Sabtu, 30 Juni 2012

Kejahilan Legislatif dan Pemberantasan Korupsi

Kejahilan Legislatif dan Pemberantasan Korupsi
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 29 Juni 2012


Lagi-lagi sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat kembali berulah dan memperlihatkan tabiat aslinya. Kali ini Komisi III DPR menolak rencana pembangunan gedung baru buat Komisi Pemberantasan Korupsi. Salah satu anggota Komisi III, Bambang Soesatyo, mengatakan penolakan pemberian anggaran guna pembangunan gedung baru KPK dilakukan karena status KPK yang bersifat ad hoc. Lebih lanjut ia berujar, karena statusnya yang ad hoc itu, muncul pemikiran apakah tidak lebih baik memanfaatkan gedung-gedung pemerintah yang banyak kosong dan tidak terpakai. Pembangunan gedung baru KPK dianggap memerlukan waktu yang cukup lama ketimbang merenovasi dan memanfaatkan gedung yang tidak terpakai.

Terlepas dari dalih efisiensi dan efektivitas anggaran terkait dengan rencana pembangunan gedung baru KPK tersebut, publik dengan mudah membaca bahwa DPR kembali menabuh genderang dan melagukan melodi sumbang dalam memperkuat KPK untuk memberantas korupsi. Secara sederhana, ini adalah potret kejahilan legislatif yang dapat ditelaah pada beberapa hal berikut ini.

Pertama, DPR hadir tak ubahnya sebagai speed bump (polisi tidur) dalam perang besar melawan korupsi. Kehadiran polisi tidur di jalan raya tentu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya potensi kecelakaan lalu lintas dengan memperlambat laju kendaraan. Dengan tamsil yang lebih-kurang sama, alih-alih mencegah terjadinya kecelakaan (baca: kebocoran) uang negara oleh laju para koruptor di negeri ini, tindakan DPR untuk mempersulit kebutuhan KPK walau cuma sebuah gedung baru justru potensial memperlambat kecepatan pemberantasan korupsi. Kecepatan upaya-upaya memerangi koruptor sudah barang tentu menghajatkan ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur yang memadai. Pengabaian terhadap kebutuhan sumber daya manusia tersebut, sebagai misal, hanya memperlihatkan lemahnya navigasi Komisi III DPR terhadap pentingnya manajemen sumber daya manusia.

Minimnya ketersediaan sumber daya bisa berdampak pada redupnya prioritas kerja para penyidik KPK. Ini berisiko memunculkan terjadinya tumpah-tindih pekerjaan, sehingga menghabiskan waktu dan energi para penyidik KPK. Ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki KPK bisa saja membuat kerja-kerja KPK berjalan di tempat dan terjebak pada analisis dan pengamatan yang dangkal dan sporadis. Hal ini secara tegas bakal mengebiri produktivitas KPK sendiri. Tak kalah krusialnya, problem kurangnya kapasitas SDM dan infrastruktur fisik sangat memungkinkan tertutupnya peluang bagi KPK sendiri untuk melakukan pelbagai terobosan dalam mengatasi korupsi. Walau sejarah membuktikan betapa banyak prestasi dan terobosan yang tercipta di atas keterbatasan demi keterbatasan, realitas lain juga membuktikan bahwa munculnya skandal-skandal perampokan uang rakyat berjalan menurut deret ukur, sementara kemampuan aparat-aparat penegak hukum untuk mengentaskannya bergerak sesuai dengan deret hitung.

Kedua, DPR cenderung menampilkan diri sebagai pahlawan kesiangan dalam mengikuti ritme pemberantasan korupsi. Berbagai alasan yang dikemukakan oleh Komisi III DPR untuk tidak menyetujui pembangunan gedung baru KPK sejatinya lahir dari egoisme yang kerdil dan paradoks yang murahan. Masyarakat tak pernah lupa bagaimana lembaga wakil rakyat ini habis-habisan membela proposal pembangunan gedung baru DPR di tengah kuatnya resistansi publik. Pada waktu itu, Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan DPR tak perlu melakukan survei publik untuk mengukur penerimaan publik dan penolakan terhadap rencana ini. Ia bahkan menuduh pihak-pihak yang menentang rencana pembangunan ini hanya menodai reputasinya sebagai Ketua DPR. Gambaran ironis agaknya memperlihatkan bahwa DPR telah mewujud selaku “superhero” dan “superbody” sebagai pemegang lisensi yang akan memberikan bahan bakar operasional dana bagi lembaga sekaliber KPK.

Hal demikian sangat kontraproduktif bagi parpol atau kubu reformis yang ada di dalam DPR. Alih-alih menjadi pendekar legislatif dalam melicinkan jalan bagi setiap lembaga-lembaga anti-korupsi, sikap Komisi III DPR tersebut kian menjustifikasi kecurigaan publik betapa banyak para legislator yang menjadikan isu pemberantasan korupsi sebagai bahan kampanye dan buffer semata demi beroleh kursi basah legislatif. Alasan klise, semisal kedudukan ad hoc KPK, memperlihatkan bahwa DPR sibuk mengurus abu ketimbang mentransfer api perubahan. Ini sama saja dengan menjadikan persoalan korupsi sebagai main-main atau senda-gurau belaka. Publik lebih berharap DPR berperan sebagai lokomotif yang menghela gerbong-gerbong lainnya dalam perjalanan panjang mengamputasi penyakit korupsi yang kronis ini.

Ketiga, DPR terlihat enggan melakukan salto mortal dalam memerangi korupsi. Bangsa ini sudah berada pada point of no return dalam melawan korupsi. Sekecil apa pun upaya yang dilakukan dalam memberantas korupsi perlu dianggap sebagai bagian dari langkah-langkah komprehensif anasir bangsa memerangi koruptor. Besarnya dukungan publik atas rencana pembangunan gedung KPK koin untuk KPK dari masyarakat, sumbangan dari Menteri Hukum Amir Syamsuddin, Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri menunjukkan bahwa pembangunan gedung baru KPK tersebut adalah bagian dari proses penyempurnaan dan penguatan bala tentara peperangan terhadap korupsi di negeri ini.

Boleh jadi DPR menganggap bahwa usulan pembangunan gedung KPK ini bukanlah prioritas teknis yang urgen bagi kebutuhan operasional KPK. Namun, dari perspektif ideologi pemberantasan korupsi, sikap Komisi III DPR tersebut menjadikan kebutuhan KPK hanya bersifat sporadis dan memperlakukan sepak terjang KPK sebagai perang tanpa nama alias tak berlabel. Lambat-laun sikap demikian hanya mempercepat bunyi lonceng kematian bagi reputasi DPR berupa turunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif menjelang Pemilu 2014. Sikap politik DPR yang selalu berputar pada status KPK sebagai lembaga ad hoc tidak hanya membuka kedok wakil-wakil rakyat di DPR yang selalu ngotot pada circular reasoning sebagai salah satu dari sesat pikir (fallacy). Tak kalah kritisnya adalah bahwa penolakan atau tarik-ulur DPR itu secara tidak langsung membonsai legitimasi fungsi KPK. Dengan kata lain, sungguh disayangkan bahwa DPR hanya menganggap status KPK sebagai anak bawang atau anak tiri dalam kafilah panjang pemberantasan korupsi selama ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar