Menuju
Negara Moralitas
Toeti
Prahas Adhitama ; Anggota
Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 29 Juni 2012
NEGARA
gagal? Pemimpin mana pun wajar bila merasa gusar karena negara yang dipimpinnya
disebut berpotensi gagal. Sikap menghakimi itu datang seperti halilintar ketika
Indonesia sedang banyak dipuji seiring kehadirannya dalam dua pertemuan penting
di Amerika Latin, merembuk kelangsungan dan kualitas hidup umat manusia.
Indonesia
tentu merasa terhormat masuk G-20, kelompok yang dianggap menguasai sebagian
besar perekonomian dunia. Memang belum menjadi negara maju, tetapi bukan pula
negara terbelakang; dan jauh dari gagal. Sikap hormat kepada Indonesia
ditunjukkan dalam pertemuan-pertemuan di Meksiko maupun Brasil. Tentu itu
berkat keberhasilan Indonesia, khususnya dalam menangani kestabilan ekonomi dan
keamanannya. Kekesalan Presiden Yudhoyono tecermin dalam kata-kata, “Penilaian bahwa Indonesia negara gagal
adalah berlebihan, dan penilaian yang berlebihan itu penilaian yang
mempermainkan kebenaran. Mempermainkan kebenaran itu mempermainkan Tuhan.“
Indonesia telah mencapai banyak, sambungnya. Sementara Amerika dan Eropa
dilanda krisis dan gelombang PHK, di Indonesia tidak ada PHK, sebaliknya
lapangan kerja baru bertambah.
Pemeringkatan
yang membuat kita kesal itu telah dilakukan `The Fund for Peace' (FFP), lembaga nonprofit berkedudukan di
Washington DC, AS. Asal-muasalnya, menurut Wikipedia, tersebutlah John Parker
Compton, orang muda yang pernah menulis esai tentang akibat-akibat perang dan
perlunya peradaban manusia menemukan cara-cara lain untuk mengatasi konflik
antarsesama. John Parker tewas dalam Perang Dunia II. Ayahnya, Randolph
Compton, pada 1957 mendirikan FFP untuk mengenang putranya. Organisasi itu
didasarkan pada cita-cita tentang keadilan, lingkungan, perdamaian, dan
kependudukan.
Sekalipun
didasari cita-cita luhur, sepanjang sejarahnya selama 55 tahun ini, banyak
gagasan keluar-masuk organisasi yang tidak jarang menimbulkan kontroversi
karena tarik ulur berbagai kepentingan oleh banyak pihak dari berbagai negara.
Ini lazim terjadi pada setiap organisasi, lebih-lebih yang bersifat
internasional. Karena itu, tidak mengherankan bila ada asumsi bahwa
pemeringkatan Indonesia berpotensi gagal ada sangkut-pautnya dengan kepentingan
bisnis negara lain.
Jangan Menjadi Negara Gagal
Pemeringkatan
yang diadakan FFP bertujuan memberi peringatan awal dan memberi informasi
tentang kemungkinan pecahnya konflik. Organisasi ini menjadi sasaran kritik
antara lain karena sumbersumber informasinya diperoleh dari berbagai institusi
dan data dari pihak ketiga; selain mengadakan kerja sama dengan kalangan bisnis
swasta di banyak daerah konflik.
Tujuannya
tentu demi keamanan situasi di wilayah yang bersangkutan, maupun keamanan
penduduk dan kegiatan bisnisnya. Ada kecurigaan, letupan-letupan konflik di
Papua akhir-akhir ini ada pengaruhnya terhadap pemeringkatan atas Indonesia
yang terasa menyentak, walaupun situasi Indonesia tidak banyak beranjak dari
pemeringkatan `negara yang harus waspada' seperti yang lalu nomor 63 (naik satu
tingkat) dari 178 yang disurvei. Amerika dan sejumlah negara Amerika Latin
tergolong `moderat'. Hanya beberapa yang masuk kelompok `berkelanjutan' (sustainable), di antaranya negaranegara
Skandinavia.
Apakah
asumsi-asumsi yang beredar bisa diterima atau tidak, tergantung dari mana kita
melihatnya. Kata SBY, seperti gelas yang berisi setengah. Isi gelas bisa
menjadi penuh, atau bisa susut menjadi kosong; tergantung siapa yang
melihatnya. Tentu masyarakat Indonesia mengharapkan gelasnya berangsur penuh.
Di lain pihak, kecemasan masih menghantui karena korupsi yang terus merajalela,
hukum yang dipecundangi, dan segolongan politisi yang tidak peka akan situasi,
yang oleh rakyat dianggap tidak fokus pada kepentingan mereka bersama. Letupan
konflik di sana-sini tentu merusak jaminan rasa keamanan.
Perjuangan untuk Siapa?
Mengapa
suatu bangsa memperjuangkan kemerdekaannya? Karena dia ingin rakyatnya terlepas
dari penderitaan. Ungkapan itu pernah diucapkan Letjen (purn) Kharis Suhud
hampir seperempat abad yang lalu ketika beliau menjabat Ketua DPR RI. Isi
ungkapan itu yang seharusnya terus kita perjuangkan sesuai negara
`moralitas'--istilah Pak Suhud--seperti tecermin dalam falsafah negara yang
terinci dalam UUD'45.
Tidak
mudah membayangkan, apalagi menghayati, bagaimana kehidupan dan penghidupan
kita sebelum kemerdekaan. GNP per kapita semula sekitar US$60-US$70. Jumlah itu
meningkat 10-11 kali lipat menjelang akhir Orde Baru, dan meningkat lagi lebih
dari 5 kali dalam masa reformasi sejauh ini. Untuk peningkatan kemajuan lebih
lanjut. Bila dulu sekolah menengah boleh dikatakan tertutup bagi orang
kebanyakan, sekarang siapa pun bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Kesempatan
terbuka bagi siapa saja yang mau berusaha.
Dengan
suasana dan semangat yang ada sekarang, seharusnya kita tidak menuju negara
gagal. Arah yang kita tuju sudah benar. Seorang profesor dari Harvard pernah
mengatakan Indonesia tidak mempunyai alasan untuk tidak menjadi negara industri
baru seperti Taiwan atau Korea Selatan. Menurut ceritanya, sebelum Park Chung-hee
(1917-1979), Korea Selatan dalam keadaan porak-poranda dan rakyatnya terkenal
malas. Tetapi selama hampir dua dasawarsa di bawah kepemimpinan Park yang
otoriter, tetapi bersih tanpa vested
interest, negara itu menjalani modernisasi menjadi seperti yang kita kenal.
Tahun 1999, majalah Time menggolongkan Park dalam `100 Asians of the Century'.
Tentu
masih banyak PR yang harus kita selesaikan. Sementara itu, tanpa ada perubahan
sistem dan kebiasaan buruk yang ada sekarang, apakah salah besar bila orang
luar membuat asumsi yang mengesalkan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar