Jumat, 29 Juni 2012

Isu Kondom dan Revitalisasi Keluarga

Isu Kondom dan Revitalisasi Keluarga
Ledia Hanifa Amaliah ; Anggota Komisi VIII DPR RI
Bidang Sosial, Agama, Perempuan, dan Anak
Sumber :  REPUBLIKA, 28 Juni 2012


Sungguh kita berprasangka baik bahwa di balik kampanye kondom, menteri Kesehatan (menkes) hanya tengah berupaya agar masalah terus naiknya angka penderita HIV/AIDS di Indonesia bisa teratasi. Setiap tahun jumlah kasus HIV/AIDS memang menunjukkan peningkatan. Jumlah kumulatif kasus HIV di Indonesia dari 1987 sampai Maret 2012 tercatat 82.870 kasus dan jumlah kasus AIDS sebanyak 30.430 kasus.

Berdasarkan rentang umur persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi juga ditemukan pada usia 20-29 tahun, yaitu 46 persen. Karena AIDS baru menunjukkan gejala pada masa tiga sampai 10 tahun setelah infeksi maka diperkirakan infeksi HIV melalui perilaku berisiko telah terjadi pada usia di bawah 20-29 tahun atau pada masa remaja.

Namun, mereka yang mengritik Bu Menkes juga punya alasan bahwa mengampanyekan penggunaan kondom secara terbuka dan kemudahan akses membeli kondom bagi siapa pun--termasuk remaja--justru merupakan pembiaran bagi terjadinya perilaku seks bebas meskipun “aman“. Dan, logikanya pun menjadi jungkir balik. Sebab, pemerintah menjadi terkesan tidak lagi mementingkan soal seksnya itu yang harus “diamankan“ agar terjadi hanya dalam bingkai pernikahan, tetapi proses hubungan seksnya yang harus “diamankan“ demi mencegah penyakit menular dan kehamilan yang tak diinginkan.

Atasi Penyakitnya

Kita jelas prihatin dengan adanya dua juta aborsi yang terjadi setiap tahun pada kalangan usia remaja dan betapa sebagian besar pekerja seks berusia belasan hingga 25 tahun. Tetapi, apakah kemudian kampanye kondom mesti menjadi pilihan utama hingga negara harus mengucurkan anggaran Rp 25 miliar lebih lewat Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional?

Bagaimana dengan remaja-remaja lain yang biasa-biasa saja pada mulanya, tetapi “terdidik” untuk memahami bahwa menggunakan kondom akan mencegah penularan penyakit kelamin, termasuk HIV/AIDS dan risiko kehamilan yang tidak dikehendaki. Sungguh bukan rahasia umum kalau para remaja kini mempunyai bisik-bisik di antara mereka, safe sex woi, safe sex, pake kondom!

Benar, persoalan perilaku seks berisiko, termasuk seks bebas, sangat tergan tung dari bagaimana diri si remaja pada mulanya. Para remaja dengan integritas moral dan spiritual dan kedekatan keluarga yang baik akan lebih mudah terhindar dari perilaku negatif ini. Tetapi, itu juga masalahnya. Keluarga Indonesia justru tengah menghadapi tantangan besar soal integritas moral, spiritual, dan kedekatan hubungan di antara anggota keluarga. Arus informasi baik dan buruk tersaji hampir tanpa sensor.

Keluarga yang semestinya menjadi tonggak pertama dan utama dalam membentuk karakter positif remaja semakin kehilangan kekuatan. Kesibukan orang tua telah menghalangi kedekatan hubungan keluarga, begitu pula pemahaman akan pentingnya menanamkan nilai-nilai luhur pada remaja semakin tergerus oleh gaya hidup modern.

Bagi anak dan remaja yang tumbuh laksana spons penyerap, nilai dari segala tempat, baik teman, media massa, mau pun internet, akan mengisi ruang-ruang kosong yang ditinggalkan orang tua dalam jiwa mereka. Maka, meskipun pada mulanya biasa-biasa dan baik-baik saja, mereka sangat mungkin terjerumus pada pemahaman yang keliru.

Karena itu, fungsi kondom perlu dikembalikan pada asalnya sebagai alat kontrasepsi yang berdasarkan UndangUndang No 10 Tahun 1992 diperuntukkan bagi pasangan yang sudah menikah. Kalau orang dewasa belum menikah saja tidak termasuk sasaran penggunanya, apalagi remaja. Dan, mengapa pula kita ragu membuat pembatasan pembelian kondom bagi remaja?

Ketahanan Keluarga

Maka, persoalan paling mendasar dan paling penting yang harus dilakukan pemerintah adalah merevitalisasi program ketahanan dan pembinaan keluarga agar peran dan fungsi keluarga di Indonesia menjadi kuat kembali. Sebab, keluarga adalah tonggak pertama tumbuhnya pribadi-pribadi berkarakter po sitif, berakhlak mulia, berwawasan luas, sigap berkarya, dan bervisi jauh untuk memajukan dan menjaga warisan alam dan budaya negerinya.

Orang tua memang punya tanggung jawab paling besar untuk mendidik anak-anaknya, tetapi negara, dalam hal ini pemerintah, tak bisa tenang-tenang saja. Kalau persoalan HIV/AIDS, seks bebas dan aborsi terus meningkat, persoalannya bagaimana program pendidikan reproduksi bagi remaja? Sudahkah tersebar merata dengan intensitas program yang terukur dan terevaluasi?

Kampanye no drugs, no alcohol, dan no free sex harus dilakukan lebih intens, sering, dan berkesinambungan. Remaja kita harus dididik bahwa seks sebelum menikah tidak boleh dilakukan, terlepas apakah akan terjadi kehamilan atau tidak, terlepas dari apakah pakai kondom atau tidak.

Keluarga pun harus banyak diberi penyadaran, sosialisasi, bahkan pendampingan soal pentingnya menumbuhkan pribadi-pribadi remaja yang berkarakter positif, berakhlak mulia, dengan menjaga komunikasi, kedekatan, dan keharmonisan keluarga. Soal program bagi penguatan keluarga ini sesungguhnya ada banyak. Tetapi, bagaimana gaungnya, konsistensi pelaksanaannya, evaluasi, dan anggaran yang tersedia memang harus dikaji kembali. Upaya revitalisasi inilah sesungguhnya yang bisa mencegah perilaku negatif remaja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar