Sabtu, 30 Juni 2012

Mengukur Mutu Keluarga

Mengukur Mutu Keluarga
Saratri Wilonoyudho ; Dosen Unnes, Doktor Ilmu Kependudukan dari UGM
SUARA MERDEKA, 29 Juni 2012


TEPAT apa yang sering kita dengar dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahwa keluarga adalah pilar bangsa. Mutu bangsa akan terletak pada mutu keluarga, karena bangsa terdiri atas jutaan keluarga. Karenanya, semboyan ”Norma Keluarga Kecil Sejahtera dan Bahagia” sangat tepat jika diartikan secara luas, yakni harus lahir dan batin.

Sederhana saja, banyak kasus keluarga kaya raya, justru anaknya ”hancur” karena terlibat narkoba, hamil di luar nikah, pergaulan bebas, dan penyakit sosial lainnya. Dalam pertemuan di sebuah sekolah di Semarang, ada ketua komite menuding bahwa banyak orang tua murid  pasrah bongkokan kepada sekolah terkait dengan mutu anaknya.

Ingat kata ketua komite tersebut, penulis ingat tulisan Sindhunata dalam majalah Basis Nomor 07-08/ 2006 yang mengutip hasil penelitian Arlie Hochschild (2002) dalam bukunya Keine Zeit (Tidak Ada Waktu-Red). Hochschild, perempuan psikolog asal Amerika Serikat melakukan penelitian pada 1990-1993 dengan cara penukar peran secara permanen antarpekerja karyawan untuk menjadi ibu bapak dalam keluarga. Ia ingin mengetahui apakah orang tersebut benar-benar berhasil membuat harmoni antara mencari uang dan hidup dengan anak-anaknya.

Hasilnya, para bapak/ibu tersebut mengeluh karena merasa tak ada waktu yang cukup buat melayani dan mendidik anaknya. Tugas mendidik anak diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Karenanya, program keluarga berencana (KB) tidak hanya terfokus pada penurunan angka kelahiran atau kuantitas penduduk namun juga menyangkut program peningkatan kualitas. Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Untuk urusan kuantitas saja kita masih berat karena angka fertilitas (TFR) di Indonesia mencapai 2,6. Ini artinya tiap wanita dalam usia reproduktifnya memiliki anak lebih dari dua, sebagaimana dikatakan Kepala BKKBN Sugiri Syarif.
Administrasi Kependudukan
Dengan angka TFR sedemikian tinggi, wajar jika Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk masih tinggi, yakni 1,49% per tahun.

Kondisi ini menambah daftar panjang duka karena dipastikan memerlukan berbagai pelayanan sosial ekonomi, dan menimbulkan banyak permasalahan, seperti sulitnya menyediakan lapangan kerja, kemiskinan, frustrasi, dan aneka ikutannya seperti agresivitas dan berbagai konflik sosial. Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk hingga 1,1 % pada 2015 dan kurang dari 1 % pada 2020 tampaknya terlalu berat jika tanpa revitalisasi program KB. Harus diingat bahwa jumlah perempuan usia subur (25-29 tahun) saat ini 11 juta orang.

Jumlah kelahiran bayi yang saat ini 4,5 juta jiwa per tahun sulit ditekan menjadi hanya 4 juta bayi. Desentralisasi ternyata membawa masalah tersendiri karena bupati  wali kota terlena menggarap program kependudukan. Saat ini setidaknya ada beberapa masalah yang terkait kependudukan, yakni kuantitas, kualitas, persebaran, dan administrasi. Masalah kuantitas terkait dengan makin loyonya program keluarga di kabupaten/kota karena petugas berkurang sepanjang tahun dan tanpa revitalisasi berarti. Rentang kendali BKKBN Pusat dan provinsi ke kabupaten atau kota tidak ada.

Terbitnya UU Nomor 52 Tahun 2009 menunjukkan keseriusan pemerintah mengurusi kependudukan. Lewat UU itu pula, BKKBN yang dulu Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional kini menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

Karenanya, untuk menurunkan angka TFR, harus ada upaya komprehensif dan terpadu, dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Revitalisasi pelayanan keluarga berencana harus dilakukan. Berbarengan dengan program penurunan angka kelahiran, peningkatan kualitas keluarga harus dilakukan secara simultan karena mutu bangsa bergantung pada mutu keluarga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar