Selasa, 26 Juni 2012

Pahlawan yang Terlupakan

REFLEKSI TANWIR MUHAMMADIYAH :
Pahlawan yang Terlupakan
Lukman Hakiem ;  Ketua PP Persaudaraan Muslimin Indonesia
Sumber :  REPUBLIKA, 25 Juni 2012


Pada 1 Maret 1945, diben tuk Dokuritsu Zjunbi Tjoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI) dengan anggota sebanyak 60 orang, plus enam orang anggota tambahan, dan tujuh wakil pemerintah militer Jepang sebagai anggota istimewa. Saat melantik BPUPKI, kepala pemerintahan militer Jepang di Indonesia (saikoo sikikan) melemparkan pertanyaan penting kepada BPUPKI soal dasar negara Indonesia.

Menurut saikoo sikikan, mendirikan negara merdeka bukanlah usaha mudah, lebih-lebih jika tidak mempelajari, menyelidiki, dan merencanakan dengan saksama segala usaha untuk meneguhkan kekuatan pertahanan dan dasar negara. Menjelang detik-detik kemerdekaan Indonesia, tentara pendudukan Jepang membagi anggota BPUPKI menjadi lima golongan, yakni pergerakan, Islam, birokrat (kepala-kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, dan wali kota), serta minoritas (peranakan Belanda, Tionghoa, dan Arab).

Dengan penggolongan itu, terdapat 12 orang yang mewakili golongan Islam.
Mereka adalah Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim, dan Dr Soekiman Wirjosandjojo (Syarikat Islam), KH Ahmad Sanoesi (al-Ittihadiyat al-Islamiyah), KH Abdoel Halim (Perserikatan Umat Islam), Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH Mas Mansoer, dan KH Abdoel Kahar Moezakir (Muhammadiyah), KH Masjkoer dan KH A Wahid Hasjim (Nahdlatul Ulama), AR Baswedan (Partai Arab Indonesia), dan KH A Fatah Hasan (lulusan Al-Azhar, Mesir). Mereka inilah yang gigih berjuang agar dasar negara Indonesia tidak menutup diri terhadap “intervensi“ wahyu.

Saat dibentuk panitia kecil BPUPKI yang terdiri atas delapan anggota (disebut dengan panitia delapan), Ki Bagoes Hadikoesoemo dipilih menjadi salah seorang anggotanya. Tugas panitia ini mengumpulkan saran dan usul para anggota yang akan dibahas dalam sidang pada Juli 1945. Panitia delapan mencatat tujuh usul mengenai dasar negara Indonesia. Dan, usulan yang terbanyak adalah ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.

Karena itu, tidak mengejutkan jika dalam rumusan Preambule hasil panitia sembilan (pengganti panitia delapan) tertanggal 22 Juni 1945 (yang dikenal sebagai Piagam Jakarta), “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,“ menjadi dasar yang pertama dari susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Rancangan ini dalam rapat BPUPKI pada 16 Juli 1945, diterima dengan suara bulat sebagai dasar negara dan batang tubuh UUD.

Di panitia sembilan, ada kader Muhammadiyah, KH A Kahar Moezakir.
Hanya, sampai sekarang dokumen perdebatan di panitia sembilan belum ditemukan. Usai sidang pada 16 Juli 1945, keberadaan BPUPKI digantikan dengan PPKI yang beranggotakan 27 orang. Di PPKI, empat anggota berasal dari Islam, yakni Ki Bagoes Hadikoesoemo, KH A Wahid Hasjim, Mr Kasman Singodimedjo (aktivis Jong Islamieten Bond dan Muhammadiyah), dan Mr TM Hasan (Ikhwanus Safa Indonesia).

PPKI yang dibentuk pada 7 Agustus 1945 baru bersidang pada 18 Agustus 1945. Situasi pada pagi 18 Agustus itu sungguh sangat krusial karena muncul keinginan untuk menghapus `tujuh kata' yang sebelumnya telah diterima bulat.

Menurut Prawoto Mangkusasmito, pada rapat 18 Agustus itu, beban berat diletakkan di bahu kader Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo. Sebab, Wahid Hasjim masih dalam perjalanan dari Jawa Timur. Sementara, Kasman Singodimedjo sebagai anggota tambahan belum mendalami persoalan. Seluruh tekanan psikologis tentang berhasil atau tidaknya penetapan UUD diletakkan di pundak Ki Bagoes sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam di PPKI.

Tidak mudah meyakinkan Ki Bagoes untuk menghapus tujuh kata dari rancangan Preambule UUD. Sesudah Bung Hatta gagal meyakinkan Ki Bagoes, dia meminta TM Hasan untuk melobi Ki Bagoes. Hasan ternyata juga tidak mampu melunakkan hati Ki Bagoes. Saat situasi kritis itu, Hatta meminta Kasman membujuk Ki Bagoes. Dengan menggunakan bahasa Jawa halus, Kasman melobi Ki Bagoes. Kasman mengingatkan Ki Bagoes, karena kemerdekaan sudah diproklamasikan maka UUD harus cepat ditetapkan. Apalagi, posisi Indonesia terjepit karena masih adanya tentara Jepang dan sekutu.

Kasman bertanya kepada Ki Bagoes, apakah tidak bijaksana jika kita sebagai umat Islam yang mayoritas `mengalah' dengan menghapus tujuh kata itu demi kemenangan bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tenteram, diridai Allah.

Ki Bagoes dapat menerima argumen Kasman dan setuju, “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“, dihapus dan diganti dengan kalimat “ketuhanan Yang Maha Esa“. Bersamaan dengan itu, Ki Bagoes meminta supaya anak kalimat “menurut dasar“ di dalam Preambule UUD dihapus sehingga penulisannya dalam Preambule UUD menjadi “.... Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan seterusnya.“

Pada saat-saat kritis dalam proses penetapan konstitusi negara, terbukti tiga tokoh Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kahar Moezakir, dan Kasman Singodimedjo, telah menorehkan peranan signifikan. Anehnya, sampai hari ini pemerintah belum mengakui ketiga tokoh ini sebagai pahlawan nasional.

Yang lebih mengenaskan adalah Kasman Singodimedjo. Pada 12 Agustus 1992, ketika Presiden Soeharto memberikan Bintang Mahaputera kepada sejumlah mantan anggota BPUPKI dan PPKI, Kasman Singodimedjo dilewatkan. Tidak syak lagi, ini pastilah karena sikap kritis Kasman kepada pemerintahan Orde Baru, terutama keikutsertaannya dalam Pernyataan Keprihatinan (Petisi 50).

Dengan jasa mereka yang begitu besar, ditambah kesaksian Jenderal Nasution yang amat objektif terhadap Kasman Singodimedjo, belum layakkah Ki Bagoes, Pak Kahar, dan Pak Kasman ditetapkan menjadi pahlawan nasional? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar