Narkoba
dan Peran Keluarga
Tom
Saptaatmaja ; Konsultan Keluarga, Alumnus STFT Widya
Sasana Malang
Sumber :
KORAN TEMPO, 27 Juni 2012
Mungkin bukan kebetulan kalau Hari Anti Madat
Sedunia dan Hari Keluarga Nasional diperingati secara agak berdekatan. Seperti
kita tahu, tiap 26 Juni, PBB mendedikasikan hari itu sebagai Hari Anti Madat
Sedunia. Sedangkan sejak Presiden Soeharto mencanangkan Gerakan Keluarga
Berencana pada 29 Juni 1993, sejak saat itu tiap 29 Juni diperingati sebagai
Hari Keluarga Nasional. Antara spirit melawan narkoba dan peran keluarga memang
terdapat hubungan atau inter-relasi yang relatif dekat.
Untuk melihat inter-relasi itu, kita perlu
melihat pertama-tama bahwa bahaya madat atau narkotik dan obat-obatan terlarang
(narkoba) kian tahun kian membengkak. Ratusan ribu bahkan jutaan nyawa telah
terenggut akibat mengkonsumsi barang haram ini. Seiring dengan globalisasi,
narkoba juga kian menjadi ancaman nyata bagi dunia. Antonio Nicaso dalam
bukunya The Mafia Global (2000 ) dan Fenton Breslor dalam The Chinese
Mafia (1980) sudah membeberkan betapa peredaran narkoba sudah menjadi
bisnis internasional akibat menguatnya arus globalisasi.
Indonesia tak luput dari sasaran para mafia
asing. Sementara dua-tiga tahun lalu banyak pengedar narkoba berasal dari
Nigeria, dalam setahun terakhir aparat kita banyak menangkap para pengedar
narkoba asal Iran dan Hong Kong dengan omzet miliaran dolar. Sedangkan di dalam
negeri, kian menjamur pabrik narkoba, khususnya di kota-kota besar seperti
Surabaya.
Data BNN
Tidak mengherankan jika jumlah korban narkoba
di Indonesia juga kian banyak. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional
(BNN) 2011, 5 juta dari 237 juta penduduk Indonesia menjadi pelaku
penyalahgunaan narkoba. Yang memprihatinkan, sekitar 63 persen pengguna narkoba
pertama kali mencoba narkoba pada usia 15-24 tahun. Bahkan satu di antara 10
responden mengaku menggunakan/mengkonsumsi narkoba pertama kali pada usia
kurang dari 15 tahun. Korban meninggal 15 ribu orang setiap tahun. Yang patut
disesalkan, hampir 15 ribu korban narkoba adalah anak-anak SD. Jaringan
pengedar narkoba di Indonesia mendapatkan rata-rata Rp 30 triliun per tahun.
Lemahnya penegakan hukum di negeri ini turut
punya andil dalam kian banyaknya korban narkoba di kalangan generasi muda.
Meski polisi sering dikabarkan menangkap para pengedar atau bandar besar
narkoba, ketika sudah dibawa ke pengadilan, sering kasus ini menguap begitu
saja. Akibatnya, para bandar besar narkoba masih bisa tetap bebas. Dengan uang
yang dimiliki, para bandar serta hukum yang bisa direkayasa, serta aparat hukum
yang gampang disuap, kasus-kasus narkoba hanya berhasil menjerat para korban
tapi membiarkan pihak-pihak yang paling bertanggung jawab dalam peredaran
narkoba. Anehnya, ada selentingan bahwa beberapa aparat hukum, mulai dari
polisi, jaksa, sampai hakim, kabarnya malah memelihara para bandar narkoba
sebagai “ATM”. Akibatnya, dari sisi penegakan hukum sesuai dengan UU
Psikotropika, hanya pengedar kelas teri yang dijerat, sementara kelas kakapnya
tetap bebas merdeka.
Karena itu, dalam masalah narkoba, kita tidak
bisa berharap pada aparat hukum atau negara (dalam hal ini Badan Narkotika
Nasional). Setiap warga negara mempunyai tanggung jawab mengingatkan betapa
berbahayanya narkoba bagi anak-anak bangsa. Setiap saat, tidak hanya ketika
Hari Anti Madat, kita harus terus-menerus menyuarakan perang melawan narkoba.
Setiap hari harus menjadi hari anti-narkoba.
Penulis pernah mewawancarai para bekas korban
narkoba di sebuah radio di Surabaya. Mereka berkisah bagaimana jerat narkoba
mampu melumpuhkan segenap akal sehat mereka. Begitu orang sudah kecanduan,
sebuah neraka dunia tengah tercipta. Maunya menikmati aroma surga ketika tengah
fly, tapi pelan tapi pasti jiwa-raga sedang menuju kehancuran, baik
fisik maupun mental. Perjuangan untuk sembuh dari kecanduan narkoba sangatlah
sulit dan melelahkan.
Peran Keluarga
Umumnya mereka yang telah sembuh dari
kecanduan narkoba mengakui bahwa dukungan dari pihak keluarga sangatlah
penting. Kepedulian, perhatian, dan kasih sayang orang tua bisa menyelamatkan
anak-anak dari jerat dan kehancuran karena narkoba. Tentu rehabilitasi ini
membutuhkan tenaga, waktu, dan uang yang tidak sedikit. Henry Yosodiningrat,
Titik Qadarsih, atau Nyonya Ronny Patinasarani, yang anak-anaknya pernah
menjadi korban narkoba, bisa dijadikan sumber inspirasi bagi orang tua yang
anaknya kecanduan narkoba. Narkobanya harus dilawan, tapi korbannya perlu dan
harus diselamatkan.
Karena itu, dalam perang membentengi generasi
kita dari ancaman narkoba, institusi keluarga jelas punya peran lebih besar dan
menentukan. Kita jangan berharap dari negara atau pemerintah saja. Memang
kebanyakan korban narkoba berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Ini yang
sungguh mencemaskan. Padahal, kalau keluarga tidak harmonis, anak-anak lari ke
luar rumah dan narkoba menjadi pelarian, karena tidak ada cinta atau perhatian
di dalam rumah. Sayangnya, di luar rumah, ada orang yang menjadikan narkoba
sebagai bagian dari gaya hidup atau perilaku. Dalam perspektif psikologi behaviorism,
dengan tokohnya J.B Watson (1878-1958), dikenal stimulus-response theory.
Menurut Watson, setiap tingkah laku manusia pada hakikatnya merupakan tanggapan
atau balasan (response) terhadap rangsang (stimulus). Karena itu,
stimulus sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Bahkan setiap perilaku
manusia ditentukan dan diatur oleh rangsangan. Jadi, seseorang tidak akan
menjadi pecandu narkoba bila ada stimulus dari luar.
Maka, setiap orang tua punya tanggung jawab
menjaga kondisi harmonis dalam rumah, sehingga anak-anak tidak lari ke luar
rumah serta mencari narkoba. Sayangnya, keluarga yang menjadi benteng sekaligus
penyemai benih-benih moral dan budi pekerti ini tengah menghadapi ancaman luar
biasa. Bahkan ada yang menilai institusi keluarga sudah dianggap basi.
Perselingkuhan dan perceraian menjadi biasa, sehingga Indonesia termasuk negara
ketiga terbesar dalam hal perceraian.
Ada banyak ancaman yang punya andil dalam
memperlemah lembaga keluarga ini, seperti faktor ekonomi yang menyebabkan
keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak harus terpisah. Misalnya,
sekitar 6,5 juta buruh migran kita harus bekerja di luar negeri dan menyerahkan
anak-anak mereka di Tanah Air pada asuhan orang lain. Entah ada korelasinya
atau tidak, di daerah kantong-kantong TKI, seperti Tulungagung, Kediri, atau
Blitar, banyak terjadi kasus perceraian dan narkoba. Apakah pemerintah atau
negara pernah memikirkan bagaimana masa depan anak-anak buruh migran itu?
Bahkan mendiang Ibu Teresa, peraih Nobel
Perdamaian, pernah mengatakan, “Kita harus ingat bahwa cinta dimulai di rumah
atau dalam keluarga, dan kita harus ingat juga bahwa masa depan kemanusiaan
harus melalui keluarga.” Mudah-mudahan keberadaan Hari Keluarga Nasional
kembali bisa membuka mata kita akan pentingnya keluarga ini. Kita tahu banyak
hal dari keluarga. Jadi, mari kita selamatkan keluarga dari beragam bahaya,
termasuk narkoba dan ketiadaan cinta serta perhatian. Mari kita kembali ke
keluarga. Agama (apa pun) sudah mengajarkan, tidak ada institusi yang lebih
efektif untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan selain keluarga. Jadi, mari
selamatkan keluarga dari narkoba. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar