Anggito
dan Reformasi Haji
Agus
Riwanto ; PNS Kementerian Agama (Kemenag) Sragen, Jawa Tengah,
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas
Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Sumber :
JAWA POS, 28 Juni 2012
KEMENTERIAN
Agama (Kemenag) membuat kejutan dengan mengangkat Anggito Abimanyu,
pakar ekonomi dari UGM, menjadi Dirjen Haji dan Umrah. Sosok yang dikenal akan
integritasnya itu menggantikan Slamet Riyanto yang memasuki masa pensiun (Jawa
Pos, 27 Juni).
Penempatan Anggito di Kemenag sangat tepat di tengah memburuknya citra kementerian itu karena beberapa kasus. Yang mutakhir adalah dugaan korupsi pengadaan Alquran. Bahkan, di awal 2012 publik dikejutkan oleh pemberian "kado istimewa" dari KPK kepada Kemenag berupa peringkat terbawah dalam indeks integritas dari perilaku korupsi. Di antara 22 lembaga negara pusat yang disurvei indeks integritas pusat (IIP)-nya oleh KPK, Kemenag berada di urutan ke-22. KPK mengungkapkan, perilaku korupsi berupa suap dan gratifikasi di Kemenag yang terbesar terdapat dalam pelayanan ibadah haji.
Pengalaman Anggito di bidang keuangan, termasuk pernah menjadi kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, diharapkan dapat membantu mereformasi pengelolaan keuangan penyelenggaraan haji serta mengurai berbagai persoalan lain yang memerlukan ketajaman analisis kebijakan makro dan mikro. Itu memang lebih baik bila diserahkan kepada ahlinya. Selama ini, pengelolaan penyelenggaraan haji dimotori pegawai karir yang berlatar belakang ilmu agama. Akibatnya, kebijakannya cenderung monoton dan tak visioner untuk menjawab aneka problem haji.
Memetakan Korupsi Haji
Tugas pertama Anggito adalah segera memetakan celah penyalahgunaan administrasi (malaadministrasi) yang berpotensi korupsi. Paling tidak terdapat tiga celah korupsi pelayanan ibadah haji. Yaitu; (1) pada tingkat regulasi yang tak jelas dan terjadi kekosongan hukum; (2) pada tata laksana atau proses bisnis, mulai bimbingan haji, pengangkutan jamaah haji, hingga pemondokan; serta (3) manajemen sumber daya manusia (SDM) yang tidak memadai dalam mengelola dan melayani ibadah haji secara akuntabel, transparan, dan profesional.
Sedangkan menurut ICW, ada delapan masalah yang berpotensi korupsi haji, yakni terkait dengan UU, monopoli dan buruknya tata kelola haji, pengelolaan dana abadi umat (DAU), tabungan haji, manipulasi ongkos haji, pengawasan, korupsi penyelenggaraan haji, serta pengadaan valuta asing (Kompas, 16 Desember 2011).
Itulah sebabnya selama ini BPK kerap menyatakan disclaimer (tanpa opini) ketika melakukan audit keuangan Kemenag, termasuk dalam pengelolaan dana ibadah haji. Pada 2011, KPK memang menyoroti buruknya pelayanan administrasi dalam pendaftaran atau perpanjangan izin penyelenggaraan ibadah haji khusus (PIHK) dan perpanjangan izin kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Bahkan, komponen waktu penyetoran dan format laporan sisa biaya operasional penyelenggara haji yang disetor ke DAU selama ini juga tidak transparan. Kini bahkan setoran pertama calon haji untuk mendapat antrean pemberangkatan telah terkumpul Rp 30 triliun dengan menggunakan asumsi pengantre haji 1,2 juta orang dan masing-masing menyetor Rp 25 juta. Juga, tampaknya, belum dibedakan antara bunga ("manfaat", menurut istilah Kemenag) dan pokoknya dalam rekening yang berbeda.
Lebih dari itu, pengelolaan DAU puluhan triliun rupiah tidak cukup jelas penggunaannya untuk pembiayaan umat yang mana dan dalam bentuk apa. Tentu masih segar dalam ingatan publik ketika pada 2006 sejumlah pejabat di kementerian tersebut, termasuk menterinya, Said Aqil Husein Al Munawar, terjerat kasus korupsi DAU karena telah melakukan malapraktik dana haji.
Menyiapkan Regulasi Haji
Tugas kedua Anggito adalah mereformasi administrasi birokrasi penyelenggaraan haji secara sistemis, yaitu menyiapkan regulasi haji secara cermat. Sebab, potensi korupsi haji dapat terjadi karena UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang mengatur seluk-beluk pola manajemen haji belum dapat dilaksanakan oleh Kemenag. Alasannya, belum diterbitkan aturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah (PP) oleh Presiden SBY. Itu adalah UU unik karena telah terbit empat tahun, namun tidak dapat dieksekusi di lapangan karena terbentur PP.
Padahal, bila UU itu dilaksanakan, mata rantai korupsi haji bisa terpotong. Sebab, dalam UU tersebut diatur perlunya Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) yang akan mengawasi pengelolaan dana yang diperoleh dari hasil pengembangan atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji. UU tersebut juga mengamanatkan perlunya dibentuk Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) untuk mengawasi semua prosesi dan tahap penyelenggaraan haji secara akurat dan akuntabel.
Presiden SBY bisa disebut telah turut melakukan pembiaran (by omission) korupsi haji secara sistemis karena alpa menerbitkan PP atas UU No 13/2008.
Menyiapkan BUMN Haji
Tugas ketiga Anggito adalah menyiapkan kemungkinan penjajakan penyelenggaraan haji melalui badan usaha milik negara (BUMN). Untuk itu, tentu dituntut desain besar reformasi birokrasi haji dengan cara penyelenggaraan ibadah haji tak dikelola Kemenag lagi, melainkan dialihkan ke BUMN. Pengalihan manajemen pengelolaan ibadah haji melalui BUMN jauh lebih tepat. Sebab, model itu bukan saja akan dapat melepaskan negara dari monopoli penyelenggaraan haji, tetapi juga akan menjadikan negara menempatkan diri cukup sebagai regulator dan pengawas, sedangkan pelaksananya adalah badan khusus yang memiliki kompetensi dan SDM andal di bidang operasionalisasi teknis penyelenggaraan haji.
Pola manajemen haji yang tersentral di Kemenag sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi minus SDM yang memadai terbukti telah menjerumuskan lembaga agama itu ke dalam jurang korupsi. Selayaknya Kemenag "merelakan" dan "gembira" bila penyelenggaraan haji diberikan kepada pihak ketiga atau BUMN. Kemenag cukup berperan pada level bimbingan ritualitas haji, pengawasan, dan regulator haji.
Saatnya kini seluruh jajaran Kemenag menggelorakan semangat antikorupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Memilukan, para tamu Allah dijadikan sasaran korupsi. Mudah-mudahan kehadiran Anggito akan menjadi spirit antikorupsi dan reformasi di kementerian yang bermoto ikhlas beramal itu. Semoga nafsu mengorupsi penyelenggaraan ibadah berhenti sehingga religiusitas berdampak positif kepada bangsa. Selamat bekerja, Dirjen Anggito Abimanyu! ●
Penempatan Anggito di Kemenag sangat tepat di tengah memburuknya citra kementerian itu karena beberapa kasus. Yang mutakhir adalah dugaan korupsi pengadaan Alquran. Bahkan, di awal 2012 publik dikejutkan oleh pemberian "kado istimewa" dari KPK kepada Kemenag berupa peringkat terbawah dalam indeks integritas dari perilaku korupsi. Di antara 22 lembaga negara pusat yang disurvei indeks integritas pusat (IIP)-nya oleh KPK, Kemenag berada di urutan ke-22. KPK mengungkapkan, perilaku korupsi berupa suap dan gratifikasi di Kemenag yang terbesar terdapat dalam pelayanan ibadah haji.
Pengalaman Anggito di bidang keuangan, termasuk pernah menjadi kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, diharapkan dapat membantu mereformasi pengelolaan keuangan penyelenggaraan haji serta mengurai berbagai persoalan lain yang memerlukan ketajaman analisis kebijakan makro dan mikro. Itu memang lebih baik bila diserahkan kepada ahlinya. Selama ini, pengelolaan penyelenggaraan haji dimotori pegawai karir yang berlatar belakang ilmu agama. Akibatnya, kebijakannya cenderung monoton dan tak visioner untuk menjawab aneka problem haji.
Memetakan Korupsi Haji
Tugas pertama Anggito adalah segera memetakan celah penyalahgunaan administrasi (malaadministrasi) yang berpotensi korupsi. Paling tidak terdapat tiga celah korupsi pelayanan ibadah haji. Yaitu; (1) pada tingkat regulasi yang tak jelas dan terjadi kekosongan hukum; (2) pada tata laksana atau proses bisnis, mulai bimbingan haji, pengangkutan jamaah haji, hingga pemondokan; serta (3) manajemen sumber daya manusia (SDM) yang tidak memadai dalam mengelola dan melayani ibadah haji secara akuntabel, transparan, dan profesional.
Sedangkan menurut ICW, ada delapan masalah yang berpotensi korupsi haji, yakni terkait dengan UU, monopoli dan buruknya tata kelola haji, pengelolaan dana abadi umat (DAU), tabungan haji, manipulasi ongkos haji, pengawasan, korupsi penyelenggaraan haji, serta pengadaan valuta asing (Kompas, 16 Desember 2011).
Itulah sebabnya selama ini BPK kerap menyatakan disclaimer (tanpa opini) ketika melakukan audit keuangan Kemenag, termasuk dalam pengelolaan dana ibadah haji. Pada 2011, KPK memang menyoroti buruknya pelayanan administrasi dalam pendaftaran atau perpanjangan izin penyelenggaraan ibadah haji khusus (PIHK) dan perpanjangan izin kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH). Bahkan, komponen waktu penyetoran dan format laporan sisa biaya operasional penyelenggara haji yang disetor ke DAU selama ini juga tidak transparan. Kini bahkan setoran pertama calon haji untuk mendapat antrean pemberangkatan telah terkumpul Rp 30 triliun dengan menggunakan asumsi pengantre haji 1,2 juta orang dan masing-masing menyetor Rp 25 juta. Juga, tampaknya, belum dibedakan antara bunga ("manfaat", menurut istilah Kemenag) dan pokoknya dalam rekening yang berbeda.
Lebih dari itu, pengelolaan DAU puluhan triliun rupiah tidak cukup jelas penggunaannya untuk pembiayaan umat yang mana dan dalam bentuk apa. Tentu masih segar dalam ingatan publik ketika pada 2006 sejumlah pejabat di kementerian tersebut, termasuk menterinya, Said Aqil Husein Al Munawar, terjerat kasus korupsi DAU karena telah melakukan malapraktik dana haji.
Menyiapkan Regulasi Haji
Tugas kedua Anggito adalah mereformasi administrasi birokrasi penyelenggaraan haji secara sistemis, yaitu menyiapkan regulasi haji secara cermat. Sebab, potensi korupsi haji dapat terjadi karena UU No 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang mengatur seluk-beluk pola manajemen haji belum dapat dilaksanakan oleh Kemenag. Alasannya, belum diterbitkan aturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah (PP) oleh Presiden SBY. Itu adalah UU unik karena telah terbit empat tahun, namun tidak dapat dieksekusi di lapangan karena terbentur PP.
Padahal, bila UU itu dilaksanakan, mata rantai korupsi haji bisa terpotong. Sebab, dalam UU tersebut diatur perlunya Dewan Pengawas Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) yang akan mengawasi pengelolaan dana yang diperoleh dari hasil pengembangan atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji. UU tersebut juga mengamanatkan perlunya dibentuk Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) untuk mengawasi semua prosesi dan tahap penyelenggaraan haji secara akurat dan akuntabel.
Presiden SBY bisa disebut telah turut melakukan pembiaran (by omission) korupsi haji secara sistemis karena alpa menerbitkan PP atas UU No 13/2008.
Menyiapkan BUMN Haji
Tugas ketiga Anggito adalah menyiapkan kemungkinan penjajakan penyelenggaraan haji melalui badan usaha milik negara (BUMN). Untuk itu, tentu dituntut desain besar reformasi birokrasi haji dengan cara penyelenggaraan ibadah haji tak dikelola Kemenag lagi, melainkan dialihkan ke BUMN. Pengalihan manajemen pengelolaan ibadah haji melalui BUMN jauh lebih tepat. Sebab, model itu bukan saja akan dapat melepaskan negara dari monopoli penyelenggaraan haji, tetapi juga akan menjadikan negara menempatkan diri cukup sebagai regulator dan pengawas, sedangkan pelaksananya adalah badan khusus yang memiliki kompetensi dan SDM andal di bidang operasionalisasi teknis penyelenggaraan haji.
Pola manajemen haji yang tersentral di Kemenag sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi minus SDM yang memadai terbukti telah menjerumuskan lembaga agama itu ke dalam jurang korupsi. Selayaknya Kemenag "merelakan" dan "gembira" bila penyelenggaraan haji diberikan kepada pihak ketiga atau BUMN. Kemenag cukup berperan pada level bimbingan ritualitas haji, pengawasan, dan regulator haji.
Saatnya kini seluruh jajaran Kemenag menggelorakan semangat antikorupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Memilukan, para tamu Allah dijadikan sasaran korupsi. Mudah-mudahan kehadiran Anggito akan menjadi spirit antikorupsi dan reformasi di kementerian yang bermoto ikhlas beramal itu. Semoga nafsu mengorupsi penyelenggaraan ibadah berhenti sehingga religiusitas berdampak positif kepada bangsa. Selamat bekerja, Dirjen Anggito Abimanyu! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar