Menyambut
Era Digitalisasi Penyiaran
Tantowi
Yahya ; Anggota Komisi I DPR RI
Sumber :
MEDIA INDONESIA, 28 Juni 2012
ERA
digitalisasi penyiaran memang tidak bisa terelakkan. Digitalisasi penyiaran
merupakan peluang untuk menciptakan penyiaran yang berkualitas, baik gambar
maupun suara, dengan peluang pemaksimalan penggunaan frekuensi penyiaran.
Dengan digitalisasi penyiaran, anatomi sistem penyiaran dapat ditata kembali
agar lebih demokratis, seperti penguatan lembaga penyiaran publik serta penataan
lembaga penyiaran swasta yang menjamin diversity
of ownership dan diversity of content.
Digitalisasi akan mengubah total industri televisi dan konten.
Walaupun
sebuah keniscayaan, persoalan digitalisasi penyiaran tidak bisa disimplifikasi
menjadi penataan zonasi penyiaran dan tender pengelola lembaga multipleksing
semata. Platform penyiaran menyangkut frekuensi yang merupakan ranah terbatas
milik publik, yang pengaturannya haruslah bermanfaat semaksimal mungkin bagi
rakyat, sebagaimana diamanatkan undang-undang. DPR, dalam hal ini Komisi I,
sebagai representasi rakyat Indonesia menilai pengaturan soal digitalisasi
penyiaran merupakan domain yang harus diatur undang-undang, bukan dalam bentuk
peraturan menteri seperti yang ada saat ini.
Seperti
diketahui, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika
mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap tidak Berbayar (free to air). Peraturan menteri (permen)
tersebut antara lain mengatur penataan dan persiapan awal migrasi dari sistem
penyiaran analog ke sistem penyiaran digital.
Terdapat
beberapa prinsip dalam peraturan menteri tersebut yang bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pertama, dalam
Undang-Undang Penyiaran, hanya diakui empat terminologi lembaga penyiaran,
yaitu lembaga penyiaran swasta (LPS), lembaga penyiaran publik (LPP), lembaga
penyiaran berlangganan (LPB), dan lembaga penyiaran komunitas (LPK). Tidak ada
satu pun pasal ataupun ayat dalam UU tersebut yang mengatur soal digitalisasi.
Segala sesuatu tentang digitalisasi akan diatur dalam UU Penyiaran yang baru,
yang saat ini sedang disusun oleh DPR.
Namun,
Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011 tersebut membuat kategori baru berupa
Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) dan Lembaga
Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS). Selain tidak dikenal dalam
Undang-Undang Penyiaran, dua varian baru lembaga penyiaran tersebut juga
berpotensi menimbulkan polemik hukum di kemudian hari. Permenkominfo No 22/2011
berpotensi memunculkan monopoli dalam industri penyiaran. Itu seperti terlihat
dalam Pasal 5 ayat 4 yang menyatakan LP3M dibolehkan menguasai multipleks lebih
dari satu zona siaran. Belum lagi pemisahan antara pemilik frekuensi dan
pemilik konten, yang juga berpotensi menimbulkan konflik baru.
Kedua,
varian baru lembaga penyiaran dalam peraturan menteri tersebut berimplikasi
pada proses pemberian izin bagi lembaga penyiaran. Peraturan menteri tersebut
mengatur pelaksanaan LPPPM cukup dengan memperoleh penetapan dari menteri.
Padahal, dalam Undang-Undang Penyiaran, pelaksanaan penyiaran dapat
diselenggarakan setelah memperoleh izin berdasarkan kesepakatan antara Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerintah dalam suatu forum rapat bersama.
Penetapan
dan pemberian izin bagi lembaga penyiaran tentu merupakan dua hal berbeda.
Penetapan cenderung berdasarkan penggunaan kekuasaan yang bersifat otoritatif,
sementara pemberian izin seperti yang diatur dalam Undang-Undang Penyiaran
mensyaratkan adanya partisipasi atau representasi publik. Hal itu sesuai dengan
filosofi dasar frekuensi sebagai ranah publik. Dalam perspektif ini, menteri,
sebagai pihak yang memiliki otoritas mengeluarkan penetapan bagi LPPPM, dapat
dinilai bertindak mengabaikan kepentingan publik.
Ketiga,
dalam Undang-Undang Penyiaran disebutkan bahwa KPI sebagai lembaga negara yang
bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Faktanya, dalam
penyusunannya, peraturan menteri tersebut tidak melibatkan KPI yang memiliki
kewenangan untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran.
Oleh
karena itu, Kemenkominfo sudah semestinya tidak memaksakan implementasi
peraturan menteri tentang digitalisasi penyiaran untuk siaran terestrial
sebelum revisi UU Penyiaran tuntas.
Digitalisasi
penyiaran memang masih berlangsung 6 tahun lagi. Namun, penyiapan regulasi
digitalisasi penyiaran yang berbentuk undang-undang mendesak untuk dimulai. Hal
tersebut perlu dilakukan untuk menjamin peluang menciptakan keragaman isi dan
kepemilikan dengan memaksimalkan pemanfaatan frekuensi penyiaran.
Migrasi
dari sistem siaran analog ke sistem siaran digital merupakan revolusi teknologi
yang kelak berimplikasi pada sektor ekonomi, politik, dan sosial. Sebagai
negara yang tergabung dalam International
Telecommunication Union (ITU), dalam revolusi teknologi penyiaran ini
Indonesia tidak bisa menafikan arus perubahan tersebut. Sebagai negara yang
tergabung dalam International
Telecommunication Union (ITU), dalam revolusi teknologi penyiaran ini
Indonesia tidak bisa menafikan arus perubahan tersebut.“ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar