Mencari
Makna Hidup
Komaruddin
Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
SINDO, 29 Juni 2012
Buku
Man’s Search for Meaning karangan
Victor Frankl telah terjual lebih dari sembilan juta eksemplar. Buku itu
mengingatkan kita semua bahwa setiap orang selalu mencari makna di balik semua
tindakan dan peristiwa yang menyangkut dirinya.
Frankl
pernah tinggal di Kamp Nazi selama tiga tahun. Di situlah dia terhentak dan
tersadarkan, untuk apa dan siapa seseorang rela mengambil risiko dalam
hidupnya. Pasti ada sesuatu makna yang sangat berharga sehingga seseorang rela
hidup menderita. Pada awalnya mungkin sekalihidupinikitajalanisekadar mengikuti
dorongan insting. Seperti perasaan lapar lalu menggerakkan untuk makan. Rasa
kantuk mendorong mencari tempat tidur. Haus membuat kita mencari minum.Tetapi
ketika kebutuhan insting secara rutin sudah terpola ritme pemenuhannya, kita
lalu bertanya lebih lanjut.
Untuk apa semua ini saya jalani? Pasti kita menjalani hidup tidak semata didorong oleh kinerja insting. Selalu saja kita dibuat gelisah oleh berbagai pertanyaan, seperti: Bagaimanakah meraih hidup yang bermakna (meaningful life)? Setiap pribadi memiliki cara pandang dan penilaian masing-masing atas apa yang dilakukan atau hendak dilakukan. Bagi anak-anak yang sedang menjalani masa puber, apa yang dianggap bermakna dan berharga tentu berbeda dari kalangan orang tuanya.
Seorang pemain sinetron pemula di televisi mungkin saja memandang prestasi yang paling bermakna dan menjadi obsesinya adalah ketika rating penontonnya naik. Ada lagi orang yang menempatkan rumah dan mobil mewah atau jabatan sebagai simbol dan ukuran keberhasilan hidup. Apa iya begitu? Filsafat hidup, keyakinan, dan ajaran agama akan selalu hadir menjadi rujukan bagi seseorang dan masyarakat untuk menentukan bagaimanakah hidup yang bermakna. Mereka yang menganut paham hedonisme berpandangan bahwa sukses dan kenikmatan hidup adalah ketika mampu memanjakan kenikmatan dan kelezatan fisikal-emosional.
Pendeknya, hidup menjadi bermakna dan berharga ketika terpenuhinya dengan mudah kebutuhan dan kenikmatan badani. Penganut paham hedonism ada yang permanen sebagai keyakinan hidup, namun ada yang menjadi gaya hidup sementara dan mengalami perubahan ditengah jalan, mungkin setelah usia lanjut ketika gemerlap dunia tak lagi setia menemani. Profesi juga sangat berpengaruh bagi seseorang dalam membayangkan, mengejar, dan membangun hidup bermakna yang menjadi sumber kebanggaan dan kebahagiaan.
Seorang seniman, atlet, penulis, militer, dan profesi lainnya lagi masing-masing memiliki gambaran dan memori peristiwa-peristiwa serta prestasi hidup yang dianggap paling bermakna bagi hidupnya. Hidup mereka yang memiliki kejelasan konsep tentang hidup bermakna dan merasa tertantang untuk meraihnya lebih dinamis dan terarah. Seberapa besar makna hidup yang membanggakan seseorang berkaitan dengan seberapa besar perjuangan dan pengorbanan yang dilakukannya.
Mereka yang hidupnya datar-datar saja tanpa perjuangan dan pengorbanan mungkin tingkat kebahagiaan dan kebanggaan terhadap dirinya juga rendah, datar-datar saja.Kebalikan dari penganut filsafat hidup hedonisme-materialisme adalah mereka yang menganut paham idealism-spiritualisme. Mereka memandang hidup yang pantas dibanggakan dan bermakna itu bukan terletak dalam terpenuhinya kenikmatan badani-duniawi yang mendatangkan self-glory, melainkan prestasi yang mendekati pada nilai-nilai kehidupan ideal yang berguna bagi sebanyak mungkin masyarakat.
Sejarah memiliki banyak catatan, siapa-siapa saja pemimpin bangsa dan dunia yang masuk kategori penganut filsafat dan ideologi hedonisme dan yang masuk kategori idealismespiritualisme. Penghadapan kategori ini tidak mesti kelompok hedonis berarti kaya raya, lalu pendukung idealisme adalah orang-orang yang miskin. Faktor utama yang membedakan adalah sistem nilai yang diyakini dan diperjuangkannya. Dari situ akan muncul perbedaan dalam membuat agenda hidup dan menentukan prioritas serta kesiapan untuk berkorban dalam mencapai target yang dipandang bermakna dan berharga bagi hidupnya.
Orang yang meyakini dan punya agenda memperjuangkan kejujuran dan kebenaran, mereka siap hidup sederhana demi memelihara hidup yang halal. Minimal untuk kebaikan dirinya. Namun, jauh lebih bagus lagi jika mereka juga mengajak dan menggerakkan orang lain agar menjalani hidupnya dengan baik dan benar. Banyak tokoh sejarah dunia maupun nasional mengajarkan bahwa harga diri dan kebanggaan sebuah bangsa itu selalu dibangun dan dijaga oleh para pejuang idealisme-spiritualisme.
Mereka menjadi inspirator dan penggerak masyarakat untuk selalu menjalani hidup dengan tetap setia pada nilainilai kebenaran, kejujuran, dan kebaikan. Namun,mereka yang menganut paham dan gaya hidup hedonistis kurang tertarik berbicara moralitas yang berakar pada paham idealisme-spiritualisme. Hidup ini begitu singkat, mengapa tidak dinikmati secara optimal? Kalaupun mereka taat hukum dan menjalani hidup sehat,pertimbangannya semata untuk kenikmatan dan kepentingan dirinya.
Dengan demikian, paham hidup hedonisme dan pragmatisme memang bersaudara.Tetapi, banyak pula sisi positif paham ini. Misalnya saja, karena mereka meyakini puncak kehidupan hanya berlangsung di dunia, mereka berusaha menciptakan kehidupan duniawi dan lingkungan alam setertib dan seindah mungkin, tidak perlu menunggu taman surga di akhirat nanti. ●
Untuk apa semua ini saya jalani? Pasti kita menjalani hidup tidak semata didorong oleh kinerja insting. Selalu saja kita dibuat gelisah oleh berbagai pertanyaan, seperti: Bagaimanakah meraih hidup yang bermakna (meaningful life)? Setiap pribadi memiliki cara pandang dan penilaian masing-masing atas apa yang dilakukan atau hendak dilakukan. Bagi anak-anak yang sedang menjalani masa puber, apa yang dianggap bermakna dan berharga tentu berbeda dari kalangan orang tuanya.
Seorang pemain sinetron pemula di televisi mungkin saja memandang prestasi yang paling bermakna dan menjadi obsesinya adalah ketika rating penontonnya naik. Ada lagi orang yang menempatkan rumah dan mobil mewah atau jabatan sebagai simbol dan ukuran keberhasilan hidup. Apa iya begitu? Filsafat hidup, keyakinan, dan ajaran agama akan selalu hadir menjadi rujukan bagi seseorang dan masyarakat untuk menentukan bagaimanakah hidup yang bermakna. Mereka yang menganut paham hedonisme berpandangan bahwa sukses dan kenikmatan hidup adalah ketika mampu memanjakan kenikmatan dan kelezatan fisikal-emosional.
Pendeknya, hidup menjadi bermakna dan berharga ketika terpenuhinya dengan mudah kebutuhan dan kenikmatan badani. Penganut paham hedonism ada yang permanen sebagai keyakinan hidup, namun ada yang menjadi gaya hidup sementara dan mengalami perubahan ditengah jalan, mungkin setelah usia lanjut ketika gemerlap dunia tak lagi setia menemani. Profesi juga sangat berpengaruh bagi seseorang dalam membayangkan, mengejar, dan membangun hidup bermakna yang menjadi sumber kebanggaan dan kebahagiaan.
Seorang seniman, atlet, penulis, militer, dan profesi lainnya lagi masing-masing memiliki gambaran dan memori peristiwa-peristiwa serta prestasi hidup yang dianggap paling bermakna bagi hidupnya. Hidup mereka yang memiliki kejelasan konsep tentang hidup bermakna dan merasa tertantang untuk meraihnya lebih dinamis dan terarah. Seberapa besar makna hidup yang membanggakan seseorang berkaitan dengan seberapa besar perjuangan dan pengorbanan yang dilakukannya.
Mereka yang hidupnya datar-datar saja tanpa perjuangan dan pengorbanan mungkin tingkat kebahagiaan dan kebanggaan terhadap dirinya juga rendah, datar-datar saja.Kebalikan dari penganut filsafat hidup hedonisme-materialisme adalah mereka yang menganut paham idealism-spiritualisme. Mereka memandang hidup yang pantas dibanggakan dan bermakna itu bukan terletak dalam terpenuhinya kenikmatan badani-duniawi yang mendatangkan self-glory, melainkan prestasi yang mendekati pada nilai-nilai kehidupan ideal yang berguna bagi sebanyak mungkin masyarakat.
Sejarah memiliki banyak catatan, siapa-siapa saja pemimpin bangsa dan dunia yang masuk kategori penganut filsafat dan ideologi hedonisme dan yang masuk kategori idealismespiritualisme. Penghadapan kategori ini tidak mesti kelompok hedonis berarti kaya raya, lalu pendukung idealisme adalah orang-orang yang miskin. Faktor utama yang membedakan adalah sistem nilai yang diyakini dan diperjuangkannya. Dari situ akan muncul perbedaan dalam membuat agenda hidup dan menentukan prioritas serta kesiapan untuk berkorban dalam mencapai target yang dipandang bermakna dan berharga bagi hidupnya.
Orang yang meyakini dan punya agenda memperjuangkan kejujuran dan kebenaran, mereka siap hidup sederhana demi memelihara hidup yang halal. Minimal untuk kebaikan dirinya. Namun, jauh lebih bagus lagi jika mereka juga mengajak dan menggerakkan orang lain agar menjalani hidupnya dengan baik dan benar. Banyak tokoh sejarah dunia maupun nasional mengajarkan bahwa harga diri dan kebanggaan sebuah bangsa itu selalu dibangun dan dijaga oleh para pejuang idealisme-spiritualisme.
Mereka menjadi inspirator dan penggerak masyarakat untuk selalu menjalani hidup dengan tetap setia pada nilainilai kebenaran, kejujuran, dan kebaikan. Namun,mereka yang menganut paham dan gaya hidup hedonistis kurang tertarik berbicara moralitas yang berakar pada paham idealisme-spiritualisme. Hidup ini begitu singkat, mengapa tidak dinikmati secara optimal? Kalaupun mereka taat hukum dan menjalani hidup sehat,pertimbangannya semata untuk kenikmatan dan kepentingan dirinya.
Dengan demikian, paham hidup hedonisme dan pragmatisme memang bersaudara.Tetapi, banyak pula sisi positif paham ini. Misalnya saja, karena mereka meyakini puncak kehidupan hanya berlangsung di dunia, mereka berusaha menciptakan kehidupan duniawi dan lingkungan alam setertib dan seindah mungkin, tidak perlu menunggu taman surga di akhirat nanti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar