Isu
Kondom dan Revitalisasi Keluarga
Ledia
Hanifa Amaliah ; Anggota
Komisi VIII DPR RI
Bidang Sosial, Agama, Perempuan, dan
Anak
Sumber :
REPUBLIKA, 28 Juni 2012
Sungguh
kita berprasangka baik bahwa di balik kampanye kondom, menteri Kesehatan (menkes)
hanya tengah berupaya agar masalah terus naiknya angka penderita HIV/AIDS di
Indonesia bisa teratasi. Setiap tahun jumlah kasus HIV/AIDS memang menunjukkan
peningkatan. Jumlah kumulatif kasus HIV di Indonesia dari 1987 sampai Maret
2012 tercatat 82.870 kasus dan jumlah kasus AIDS sebanyak 30.430 kasus.
Berdasarkan
rentang umur persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi juga ditemukan pada usia
20-29 tahun, yaitu 46 persen. Karena AIDS baru menunjukkan gejala pada masa
tiga sampai 10 tahun setelah infeksi maka diperkirakan infeksi HIV melalui
perilaku berisiko telah terjadi pada usia di bawah 20-29 tahun atau pada masa
remaja.
Namun,
mereka yang mengritik Bu Menkes juga punya alasan bahwa mengampanyekan
penggunaan kondom secara terbuka dan kemudahan akses membeli kondom bagi siapa
pun--termasuk remaja--justru merupakan pembiaran bagi terjadinya perilaku seks
bebas meskipun “aman“. Dan, logikanya pun menjadi jungkir balik. Sebab,
pemerintah menjadi terkesan tidak lagi mementingkan soal seksnya itu yang harus
“diamankan“ agar terjadi hanya dalam bingkai pernikahan, tetapi proses hubungan
seksnya yang harus “diamankan“ demi mencegah penyakit menular dan kehamilan
yang tak diinginkan.
Atasi Penyakitnya
Kita
jelas prihatin dengan adanya dua juta aborsi yang terjadi setiap tahun pada
kalangan usia remaja dan betapa sebagian besar pekerja seks berusia belasan
hingga 25 tahun. Tetapi, apakah kemudian kampanye kondom mesti menjadi pilihan
utama hingga negara harus mengucurkan anggaran Rp 25 miliar lebih lewat Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional?
Bagaimana
dengan remaja-remaja lain yang biasa-biasa saja pada mulanya, tetapi “terdidik”
untuk memahami bahwa menggunakan kondom akan mencegah penularan penyakit
kelamin, termasuk HIV/AIDS dan risiko kehamilan yang tidak dikehendaki. Sungguh
bukan rahasia umum kalau para remaja kini mempunyai bisik-bisik di antara
mereka, safe sex woi, safe sex, pake
kondom!
Benar,
persoalan perilaku seks berisiko, termasuk seks bebas, sangat tergan tung dari
bagaimana diri si remaja pada mulanya. Para remaja dengan integritas moral dan
spiritual dan kedekatan keluarga yang baik akan lebih mudah terhindar dari
perilaku negatif ini. Tetapi, itu juga masalahnya. Keluarga Indonesia justru
tengah menghadapi tantangan besar soal integritas moral, spiritual, dan kedekatan
hubungan di antara anggota keluarga. Arus informasi baik dan buruk tersaji
hampir tanpa sensor.
Keluarga
yang semestinya menjadi tonggak pertama dan utama dalam membentuk karakter
positif remaja semakin kehilangan kekuatan. Kesibukan orang tua telah
menghalangi kedekatan hubungan keluarga, begitu pula pemahaman akan pentingnya
menanamkan nilai-nilai luhur pada remaja semakin tergerus oleh gaya hidup
modern.
Bagi
anak dan remaja yang tumbuh laksana spons penyerap, nilai dari segala tempat,
baik teman, media massa, mau pun internet, akan mengisi ruang-ruang kosong yang
ditinggalkan orang tua dalam jiwa mereka. Maka, meskipun pada mulanya
biasa-biasa dan baik-baik saja, mereka sangat mungkin terjerumus pada pemahaman
yang keliru.
Karena
itu, fungsi kondom perlu dikembalikan pada asalnya sebagai alat kontrasepsi
yang berdasarkan UndangUndang No 10 Tahun 1992 diperuntukkan bagi pasangan yang
sudah menikah. Kalau orang dewasa belum menikah saja tidak termasuk sasaran
penggunanya, apalagi remaja. Dan, mengapa pula kita ragu membuat pembatasan
pembelian kondom bagi remaja?
Ketahanan Keluarga
Maka,
persoalan paling mendasar dan paling penting yang harus dilakukan pemerintah
adalah merevitalisasi program ketahanan dan pembinaan keluarga agar peran dan
fungsi keluarga di Indonesia menjadi kuat kembali. Sebab, keluarga adalah
tonggak pertama tumbuhnya pribadi-pribadi berkarakter po sitif, berakhlak
mulia, berwawasan luas, sigap berkarya, dan bervisi jauh untuk memajukan dan
menjaga warisan alam dan budaya negerinya.
Orang
tua memang punya tanggung jawab paling besar untuk mendidik anak-anaknya, tetapi
negara, dalam hal ini pemerintah, tak bisa tenang-tenang saja. Kalau persoalan
HIV/AIDS, seks bebas dan aborsi terus meningkat, persoalannya bagaimana program
pendidikan reproduksi bagi remaja? Sudahkah tersebar merata dengan intensitas
program yang terukur dan terevaluasi?
Kampanye
no drugs, no alcohol, dan no free sex harus dilakukan lebih
intens, sering, dan berkesinambungan. Remaja kita harus dididik bahwa seks
sebelum menikah tidak boleh dilakukan, terlepas apakah akan terjadi kehamilan
atau tidak, terlepas dari apakah pakai kondom atau tidak.
Keluarga
pun harus banyak diberi penyadaran, sosialisasi, bahkan pendampingan soal
pentingnya menumbuhkan pribadi-pribadi remaja yang berkarakter positif,
berakhlak mulia, dengan menjaga komunikasi, kedekatan, dan keharmonisan
keluarga. Soal program bagi penguatan keluarga ini sesungguhnya ada banyak.
Tetapi, bagaimana gaungnya, konsistensi pelaksanaannya, evaluasi, dan anggaran
yang tersedia memang harus dikaji kembali. Upaya revitalisasi inilah sesungguhnya
yang bisa mencegah perilaku negatif remaja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar