Setelah
Rio+20, Selanjutnya Apa?
Tom
Saptaatmaja ; Kolumnis dan
Aktivis Lingkungan
SINAR HARAPAN, 29 Juni 2012
KTT Bumi Rio+20 yang berlangsung pada 20-22 Juni 2012 di
Riocentro Convention Centre di Rio de Janeiro, Brasil, baru saja berakhir.
Acara akbar yang digelar United Nations
Conference on Sustainable Development (UNCSD) dihadiri sekitar 130 lebih
pemimpin negara dan ribuan pemangku kepentingan di sektor lingkungan hidup.
Para peserta tentu telah pulang ke negeri masing-masing usai
mengikuti acara bertema “The Future We
Want” (Masa Depan yang Kita Inginkan) tersebut, termasuk Presiden
SBY. Mungkin masih ada banyak nada optimis menyongsong apa yang akan terjadi
pada planet bumi, satu-satunya planet yang bisa ditempati manusia.
Namun sayang ketika menengok pada apa yang sudah terjadi, optimisme itu segera berubah jadi pesimisme, bahkan apatisme. Mari simak sejak KKT Bumi di tempat yang sama (Rio) 1992, ternyata justru banyak skandal kerusakan lingkungan yang terjadi di segenap pelosok bumi, seperti penggundulan hutan yang luar biasa, penggurunan, pencemaran di laut, krisis air, krisis pangan, dsb.
Menurut laporan Living Planet Report (2006), WWF, ekosistem bumi saat ini sedang mengalami degradasi pada tingkat yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia.
Perusakan hutan hujan tropis di Kongo, Amazon, dan Indonesia
misalnya tengah melaju dengan kecepatan tinggi menuju kehancuran total. Laju
konversi hutan di Indonesia tergolong yang paling dahsyat di dunia, sekitar 1,5
juta ha setiap tahunnya (WWF, 2011).
Bila kaji lebih dalam lagi, akar dari semua masalah kerusakan lingkungan hidup muncul dari kebutuhan ekonomi manusia yang melampaui daya dukung lingkungan. Akibatnya, ekologi menjadi tumbal bagi ekonomi.
Menurut kajian peneliti dari Universitas Harvard (2002),
total permintaan umat manusia terhadap sumber daya alam sejak 1999, 20 persen
lebih besar dari pada daya dukung lingkungan hidup di planet ini.
Ketamakan
Ketamakan
Kerakusan atau ketamakan, khususnya dari perusahaan transnasional (TNCs) yang beroperasi di seluruh dunia, ikut memperparah kerusakan. Dunia yang menurut Mahatma Gandhi bisa mencukupi semua kebutuhan menjadi tidak cukup untuk memenuhi semua kerakusan manusia.
Coba simak misalnya, di sektor tambang aluminium, 6 TNCs
mengontrol 63 persen seluruh kapasitas pertambangan. Kemudian di sektor
pertanian, TNCs mengontrol 80 persen tanah di seluruh dunia yang diolah untuk
tanaman ekspor.
Indonesia tidak luput dari aksi mereka. Kerusakan parah
akibat aksi mereka di berbagai penjuru, seperti di Kalimantan atau Papua, bisa
dilihat dengan mata kepala sendiri.
Maka di KTT Bumi Rio 2012 ini, ada satu konsep besar yang ditawarkan, yakni ekonomi hijau (green economy). Terkait ekonomi hijau, ada yang menyebut hanya akal-akalan saja untuk melindungi kepentingan negara maju dengan TNCs-nya.
Memang menurut menurut UNEP atau Program Lingkungan PBB,
ekonomi hijau ekonomi yang pertumbuhannya tidak mengandalkan bahan bakar fosil.
Implementasi dari ekonomi hijau memang terkait dengan mekanisme jual beli
karbon atau REDD+ (Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation).
Ekonomi hijau terkait dengan perubahan iklim,yang dipicu oleh global warming atau pemanasan global. Seperti diketahui, dampak perubahan iklim, lepas dari pro kontra yang ada, memang terbukti menyengsarakan banyak orang.
Bayangkan saat musim hujan datang, banjir dan tanah longsor
mengancam; saat kemarau tiba, kekeringan dan asap merajalela di banyak
tempat.
Para petani paling menderita akibat karena perubahan iklim
menyebabkan terjadinya anomali cuaca sehingga kapan harus memulai musim tanam
menjadi sulit. Tidak heran di mana-mana para petani menjerit, sementara puting
beliung yang suka datang mendadak dan merobohkan rumah menambah berbagai
masalah.
Semua yang disebutkan di atas akhirnya bermuara pada satu kondisi bahwa telah terjadi disharmoni antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Keseimbangan terganggu, ekosistem menjadi terusik.
Kalau kita mencari akar dari segala kerusakan atau merosotnya kualitas lingkungan hidup, faktor manusia memang punya andil yang luar biasa. Manusia tidak menyadari ia bagian dari alam. Manusia tidak memiliki kesadaran ekologis sama sekali, malah yang subur di negeri ini justru kejahatan ekologis.
Lihat saja perilaku manusia yang suka membabat hutan masih tetap terus jalan. Meski berbagai seruan agar laju deforestasi dihentikan, tapi hampir tidap hari kita para pelaku pembalakan liar atau cukong kayu masih bisa bisa berpesta.
Hutan dieksploitasi dengan serakah tanpa memerhatikan
ekosistem. Bayangkan deforenstasi atau penggundulan hutan rata-rata 5,6 juta
hektare per tahun dan penggurunan seluas 4,8 juta hektare per tahun (FAO,2010).
Ironi dan Lemahnya Hukum
Ironi dan Lemahnya Hukum
Laporan Bank Dunia dan Forest Watch Indonesia menyebutkan, 70-80 persen kebutuhan kayu nasional saat ini ditutup dari illegal logging.
Di Kalimantan atau Papua, misalnya, menurut informasi Environmental Investigation Agency,
petinggi militer Indonesia malah membantu mengurus dokumen surat
keterangan hasil hutan (SKHH) palsu, mengamankan pelaksanaan illegal logging di lapangan, lalu
mengontak para pengusaha Malaysia, kalangan perbankan di Singapura, Hong Kong,
dan India. Ini ironi besar!
Potret di seputar hutan itu sebenarnya menunjukkan betapa masih minimnya kesadaran ekologis bangsa ini. Itu baru di sektor hutan saja.
Belum kalau kita membicarakan soal pencemaran, kualitas air,
pencemaran kali, dan udara kota, pembuangan limbah perusahaan, punahnya
sebagian besar flora fauna sehingga keanekaragaman hayati kian berkurang
dan sebagainya. Itu semua menunjukkan betapa kesadaran ekologis kita
belum terbangun sepenuhnya.
Penegakan hukum lingkungan juga masih menjadi angan-angan mewah di negeri ini. Lihat dalam praktiknya, pemerintah atau aparat keamanan lebih suka membebaskan para perusak dan penjahat lingkungan. Sehari menjelang Hari Jadi Surabaya ke-719 pada akhir Mei lalu, ribuan ikan mati di kedua kali itu akibat limbah beracun dari aktivitas industri.
Peristiwa itu hanya repetisi karena selama ini para pembuang
limbah tak pernah jera, mengingat penegakan hukum kita yang lemah. Jika hal
seperti ini terus berlanjut, masa depan macam apa yang kita inginkan? Atau
jangan-jangan sudah tak ada masa depan bagi kita di bumi ini akibat ketamakan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar