Sabtu, 30 Juni 2012

Mursi: Mendayung di Antara Tiga Karang

Mursi: Mendayung di Antara Tiga Karang
Muhammad Ja’far ; Pengasuh www.timur-tengah.com
KORAN TEMPO, 28 Juni 2012


Akhirnya, rakyat Mesir memetik buah revolusi yang mereka tanam: memiliki presiden yang dipilih secara demokratis. Muhammad Mursi, yang diusung Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap politik Al-Ikhwanul al-Muslimun, terpilih sebagai Presiden Mesir pengganti Husni Mubarak. Tapi ini justru awal perjuangan yang sebenarnya dari revolusi. Mempertahankan bara revolusi jauh lebih berat ketimbang menyulutnya. Apalagi, “pohon” revolusi sedang terancam tumbang, akibat strategi politik inkonstitusional yang dilakukan oleh kelompok militer di bawah Dewan Militer (SCAF).

Tugas paling fundamental dari Mursi adalah menginternalisasi spirit revolusi dalam semua lini perpolitikan Mesir. Menumbuhkan kepercayaan semua elemen politik dan sosial Mesir bahwa dirinya berkomitmen melaksanakan amanat revolusi. Ini tidak mudah mengingat, dalam mozaik perpolitikan Mesir pascarevolusi, Mursi sudah dimasukkan dalam faksionalisme politik tertentu: kelompok Islam.

Tapi memenangi pemilihan presiden secara demokratis sudah separuh dari kepercayaan politik. Setengahnya lagi harus dibangun Mursi melalui konsolidasi dan komunikasi politik lintas sektoral: Islamis, nasionalis, dan militer. Secara konseptual, tantangan utama Mursi adalah bagaimana memposisikan dirinya, selaku pemegang otoritas kenegaraan, di tengah dua titik ekstrem: Islamisme dan kebangsaan. Yang pertama direpresentasikan oleh kelompok Salafi dan Al-Ikhwanul al-Muslimun sendiri. Sedangkan yang kedua kalangan nasionalis-liberal dan militer. Seperti apa peta dan jalan politik yang akan dirintis oleh Mursi untuk mengakomodasi dua varian politik itu? Atau, harus ada salah satu yang ditinggalkan?

Ini sangat sulit. Kita bisa kembali pada diskursus abadi Mesir tentang Islamisme dan nasionalisme di kancah politik dan wacana keilmuan negeri itu. Sejarahnya panjang dan memakan energi besar. Al-Ikhwanul al-Muslimun sendiri adalah bagian tak terpisahkan dari diskursus tersebut. Di sisi lain, kelompok militer memainkan peran penting. Sejarah politik Mesir selalu menempatkan militer sebagai anak emas kekuasaan.

Militer telah menanamkan memori kuat dalam kognisi politik rakyat Mesir. Pola kekuasaan sentralistik mungkin dibenci, namun dalam batas tertentu rakyat Mesir seperti “mencandunya”. Silih berganti Presiden Mesir berlatar belakang militer. Menumbuhkan mental masyarakat sipil untuk berani berada di depan kekuasaan, “membelakangi” militer, melalui representasi Mursi, butuh proses. Akan dihinggapi gagap kekuasaan dan grogi politik.

Belum lagi kelompok militer (dan kekuatan politik lama) yang tentunya akan resistan terhadap kepemimpinan sipil. Pembubaran parlemen oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Mesir dan berbagai langkah SCAF yang mengubah konstitusi merupakan bagian dari kerja politik kelompok ini. Bentuk resistansi militer terhadap kepemimpinan sipil dan angin perubahan. Pengaruhnya masih kuat di banyak lini. 
Tanpa parlemen dan kesimpangsiuran status konstitusi Mesir, Mursi akan seperti panglima minus prajurit dan benteng pertahanan. Sendirian di medan laga politik. Stabilitas kekuasaannya sangat labil. Kapan saja bisa digoyang. Apalagi, secara de facto, otoritas politik dikembalikan ke bawah otoritas SCAF.

Di sini Mursi dituntut untuk bisa membangun komunikasi dengan kelompok militer. Sesuatu yang akan menguak bawah sadar politik masa lalu Mesir, yang menempatkan keduanya sebagai rival.

Paradigma Politik IM

Al-Ikhwanul al-Muslimun berkali-kali menegaskan moderasi paradigma Islam politiknya. Sebuah sinyal yang dimunculkan untuk menetralkan fobia terhadap Islamisme Al-Ikhwanul al-Muslimun. Juga untuk mengurangi tekanan politik terhadapnya. Tapi, seperti apa politik jalan tengah yang akan dibangun Mursi, belum kelihatan. Kelompok nasionalis-liberal dan militer menunggu hal ini. Pada saat yang sama, kalangan Salafi, yang perolehan suaranya cukup signifikan, juga memiliki batas yang tidak boleh dilampaui tentang arti moderatisme itu sendiri. Jika tidak, kelompok ini akan menekan Mursi. Mursi mendayung di antara tiga karang: militer, Salafi, dan nasionalis-liberal.

Setelah sekian lama menjelma menjadi gerakan politik bawah tanah, kini Al-Ikhwanul al-Muslimun menjadi bintang utama di panggung politik Mesir. Tentu akan merasakan demam panggung. Ini terlihat ketika sebelum pemilu sempat terjadi gejolak di internal organisasi itu. Di masa mendatang, iklim panas seperti itu akan menjadi tantangan keseharian.

Kematangan politik kader-kader Al-Ikhwanul al-Muslimun diuji. Apakah mereka silau oleh gemerlap panggung politik dan terjerembap pada pragmatisme politik jangka pendek? Atau justru gagap untuk menjalankan kendaraan politik secara fleksibel, karena terlalu rigid memegang kendali idealisme Islam politiknya?

Mau tidak mau, dengan kondisi Mesir masih shocked oleh ketiba-tibaan revolusi, Mursi harus pandai-pandai membangun keseimbangan politik. Menghindari sudut ekstrem pada hampir seluruh dimensi politik, nyaris mustahil buat Mursi. Akan ada titik-titik tertentu, di mana Mursi harus mengambil sikap tegas. Dan kemungkinannya, hal itu akan dibayar dengan kekecewaan salah satu kelompok. Tapi bukan berarti neraca keseimbangan politik tidak bisa dikembalikan lagi. Di sinilah kesiapan Al-Ikhwanul al-Muslimun untuk menjadi manajer politik diuji. Jika IM dapat merumuskan jalan politik moderat yang brilian, ia dapat menjadi sebuah prototipe gerakan Islam politik baru di kawasan Timur Tengah.

Dalam konteks regional Timur Tengah, naiknya IM ke kekuasaan potensial menciptakan aliansi politik baru di wilayah tersebut. Secara organisatoris, organisasi ini memiliki tali spirit dan emosional dengan Hamas, pemegang kekuasaan di Palestina. Naiknya IM ke puncak kekuasaan dapat mengubah arah aliansi politik Mesir, yaitu menjadi cenderung mengarah pada kelompok aliansi: Palestina, Iran, Irak, Lebanon, dan Suriah. Sebelumnya, Mesir setia berada di blok aliansi: Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain. Jika ini terjadi, perubahan di wilayah Timur Tengah akan sangat terasa. Tapi, sekali lagi, ini akan mengancam stabilitas kekuasaan Mursi. Tampaknya Mursi akan lebih soft dalam menjalankan idealisme politiknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar