Sabtu, 30 Juni 2012

Keluarga Bahagia untuk Bangsa

Keluarga Bahagia untuk Bangsa
Krismiasih ; Seorang Ibu Dan Kepala Sekolah TK Sambur, Geger, Madiun
JAWA POS, 29 Juni 2012


KELUARGA merupakan institusi terkuno. Berdasar bukti-bukti historis arkeologis atau sosiologis, institusi yang satu ini bisa disebut sebagai cikal bakal peradaban manusia. Dalam keluargalah kebudayaan manusia lahir. Keluarga menjadi tempat berseminya kasih sayang, sikap, dan perilaku hormat-menghormati serta tumbuhnya nilai-nilai moral, agama, dan kemanusiaan.

Kini kita memahami, keluarga adalah lembaga paling kecil di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tempat berlangsungnya interaksi yang harmonis dalam suasana saling asih, saling asuh, dan saling asah. Mengingat betapa pentingnya peran dan kehidupan dalam keluarga, Indonesia mendedikasikan satu hari khusus bagi keluarga, yakni Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang diperingati sejak 1993. Di zaman penuh aneka pengaruh yang menyerbu ke ruang keluarga kita, Harganas perlu diingat sebagai momentum untuk berkaca.

Harganas di negeri ini dimunculkan kali pertama oleh Presiden Soeharto yang mencanangkan gerakan keluarga berencana (KB) di Lampung pada 29 Juni 1993. Sejak saat itu, setiap 29 Juni diperingati sebagai Harganas. Tujuan utama Harganas adalah memperkukuh lembaga keluarga dari segala tantangan.

Berdasar PP 21/1994, keluarga memiliki delapan fungsi strategis yang wajib dijaga negara. Menurut PP itu, keluarga memiliki fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi, pendidikan, ekonomi, serta pembinaan lingkungan. Agaknya, ketika itu, Pak Harto sungguh menyadari kebenaran kata bijak bahwa keluarga adalah tiang negara.

10 Persen Bercerai

Harganas, boleh jadi, hendak mengadopsi peringatan yang lazim di negara-negara Barat. Di Barat itu disebut Hari Keluarga (Family Day). Namun, rezim Orde Baru ketika itu menyadari, Harganas bisa menjadi salah satu pengingat pentingnya pengendalian jumlah penduduk Indonesia. Meski banyak dikritik, dalam pengendalian populasi lewat program KB, Orde Baru patut diapresiasi. Betapa pun hebatnya pembangunan, kalau populasi meledak, harkat manusia akan sulit terangkat.

Bandingkan dengan kondisi negara terkini yang tengah menghadapi ancaman "baby booming". Dalam lima tahun terakhir rata-rata angka pertambahan penduduk Indonesia per tahun setara dengan penduduk Singapura yang berjumlah 3 juta jiwa. Ada prediksi mencemaskan. Jika program KB ditelantarkan, jumlah penduduk Indonesia akan meningkat menjadi 360 juta jiwa pada 2050.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar kelima di dunia, jelas Indonesia akan menghadapi problem dan tantangan yang berat ketika jumlah penduduk Indonesia terus bertambah. Padahal, luas wilayah Indonesia tidak menduduki peringkat kelima di dunia, tetapi ke-15. Ruang dan kualitas hidup bisa terganggu dengan adanya kelahiran yang tidak terkendali.

Masalah populasi atau jumlah anak memang penting dipertimbangkan dan direncanakan secara matang oleh pasangan muda yang hendak menikah atau membangun keluarga. Jika tidak, keluarga bisa terancam tidak bahagia. Anak-anak selalu menjadi korban pertama dari ketidakbahagiaan keluarga.

Padahal, setiap pasangan yang membentuk keluarga tentu bercita-cita agar  keluarganya tumbuh menjadi keluarga yang baik, tenteram, damai, tidak suka kekerasan, berakhlak dan religius, serta menjunjung tinggi kebersamaan. Idealisme itu terantuk pada kondisi sebaliknya di tengah perjalanan.

Kita tahu, cukup banyak bahtera keluarga yang tidak bahagia dan berakhir pada perceraian. Menurut Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, hampir tiap tahun 200.000 pasangan muslim di negeri ini bercerai. Tiap tahun ada dua juta pasangan menikah. Sayang, di setiap seratus pernikahan, sepuluh pasangan bercerai. Cukup tinggi, 10 persen. Ada beragam alasan pasutri bercerai. Misalnya, perselingkuhan dan KDRT. Tiap hari di koran muncul berita yang bertema perselingkuhan atau KDRT.

Perceraian tentu membawa konsekuensi buruk. Terutama bagi anak-anak. Anak-anak korban perceraian hidup dalam kebingungan dan ketidakpastian, Tidak heran jika sebagian di antara mereka lari ke narkoba dan kriminalitas yang kini menjerat 5,1 juta jiwa penduduk negeri ini. Hukum tidak pernah memedulikan bahwa anak-anak itu tidak berbahagia dan berkasus hukum karena orang tua mereka merencanakan hidup.

Serbuan Pengaruh Buruk

Narkoba kini menambah godaan anak-anak bangsa untuk menuju ketidakbahagiaan. Berdasar data terbaru 2012, terdapat 5,1 juta pemakai narkoba di negri ini dengan omzet Rp 40 triliun per tahun. Kita tahu bahwa narkoba tidak hanya mengakibatkan hancurnya masa depan generasi muda. Seks bebas merajalela karena sikap moral yang kacau.

Ujung-ujungnya, dengan jarum suntik narkoba, virus HIV/AIDS menyebar dan menjadi masalah yang membelit bangsa ini. Angka korban HIV/AIDS terus melonjak. Padahal, angka yang muncul ke permukaan menyimpan fenomena gunung es.

Para peneliti dari University of New South Wales, Australia, menyebutkan bahwa tingkat infeksi HIV/AIDS di kalangan pengguna narkotika dengan jarum suntik meningkat. The Lancet, General Medical Journal di Inggris pada 23 September 2008 menyingkapkan sebuah laporan hasil riset terbaru bahwa tiga juta pengguna narkotika suntik (penasun) di seluruh dunia terinfeksi dan terjangkit HIV positif. Indonesia jelas bukan perkecualian.

Harganas tahun ini bisa dijadikan momentum untuk kembali menyadari pentingnya nilai-nilai kebersamaan untuk membangun keluarga. Komitmen kepada keluarga perlu dijaga dan dikuatkan di tengah beragam gempuran yang mencoba untuk meruntuhkan sendi-sendi keluarga.

Ajaran-ajaran akhlak mulia agama kembali didengarkan lewat suara lembut ibu dan ayah ke telinga anak dan diteladankan dalam keseharian. Pemerintah lewat tangan-tangan kewenangannya perlu punya program nyata yang lebih sistematis untuk menjaga kekuatan keluarga di negeri ini. Bangsa yang kuat dibangun dari jutaan "batu bata" berupa keluarga yang berbahagia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar