Rabu, 27 Juni 2012

Manajemen Nuklir Jepang


Manajemen Nuklir Jepang
Nanang Hermawan ;  Pengawas Radiasi Muda Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten)
Sumber :  REPUBLIKA, 26 Juni 2012


Jepang adalah negeri yang merasakan secara langsung dahsyatnya bom nuklir di akhir Perang Dunia II. Ribuan nyawa melayang, menderita luka, cacat seumur hidup, bahkan mungkin kelainan genetika yang dapat menurun kepada anak cucu. Hiroshima dan Nagasaki porak-poranda rata dengan tanah, dan meninggalkan kontaminasi zat radioaktif yang sangat berbahaya.

Jepang adalah negara yang mewarisi semangat para samurai dan ninja, maka Jepang langsung bangkit untuk kemudian menjadi negara yang paling maju di kawasan Asia. Kemajuan Jepang tidak bisa dilepaskan dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong sektor industri berkembang dengan sangat pesat. Industri Jepang yang tangguh didorong oleh ketersediaan dan kecukupan energi listrik.

Secara alamiah Jepang merupakan negara dengan keterbatasan sumber daya energi. Untuk mencukupi kebutuhan energi dalam negeri, awalnya Jepang mengandalkan impor minyak bumi dari Timur Tengah. Di samping itu, Jepang juga banyak mengimpor batu bara dan gas alam dari negara lain, seperti Australia dan Indonesia. Pada awal tahun 1970-an, komposisi penggunaan energi Jepang meliputi minyak bumi (60,8 per sen), batu bara (6,6 persen), gas alam (3,1 persen), dan sumber lain sekitar 29,4 persen (ANRE–METI, 2010).

Krisis minyak bumi yang menimpa dunia pada 1973 berdampak pada industri dan pertumbuhan ekonomi Jepang karena ketergantungan yang tinggi terhadap minyak bumi dari Timur Tengah.

Peristiwa ini menyadarkan Jepang untuk merumuskan kembali kebijakan energi nya dengan mengurangi ketergantungan impor sumber daya energi dari negara lain. Langkah yang ditempuh diantaranya peningkatan penggunaan gas alam dan kebijakan go nuclear. Pada 2008 komposisi bauran energi Jepang meliputi minyak bumi (19,5 persen), batu bara (15,7 persen), gas alam (25,1 persen), nuklir (20,1 persen), hidro/geothermal/energi terbarukan (8,9 persen), dan sumber lain (10,7 persen).

Kontribusi nuklir terhadap penyediaan listrik Jepang terus meningkat dari tahun ke tahun. Jepang bahkan menjadi negara terkemuka dalam penguasaan teknologi nuklir. Hingga awal 2011, Jepang mengoperasikan sebanyak 54 PLTN dengan kapasitas produksi energi listrik sebesar 47,5 GWe (30 persen). Kebijakan energi Jepang yang ditetapkan pada 2010 terus mendorong peningkatan kontribusi nuklir hingga mencapai 50 persen dari kebutuhan listrik di dalam negeri pada 2030.

Kejadian kecelakaan nuklir yang menimpa PLTN Fukushima Daiichi akibat terjangan gelombang tsunami pada 11 Maret 2011 merupakan tragedi kecelakaan nuklir terparah setelah Chernobyl pada 1986. Perisitiwa tersebut membangkitkan sentimen kelompok antinuklir di dalam negeri Jepang yang kemudian menuntut untuk dihentikannya semua program nuklir Jepang. Atas dorongan publik tersebut, dan rekomendasi dunia internasional (melalui International Atomic Energy Agency, IAEA), Jepang melakukan serangkaian kajian keselamatan terhadap semua struktur, sistem, dan komponen semua instalasi nuklir yang tengah beroperasi, dikenal sebagai stress test.

Pascakejadian kecelakaan Fukushima Daiichi secara bertahap PLTN yang beroperasi di-shut down untuk menjalani stress test. Hingga 5 Mei 2012, 54 PLTN yang dimiliki Jepang semuanya tidak beroperasi dan menjalani kajian mendalam terhadap sistem keselamatannya. Hal ini tentu saja menyebabkan terjadinya pengurangan pasokan listrik yang sangat signifikan. Kondisi ini mendorong dilakukannya langkah penghematan energi secara besar-besaran, bahkan pernah dilakukan pemadaman secara bergilir. Kebijakan energi yang baru tengah dirumuskan sebagai respons terhadap kejadian Fukushima Daiichi 2011. Program nuklir ke depan sangat rentan terhadap protes dari berbagai kelompok, maupun masyarakat secara umum.

Kelompok antinuklir mendorong aspirasi untuk mengurangi, bahkan menghentikan operasional dan pengembangan nuklir di masa depan. Namun demikian, Pemerintah Jepang tentu akan sangat berhati-hati dalam menetapkan kebijakan dengan berbagai pertimbangan, seperti ketersediaan pasokan listrik, dampak terhadap sektor industri, hingga pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas politik dalam negeri.

Apakah semua PLTN yang tidak beroperasi untuk menjalani stress test saat ini, akan seterusnya tidak dioperasikan kembali? Pemerintah Jepang menimbang bahwa kontribusi nuklir terhadap pasokan listrik dalam negeri tidak akan dengan mudah digantikan dengan sumber energi yang lain dalam waktu pendek. Bahkan, atas permintaan Pemerintah Perfecture Fukui di bagian barat laut Pulau Honsyu, Perdana Menteri Yoshihiko Noda telah memutuskan akan dioperasionalkannya kembali PLTN Oi Unit 3 dan 4 per 16 Juni 2012.

Dioperasikannya PLTN Oi Unit 3 dan 4 menunjukkan bahwa Jepang tidak akan bisa dengan mudah mengesampingkan kontribusi energi nuklir terhadap pasokan energi listriknya. Sangat mungkin dalam waktu dekat, PLTN-PLTN yang lain pun akan menyusul untuk dioperasikan kembali, tentu saja setelah dipastikan bahwa sistem keselamatannya berfungsi secara andal, bahkan di-upgrade untuk mengantisipasi segala potensi ancaman bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami yang sering terjadi di negeri Matahari Terbit tersebut. Kepercayaan publik terhadap keandalan penggunaan teknologi nuklir di Jepang merupakan tantangan bagi dunia industri nuklir dan para pemangku kepentingan terkait di negara tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar