Sabtu, 30 Juni 2012

Menuju Negara Moralitas


Menuju Negara Moralitas
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2012


NEGARA gagal? Pemimpin mana pun wajar bila merasa gusar karena negara yang dipimpinnya disebut berpotensi gagal. Sikap menghakimi itu datang seperti halilintar ketika Indonesia sedang banyak dipuji seiring kehadirannya dalam dua pertemuan penting di Amerika Latin, merembuk kelangsungan dan kualitas hidup umat manusia.
Indonesia tentu merasa terhormat masuk G-20, kelompok yang dianggap menguasai sebagian besar perekonomian dunia. Memang belum menjadi negara maju, tetapi bukan pula negara terbelakang; dan jauh dari gagal. Sikap hormat kepada Indonesia ditunjukkan dalam pertemuan-pertemuan di Meksiko maupun Brasil. Tentu itu berkat keberhasilan Indonesia, khususnya dalam menangani kestabilan ekonomi dan keamanannya. Kekesalan Presiden Yudhoyono tecermin dalam kata-kata, “Penilaian bahwa Indonesia negara gagal adalah berlebihan, dan penilaian yang berlebihan itu penilaian yang mempermainkan kebenaran. Mempermainkan kebenaran itu mempermainkan Tuhan.“ Indonesia telah mencapai banyak, sambungnya. Sementara Amerika dan Eropa dilanda krisis dan gelombang PHK, di Indonesia tidak ada PHK, sebaliknya lapangan kerja baru bertambah.

Pemeringkatan yang membuat kita kesal itu telah dilakukan `The Fund for Peace' (FFP), lembaga nonprofit berkedudukan di Washington DC, AS. Asal-muasalnya, menurut Wikipedia, tersebutlah John Parker Compton, orang muda yang pernah menulis esai tentang akibat-akibat perang dan perlunya peradaban manusia menemukan cara-cara lain untuk mengatasi konflik antarsesama. John Parker tewas dalam Perang Dunia II. Ayahnya, Randolph Compton, pada 1957 mendirikan FFP untuk mengenang putranya. Organisasi itu didasarkan pada cita-cita tentang keadilan, lingkungan, perdamaian, dan kependudukan.

Sekalipun didasari cita-cita luhur, sepanjang sejarahnya selama 55 tahun ini, banyak gagasan keluar-masuk organisasi yang tidak jarang menimbulkan kontroversi karena tarik ulur berbagai kepentingan oleh banyak pihak dari berbagai negara. Ini lazim terjadi pada setiap organisasi, lebih-lebih yang bersifat internasional. Karena itu, tidak mengherankan bila ada asumsi bahwa pemeringkatan Indonesia berpotensi gagal ada sangkut-pautnya dengan kepentingan bisnis negara lain.

Jangan Menjadi Negara Gagal

Pemeringkatan yang diadakan FFP bertujuan memberi peringatan awal dan memberi informasi tentang kemungkinan pecahnya konflik. Organisasi ini menjadi sasaran kritik antara lain karena sumbersumber informasinya diperoleh dari berbagai institusi dan data dari pihak ketiga; selain mengadakan kerja sama dengan kalangan bisnis swasta di banyak daerah konflik.

Tujuannya tentu demi keamanan situasi di wilayah yang bersangkutan, maupun keamanan penduduk dan kegiatan bisnisnya. Ada kecurigaan, letupan-letupan konflik di Papua akhir-akhir ini ada pengaruhnya terhadap pemeringkatan atas Indonesia yang terasa menyentak, walaupun situasi Indonesia tidak banyak beranjak dari pemeringkatan `negara yang harus waspada' seperti yang lalu nomor 63 (naik satu tingkat) dari 178 yang disurvei. Amerika dan sejumlah negara Amerika Latin tergolong `moderat'. Hanya beberapa yang masuk kelompok `berkelanjutan' (sustainable), di antaranya negaranegara Skandinavia.

Apakah asumsi-asumsi yang beredar bisa diterima atau tidak, tergantung dari mana kita melihatnya. Kata SBY, seperti gelas yang berisi setengah. Isi gelas bisa menjadi penuh, atau bisa susut menjadi kosong; tergantung siapa yang melihatnya. Tentu masyarakat Indonesia mengharapkan gelasnya berangsur penuh. Di lain pihak, kecemasan masih menghantui karena korupsi yang terus merajalela, hukum yang dipecundangi, dan segolongan politisi yang tidak peka akan situasi, yang oleh rakyat dianggap tidak fokus pada kepentingan mereka bersama. Letupan konflik di sana-sini tentu merusak jaminan rasa keamanan.

Perjuangan untuk Siapa?

Mengapa suatu bangsa memperjuangkan kemerdekaannya? Karena dia ingin rakyatnya terlepas dari penderitaan. Ungkapan itu pernah diucapkan Letjen (purn) Kharis Suhud hampir seperempat abad yang lalu ketika beliau menjabat Ketua DPR RI. Isi ungkapan itu yang seharusnya terus kita perjuangkan sesuai negara `moralitas'--istilah Pak Suhud--seperti tecermin dalam falsafah negara yang terinci dalam UUD'45.

Tidak mudah membayangkan, apalagi menghayati, bagaimana kehidupan dan penghidupan kita sebelum kemerdekaan. GNP per kapita semula sekitar US$60-US$70. Jumlah itu meningkat 10-11 kali lipat menjelang akhir Orde Baru, dan meningkat lagi lebih dari 5 kali dalam masa reformasi sejauh ini. Untuk peningkatan kemajuan lebih lanjut. Bila dulu sekolah menengah boleh dikatakan tertutup bagi orang kebanyakan, sekarang siapa pun bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Kesempatan terbuka bagi siapa saja yang mau berusaha.

Dengan suasana dan semangat yang ada sekarang, seharusnya kita tidak menuju negara gagal. Arah yang kita tuju sudah benar. Seorang profesor dari Harvard pernah mengatakan Indonesia tidak mempunyai alasan untuk tidak menjadi negara industri baru seperti Taiwan atau Korea Selatan. Menurut ceritanya, sebelum Park Chung-hee (1917-1979), Korea Selatan dalam keadaan porak-poranda dan rakyatnya terkenal malas. Tetapi selama hampir dua dasawarsa di bawah kepemimpinan Park yang otoriter, tetapi bersih tanpa vested interest, negara itu menjalani modernisasi menjadi seperti yang kita kenal. Tahun 1999, majalah Time menggolongkan Park dalam `100 Asians of the Century'.

Tentu masih banyak PR yang harus kita selesaikan. Sementara itu, tanpa ada perubahan sistem dan kebiasaan buruk yang ada sekarang, apakah salah besar bila orang luar membuat asumsi yang mengesalkan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar