Sabtu, 30 Juni 2012

Setelah Rio+20, Selanjutnya Apa?

Setelah Rio+20, Selanjutnya Apa?
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis dan Aktivis Lingkungan
SINAR HARAPAN, 29 Juni 2012



KTT Bumi Rio+20 yang berlangsung pada 20-22 Juni 2012 di Riocentro Convention Centre di Rio de Janeiro, Brasil, baru saja berakhir. Acara akbar yang digelar United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) dihadiri sekitar 130 lebih pemimpin negara dan ribuan pemangku kepentingan di sektor lingkungan hidup.
 
Para peserta tentu telah pulang ke negeri masing-masing usai mengikuti acara bertema “The Future We Want” (Masa Depan yang Kita Inginkan) tersebut, termasuk  Presiden SBY. Mungkin masih ada banyak nada optimis menyongsong apa yang akan terjadi pada planet bumi, satu-satunya planet yang bisa ditempati manusia.

Namun sayang ketika menengok pada apa yang sudah terjadi, optimisme itu segera berubah jadi pesimisme, bahkan apatisme. Mari simak sejak KKT Bumi di tempat yang sama (Rio) 1992, ternyata justru banyak skandal kerusakan lingkungan yang terjadi di segenap pelosok bumi, seperti penggundulan hutan yang luar biasa, penggurunan, pencemaran di laut, krisis air, krisis pangan, dsb.

Menurut laporan Living Planet Report (2006), WWF, ekosistem bumi saat ini sedang mengalami degradasi pada tingkat yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia.
 
Perusakan hutan hujan tropis di Kongo, Amazon, dan Indonesia misalnya tengah melaju dengan kecepatan tinggi menuju kehancuran total. Laju konversi hutan di Indonesia tergolong yang paling dahsyat di dunia, sekitar 1,5 juta ha setiap tahunnya (WWF, 2011).

Bila kaji lebih dalam lagi, akar dari semua masalah kerusakan lingkungan hidup muncul dari kebutuhan ekonomi manusia yang melampaui daya dukung lingkungan. Akibatnya, ekologi menjadi tumbal bagi ekonomi.
 
Menurut kajian peneliti dari Universitas Harvard (2002), total permintaan umat manusia terhadap sumber daya alam sejak 1999, 20 persen lebih besar dari pada daya dukung lingkungan hidup di planet ini.

Ketamakan

Kerakusan atau ketamakan, khususnya dari perusahaan transnasional (TNCs) yang beroperasi di seluruh dunia, ikut memperparah kerusakan. Dunia yang menurut Mahatma Gandhi bisa mencukupi semua kebutuhan menjadi tidak cukup untuk memenuhi semua kerakusan manusia.
 
Coba simak misalnya, di sektor tambang aluminium, 6 TNCs mengontrol 63 persen seluruh kapasitas pertambangan. Kemudian  di sektor pertanian, TNCs mengontrol 80 persen tanah di seluruh dunia yang diolah untuk tanaman ekspor.
 
Indonesia tidak luput dari aksi mereka. Kerusakan parah akibat aksi mereka di berbagai penjuru, seperti di Kalimantan atau Papua, bisa dilihat dengan mata kepala sendiri.

Maka di KTT Bumi Rio 2012  ini, ada satu konsep besar yang ditawarkan, yakni ekonomi hijau (green economy). Terkait ekonomi hijau, ada yang menyebut hanya akal-akalan saja untuk melindungi kepentingan negara maju dengan TNCs-nya.
 
Memang menurut menurut UNEP atau Program Lingkungan PBB, ekonomi hijau ekonomi yang pertumbuhannya tidak mengandalkan bahan bakar fosil. Implementasi dari ekonomi hijau memang terkait dengan mekanisme jual beli karbon atau REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).

Ekonomi hijau terkait dengan perubahan iklim,yang dipicu oleh global warming atau pemanasan global. Seperti diketahui, dampak perubahan iklim, lepas dari pro kontra yang ada, memang terbukti menyengsarakan banyak orang.
 
Bayangkan saat musim hujan datang, banjir dan tanah longsor mengancam; saat  kemarau tiba, kekeringan dan asap merajalela di banyak tempat.
 
Para petani paling menderita akibat karena perubahan iklim menyebabkan terjadinya anomali cuaca sehingga kapan harus memulai musim tanam menjadi sulit. Tidak heran di mana-mana para petani menjerit, sementara puting beliung yang suka datang mendadak dan merobohkan rumah menambah berbagai masalah.

Semua yang disebutkan di atas akhirnya bermuara pada satu kondisi bahwa telah terjadi disharmoni antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Keseimbangan terganggu, ekosistem menjadi terusik.

Kalau kita mencari akar dari segala kerusakan atau merosotnya kualitas lingkungan hidup, faktor manusia memang punya andil yang luar biasa. Manusia tidak menyadari ia bagian dari alam. Manusia tidak memiliki kesadaran ekologis sama sekali, malah yang subur di negeri ini justru kejahatan ekologis.

Lihat saja perilaku manusia yang suka membabat hutan masih tetap terus jalan. Meski berbagai seruan agar laju deforestasi dihentikan, tapi hampir tidap hari kita para pelaku pembalakan liar atau cukong kayu masih bisa bisa berpesta.
 
Hutan dieksploitasi dengan serakah tanpa memerhatikan ekosistem. Bayangkan deforenstasi atau penggundulan hutan rata-rata 5,6 juta hektare per tahun dan penggurunan seluas 4,8 juta hektare per tahun (FAO,2010).

Ironi dan Lemahnya Hukum

Laporan Bank Dunia dan Forest Watch Indonesia menyebutkan, 70-80 persen kebutuhan kayu nasional saat ini ditutup dari illegal logging.
 
Di Kalimantan atau Papua, misalnya, menurut informasi Environmental Investigation Agency, petinggi militer  Indonesia malah membantu mengurus dokumen surat keterangan hasil hutan (SKHH) palsu, mengamankan pelaksanaan illegal logging di lapangan, lalu mengontak para pengusaha Malaysia, kalangan perbankan di Singapura, Hong Kong, dan India. Ini ironi besar!

Potret di seputar hutan itu sebenarnya menunjukkan betapa masih minimnya kesadaran ekologis bangsa ini. Itu baru di sektor hutan saja.
 
Belum kalau kita membicarakan soal pencemaran, kualitas air, pencemaran kali, dan udara kota, pembuangan limbah perusahaan, punahnya sebagian besar flora fauna sehingga keanekaragaman hayati kian berkurang  dan sebagainya. Itu semua  menunjukkan betapa kesadaran ekologis kita belum terbangun sepenuhnya.

Penegakan hukum lingkungan juga masih menjadi angan-angan mewah di negeri ini. Lihat dalam praktiknya, pemerintah atau aparat keamanan lebih suka membebaskan para perusak dan penjahat  lingkungan. Sehari menjelang Hari Jadi Surabaya ke-719 pada akhir Mei lalu, ribuan ikan mati di kedua kali itu akibat limbah beracun dari aktivitas industri.
 
Peristiwa itu hanya repetisi karena selama ini para pembuang limbah tak pernah jera, mengingat penegakan hukum kita yang lemah. Jika hal seperti ini terus berlanjut, masa depan macam apa yang kita inginkan? Atau jangan-jangan sudah tak ada masa depan bagi kita di bumi ini akibat ketamakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar