang tidak
puas dengan pemerintah dan Indonesia yang memang memiliki banyak masalah. Meski
demikian, Indonesia saat ini tentu saja jauh dari kondisi-kondisi yang
dibayangkan dalam indeks negara gagal itu. Lagi pula, dalam urusan gagal atau
berhasilnya negara, faktornya jelas melampaui hal-hal yang sifatnya
pemerintahan di satu pihak. Negara ini gagal atau berhasil adalah akibat dari
aktivitas semua pihak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar