Kamis, 28 Juni 2012

Aspek Moral Kampanye Kondom

Aspek Moral Kampanye Kondom
Toto Suparto ; Pengkaji Masalah Etika
Sumber :  SUARA MERDEKA, 28 Juni 2012


"Mau pakai kondom atau tidak, seks bebas tetap saja merupakan perilaku buruk yang harus dijauhi oleh manusia"

KONDOM memang penting bagi upaya pencegahan HIV/ AIDS. Berangkat dari urgensi itu maka ada kampanye untuk memakainya. Apalagi fakta menunjukkan penggunaan kondom pada seks berisiko masihlah rendah, baru 32% pada tahun 2010 sehingga membuka peluang penularan virus penyakit itu. Persoalannya, kampanye memakai kondom tidak sesederhana itu karena mengandung risiko moral.
Hal terpenting terkait dengan logika moral. Manakala pejabat publik menyatakan sebaiknya memakai kondom supaya HIV/ AIDS terkendali maka logika moral menggiring pada dugaan bahwa di balik pernyataan itu ada pembenaran terhadap seks bebas (seks berisiko).

Ini pula yang menjadi perdebatan bahwa kampanye kondom seolah-oleh membolehkan praktik seks bebas. Dampaknya akan berbeda bila pejabat publik memilih pernyataan, misalnya “HIV/AIDS bakal terkendali jika menghindari seks bebas atau seks berisiko!”

Memerhatikan runtutannya, perdebatan soal kampanye kondom itu semata-mata kekeliruan komunikasi. Dalam hal ini menyangkut bahasa yang dipakai, yakni sebatas bahasa sebagai sarana komunikasi. Padahal, bahasa yang dipakai mestinya menunjukkan realitas ontologinya di mana terdapat hubungan asasi antara berkata dan berpikir. Dalam konteks ini artinya berpikir lebih jauh ke dalam, berpikir reflektif.

Berpikir reflektif berarti memberi kesempatan berpikir kepada pengucap apakah komunikasinya itu berdampak negatif atau tidak. Bilamana dirasakan berdampak negatif, ia tidak menggunakannya. Ia akan memilih bahasa yang pas sehingga bisa dimaklumi oleh masyarakat. Komunikasi itu pun berhasil karena di dalamnya tidak mengandung bias. Antara penyampai pesan dan penerima pesan bisa saling menerima tanpa harus berkonotasi.

Dilakukan Tertutup

Bias itu bisa saja terjadi jika dikaitkan dengan relativisme kultural. Istilah relativisme kultural menyatakan bahwa tak ada hal yang disebut kebenaran universal dalam etika, tetapi hanya ada kode-kode budaya yang beragam, tak lebih dari itu. Pernyataan itu mengandung arti tidak ada kebenaran-kebenaran moral yang berlaku untuk semua orang dalam segala zaman.

Lantas jika sebagian besar masyarakat menganggapnya belum layak secara moral, apakah kampanye memakai kondom dihentikan? Ini bukan solusi mengingat ancaman HIV/ AIDS terhitung mengkhawatirkan. Solusinya adalah jalan tengah, yakni kampanye itu diubah menjadi imbauan secara tertutup untuk memakai kondom. Kampanye bersifat massal sehingga lebih terbuka, sementara imbauan relatif terbatas dan segmented.

Imbauan menggunakan kondom itu tak berbeda jauh dari rokok. Pada bungkus rokok kita senantiasa diingatkan akan bahaya merokok maka peringatan bahaya tanpa kondom pun patut dilakukan. Peringatan tersebut bisa dipasang di tempat-tempat lokalisasi, panti pijat, dan pusat-pusat transaksi seks bebas.

Maka, bahasa pejabat publik pun akan terdengar elok. Bukan lagi ada “kampanye kondom” melainkan “imbauan kepada pelaku seks bebas agar menggunakan kondom”. Lantaran sebatas imbauan, pernyataan pejabat publik pun tidak akan seluas sebagaimana “genderang” kampanye.

Dampak berikutnya, perdebatan bisa diciutkan. Sebelumnya, para orang tua pun  khawatir terhadap anak-anaknya yang tengah menuju dewasa bahwa muncul anggapan seks bebas boleh asal pakai kondom.

Bila kampanye kondom diubah menjadi imbauan terbatas maka orang tua justru lebih memudahkan menanamkan pengertian bahwa seks bebas itu diharamkan. Mau pakai kondom atau tidak, seks bebas tetap saja merupakan perilaku buruk yang harus dijauhi oleh manusia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar