Menonton
Liga Indonesia: Negara Gagal
Soegeng
Sarjadi ; Ketua Soegeng Sarjadi
Syndicate
Sumber :
KOMPAS, 28 Juni 2012
Lihatlah pertandingan sepak bola liga
Indonesia. Pemain dan pelatih asing bertebaran di klub-klub sepak bola di
seluruh pelosok Tanah Air. Para penonton bersorak gembira, menabuh genderang,
dan membeli tiket pertandingan.
Ada sinar kebahagiaan di mata mereka. Apakah
Anda akan mengatakan bahwa situasi itu menandakan Indonesia di tepi jurang
negara gagal?
Saya menyatakan: tidak. Itu respons spontan
penulis ketika membaca berita bahwa Indonesia terancam menjadi negara gagal.
Seandainya Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir masih hidup, saya yakin
mereka juga pasti menolak penilaian tersebut. Indonesia dengan segala kekayaan
peradaban, manusia, dan sumber daya alam adalah suatu kemauan yang tak pernah
henti untuk menjadikan seluruh rakyat bahagia. Oleh sebab itu, mustahil
Indonesia terperosok menjadi negara gagal.
Dengan demikian, turunnya peringkat Indonesia
dalam Indeks Negara Gagal dari 64 menjadi 63 tahun ini sejatinya tidak bermakna
apa-apa. Buktinya, perikehidupan warga masih berjalan tertib senapas dengan
sendi- sendi kesepakatan dan aturan. Mereka masih membayar tiket pertandingan
dan hiburan, jalan tol, serta pajak untuk menyebut beberapa contoh. Tidak ada
situasi khaos yang mendebarkan.
Selain itu, praktik demokrasi juga
berkembang, kebebasan pers terpelihara, ekonomi tumbuh relatif tinggi, produk
domestik bruto bergerak pasti menuju angka 1.000 miliar dollar AS, dan pedagang
kaki lima tetap belanja di pasar tradisional saban pagi. Merujuk pada realitas
tersebut, tanpa mengabaikan beberapa masalah yang masih membelit seperti
korupsi dan kemiskinan, Indonesia tampaknya lebih mengarah menjadi negara
adidaya daripada negara gagal.
Ukuran Kebahagiaan
Bangunan optimisme publik bahwa Indonesia
bisa menjadi negara adidaya adalah fondasi terpenting dalam struktur bangunan
Indonesia masa kini dan masa depan. Fondasi jiwa dan etos kerja itu pernah ada
pada era Sriwijaya dan Majapahit. Optimisme itu telah mengantarkan kedua
kerajaan itu menjadi negara besar dengan pendapatan terendah rumah tangga
sekitar 15 gantang padi sebulan. Kata Profesor Suhardi dari Universitas Gadjah
Mada, nilai itu setara dengan Rp 10 juta sekarang.
Percikan kebesaran dan wibawa Nusantara itu,
dalam batas- batas terkecil, kembali penulis rasakan ketika mengikuti
perjalanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri Pertemuan G-20 di Los
Cabos, Meksiko, 18-19 Juni lalu. Banyak pemimpin dunia antre bisa bertemu
Presiden SBY. Imbauan Indonesia agar krisis euro segera diselesaikan demi
mencegah efek lanjut terjangannya ke Asia dan kenaikan harga minyak dunia
mendapat sambutan luas. Semua itu mestinya bikin kita bahagia.
Ukuran kebahagiaan sebenarnya bukanlah ideal
utopis bagi masyarakat. Ia bukanlah pencapaian sama rata sama rasa bagi setiap
warga seperti yang sering didengungkan para ideolog. Namun, ia adalah
kebahagiaan wong cilik yang bisa menikmati fasilitas umum yang manusiawi. Taman
kota yang asri, air bersih, akses pendidikan, layanan kesehatan yang
berkualitas dan adil, serta pengangkut umum yang aman dan nyaman.
Esensi pemenuhan fasilitas publik itu paralel
dengan ekspresi kebahagiaan para penonton sepak bola liga Indonesia, terutama
ketika pemain favorit mereka menjebol gawang lawan. Inilah yang tak disadari
para politisi dan kelompok-kelompok strategis pada umumnya. Mereka tak pernah
mengalkulasi bahwa ekspresi kebahagiaan seperti yang ditunjukkan para penonton
tersebut adalah modal peradaban purba kita. Dengan ekspresi kebahagiaan itu,
kita menjadi bangsa yang tahan banting.
Itulah salah satu argumen paling masuk akal
untuk menjelaskan mengapa bangsa ini cepat bangkit setelah diterjang krisis dan
bencana alam. Kebangkitan masyarakat Aceh dan Yogyakarta setelah diterjang
tsunami dan gempa bumi mengagumkan dunia. Demikian juga dengan kelenturan
Indonesia menata diri setelah badai krisis ekonomi paruh akhir 1990-an.
Logikanya, jika para penonton sepak bola liga
Indonesia bisa merasa bahagia meskipun secara nasional prestasi sepak bola
Republik tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan negara-negara lain,
seharusnya bangsa ini otomatis merasa bangga karena Indonesia kini diakui dunia
berkaitan dengan kemampuannya menjaga pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat
kemiskinan rakyat, dan memupuk demokrasi menjadi kian matang. Dalam istilah
lain, alih-alih menjadi negara gagal, Indonesia akan menjadi adidaya pada 2045.
Energi Purba
Energi purba berupa perasaan bahagia selalu
saya rasakan setiap kali menyaksikan gol yang dihasilkan salah satu pemain
liga. Tak peduli dia berasal dari klub apa. Energi itulah yang melahirkan
optimisme. Dalam konteks ini, apabila ada pihak yang galau dan masih percaya
bahwa Indonesia sekarang berada di tepi jurang negara gagal, bisa dipastikan
orang tersebut tak pernah menonton pertandingan sepak bola liga Indonesia.
Akibatnya, ia tidak saja gagal menangkap
ukuran kebahagiaan, optimisme, dan kelenturan bangsa, tetapi juga kesadaran
terdalam kita bahwa Indonesia adalah sebuah cita-cita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar