Kamis, 28 Juni 2012

Narkoba dan Peran Keluarga


Narkoba dan Peran Keluarga
Tom Saptaatmaja ; Konsultan Keluarga, Alumnus STFT Widya Sasana Malang
Sumber :  KORAN TEMPO, 27 Juni 2012


Mungkin bukan kebetulan kalau Hari Anti Madat Sedunia dan Hari Keluarga Nasional diperingati secara agak berdekatan. Seperti kita tahu, tiap 26 Juni, PBB mendedikasikan hari itu sebagai Hari Anti Madat Sedunia. Sedangkan sejak Presiden Soeharto mencanangkan Gerakan Keluarga Berencana pada 29 Juni 1993, sejak saat itu tiap 29 Juni diperingati sebagai Hari Keluarga Nasional. Antara spirit melawan narkoba dan peran keluarga memang terdapat hubungan atau inter-relasi yang relatif dekat.

Untuk melihat inter-relasi itu, kita perlu melihat pertama-tama bahwa bahaya madat atau narkotik dan obat-obatan terlarang (narkoba) kian tahun kian membengkak. Ratusan ribu bahkan jutaan nyawa telah terenggut akibat mengkonsumsi barang haram ini. Seiring dengan globalisasi, narkoba juga kian menjadi ancaman nyata bagi dunia. Antonio Nicaso dalam bukunya The Mafia Global (2000 ) dan Fenton Breslor dalam The Chinese Mafia (1980) sudah membeberkan betapa peredaran narkoba sudah menjadi bisnis internasional akibat menguatnya arus globalisasi.

Indonesia tak luput dari sasaran para mafia asing. Sementara dua-tiga tahun lalu banyak pengedar narkoba berasal dari Nigeria, dalam setahun terakhir aparat kita banyak menangkap para pengedar narkoba asal Iran dan Hong Kong dengan omzet miliaran dolar. Sedangkan di dalam negeri, kian menjamur pabrik narkoba, khususnya di kota-kota besar seperti Surabaya.

Data BNN

Tidak mengherankan jika jumlah korban narkoba di Indonesia juga kian banyak. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) 2011, 5 juta dari 237 juta penduduk Indonesia menjadi pelaku penyalahgunaan narkoba. Yang memprihatinkan, sekitar 63 persen pengguna narkoba pertama kali mencoba narkoba pada usia 15-24 tahun. Bahkan satu di antara 10 responden mengaku menggunakan/mengkonsumsi narkoba pertama kali pada usia kurang dari 15 tahun. Korban meninggal 15 ribu orang setiap tahun. Yang patut disesalkan, hampir 15 ribu korban narkoba adalah anak-anak SD. Jaringan pengedar narkoba di Indonesia mendapatkan rata-rata Rp 30 triliun per tahun.

Lemahnya penegakan hukum di negeri ini turut punya andil dalam kian banyaknya korban narkoba di kalangan generasi muda. Meski polisi sering dikabarkan menangkap para pengedar atau bandar besar narkoba, ketika sudah dibawa ke pengadilan, sering kasus ini menguap begitu saja. Akibatnya, para bandar besar narkoba masih bisa tetap bebas. Dengan uang yang dimiliki, para bandar serta hukum yang bisa direkayasa, serta aparat hukum yang gampang disuap, kasus-kasus narkoba hanya berhasil menjerat para korban tapi membiarkan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam peredaran narkoba. Anehnya, ada selentingan bahwa beberapa aparat hukum, mulai dari polisi, jaksa, sampai hakim, kabarnya malah memelihara para bandar narkoba sebagai “ATM”. Akibatnya, dari sisi penegakan hukum sesuai dengan UU Psikotropika, hanya pengedar kelas teri yang dijerat, sementara kelas kakapnya tetap bebas merdeka.

Karena itu, dalam masalah narkoba, kita tidak bisa berharap pada aparat hukum atau negara (dalam hal ini Badan Narkotika Nasional). Setiap warga negara mempunyai tanggung jawab mengingatkan betapa berbahayanya narkoba bagi anak-anak bangsa. Setiap saat, tidak hanya ketika Hari Anti Madat, kita harus terus-menerus menyuarakan perang melawan narkoba. Setiap hari harus menjadi hari anti-narkoba.

Penulis pernah mewawancarai para bekas korban narkoba di sebuah radio di Surabaya. Mereka berkisah bagaimana jerat narkoba mampu melumpuhkan segenap akal sehat mereka. Begitu orang sudah kecanduan, sebuah neraka dunia tengah tercipta. Maunya menikmati aroma surga ketika tengah fly, tapi pelan tapi pasti jiwa-raga sedang menuju kehancuran, baik fisik maupun mental. Perjuangan untuk sembuh dari kecanduan narkoba sangatlah sulit dan melelahkan.

Peran Keluarga

Umumnya mereka yang telah sembuh dari kecanduan narkoba mengakui bahwa dukungan dari pihak keluarga sangatlah penting. Kepedulian, perhatian, dan kasih sayang orang tua bisa menyelamatkan anak-anak dari jerat dan kehancuran karena narkoba. Tentu rehabilitasi ini membutuhkan tenaga, waktu, dan uang yang tidak sedikit. Henry Yosodiningrat, Titik Qadarsih, atau Nyonya Ronny Patinasarani, yang anak-anaknya pernah menjadi korban narkoba, bisa dijadikan sumber inspirasi bagi orang tua yang anaknya kecanduan narkoba. Narkobanya harus dilawan, tapi korbannya perlu dan harus diselamatkan.

Karena itu, dalam perang membentengi generasi kita dari ancaman narkoba, institusi keluarga jelas punya peran lebih besar dan menentukan. Kita jangan berharap dari negara atau pemerintah saja. Memang kebanyakan korban narkoba berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Ini yang sungguh mencemaskan. Padahal, kalau keluarga tidak harmonis, anak-anak lari ke luar rumah dan narkoba menjadi pelarian, karena tidak ada cinta atau perhatian di dalam rumah. Sayangnya, di luar rumah, ada orang yang menjadikan narkoba sebagai bagian dari gaya hidup atau perilaku. Dalam perspektif psikologi behaviorism, dengan tokohnya J.B Watson (1878-1958), dikenal stimulus-response theory. Menurut Watson, setiap tingkah laku manusia pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasan (response) terhadap rangsang (stimulus). Karena itu, stimulus sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Bahkan setiap perilaku manusia ditentukan dan diatur oleh rangsangan. Jadi, seseorang tidak akan menjadi pecandu narkoba bila ada stimulus dari luar.

Maka, setiap orang tua punya tanggung jawab menjaga kondisi harmonis dalam rumah, sehingga anak-anak tidak lari ke luar rumah serta mencari narkoba. Sayangnya, keluarga yang menjadi benteng sekaligus penyemai benih-benih moral dan budi pekerti ini tengah menghadapi ancaman luar biasa. Bahkan ada yang menilai institusi keluarga sudah dianggap basi. Perselingkuhan dan perceraian menjadi biasa, sehingga Indonesia termasuk negara ketiga terbesar dalam hal perceraian.

Ada banyak ancaman yang punya andil dalam memperlemah lembaga keluarga ini, seperti faktor ekonomi yang menyebabkan keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak harus terpisah. Misalnya, sekitar 6,5 juta buruh migran kita harus bekerja di luar negeri dan menyerahkan anak-anak mereka di Tanah Air pada asuhan orang lain. Entah ada korelasinya atau tidak, di daerah kantong-kantong TKI, seperti Tulungagung, Kediri, atau Blitar, banyak terjadi kasus perceraian dan narkoba. Apakah pemerintah atau negara pernah memikirkan bagaimana masa depan anak-anak buruh migran itu?

Bahkan mendiang Ibu Teresa, peraih Nobel Perdamaian, pernah mengatakan, “Kita harus ingat bahwa cinta dimulai di rumah atau dalam keluarga, dan kita harus ingat juga bahwa masa depan kemanusiaan harus melalui keluarga.” Mudah-mudahan keberadaan Hari Keluarga Nasional kembali bisa membuka mata kita akan pentingnya keluarga ini. Kita tahu banyak hal dari keluarga. Jadi, mari kita selamatkan keluarga dari beragam bahaya, termasuk narkoba dan ketiadaan cinta serta perhatian. Mari kita kembali ke keluarga. Agama (apa pun) sudah mengajarkan, tidak ada institusi yang lebih efektif untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan selain keluarga. Jadi, mari selamatkan keluarga dari narkoba. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar