Ulang
Tahun Minus Jakarta
Siti
Maemunah ; Koordinator Forum
Masyarakat Sipil Indonesia
untuk Keadilan Iklim (CSF)
Sumber :
KOMPAS, 28 Juni 2012
Provinsi DKI Jakarta akan memilih pemimpin
bulan depan. Ibu kota negara, pusat kekuasaan dengan anggaran pemerintah daerah
lebih dari Rp 36 triliun, ini bak gula penarik semut.
Setengah lusin calon pasangan kini
memperebutkan kursi gubernur dan wakilnya. Sayang belum ada satu pun yang
mengangkat, apalagi punya skenario menghadapi kolapsnya daya dukung lingkungan
Jakarta yang kini berulang tahun ke-485.
Pembangunan yang melayani kepentingan pemodal
telah membuat Jakarta menjadi kota yang tak ramah bagi penduduknya. Banjir lima
tahunan kini menjadi banjir tahunan. Krisis air bersih, macet, dan pencemaran
makin memburuk. Inilah tanda-tanda runtuhnya daya dukung lingkungan Jakarta.
Bencana yang rutin datang setiap tahun
ditangani sekadarnya, seolah masalah baru, dan ujung- ujungnya warga yang
menanggung kerugian terbesar. Padahal, banyaknya banjir seiring dengan turunnya
luasan ruang terbuka hijau (RTH). Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang menetapkan RTH 20-30 persen. Kini tersisa 9,8 persen.
Pada masa Gubernur Ali Sadikin, luas RTH
sesuai dengan Master Plan Djakarta 1965-1985 masih sangat ideal, 37,2 persen.
Masa gubernur berikutnya turun menjadi 26,1 persen menurut Rencana Umum Tata
Ruang Jakarta (1985-2005). Dua pertiga kawasan lindung Pantai Kapuk
direklamasi. Pada masa Sutiyoso dan Fauzi Bowo jumlah ini turun drastis menjadi
13,10 persen dan tahun lalu tinggal 9,8 persen.
Kawasan Resapan
RTH adalah kawasan resapan air hujan. Bersama
mengerutnya RTH, air hujan 2 miliar meter kubik per tahun hanya diresap
sepertiganya. Air resapan ini menjadi air bawah tanah. Sisanya menjadi air
permukaan (run off) yang mengalir
melalui sungai, parit, dan meluap menjadi banjir. Aliran air ini harus
berkompetisi dengan 845 ton sampah setiap hari atau 13 persen sampah warga yang
tak tertampung di tempat pembuangan akhir. Banjir pun jadi siklus tahunan.
Banjir makin memburuk karena 266 situ di
sekitar Jabotabek tak mampu menampung aliran permukaan. Sebagian besar situ
dalam kondisi rusak, sebagian kecil sedang direhab, dan beberapa berubah
menjadi perumahan. Yang baik tinggal 12,4 persen.
Sepertiga air hujan meresap menjadi air
tanah. Namun, sebagian warga harus menggali sumur hingga 40-100 meter. Jika
jumlah penduduk 10 juta jiwa dan 46 persen mengambil air tanah, Jakarta sudah
minus air tanah 66 juta meter kubik. Mereka yang miskin dan tak mampu membeli
air bersih, silakan mengonsumsi air tak sehat.
Pada peringatan ulang tahun ke-485, daya
dukung lingkungan kota Jakarta terus memburuk. RTH minus 70 persen lebih,
demikian pula air bawah tanah dan pengurusan sampah. Namun, pertumbuhan ekonomi
Jakarta justru naik dari 6,44 persen menjadi 6,77 persen dalam lima tahun
terakhir. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga meningkat hingga
Rp 15,6 triliun.
Salah Ukur
Menurut Kunda Dixit (1997), pertumbuhan
ekonomi hanya mengukur kesejahteraan dari sekelompok orang yang makmur di
sebuah negeri. Inilah muasal pertumbuhan ekonomi: tak menjamin perbaikan
kualitas lingkungan hidup.
Sujarwoko (2010) menyimpulkan, dari sepuluh
jenis pajak yang dipungut Provinsi DKI Jakarta, penerimaan bea balik nama dan
pajak kendaraan bermotor menyumbang penerimaan terbesar APBD Jakarta. Sepanjang
2004- 2009 rata-rata kontribusi keduanya 54,63 persen. Artinya, kendaraan
bermotor yang jadi penyebab utama kemacetan, memboroskan BBM, dan bikin polusi
udara Jakarta justru jadi sumber kenaikan APBD.
Lagi-lagi warga yang menanggung kerugian
terbesar. Polda Metro Jaya menyebut angka kecelakaan di jalan mencapai 16.013
kejadian, dengan korban meninggal 2.025 jiwa dalam dua tahun terakhir. Belum
lagi pencemaran udara yang berkontribusi terhadap tingginya angka kematian bayi
prematur, penyakit asma, bronkitis, juga penyakit lain, yang akhirnya
mengakibatkan biaya kesehatan warga tinggi. Jakarta bahkan dinobatkan sebagai
salah satu kota tercemar di dunia dan paling tidak efisien se-Asia.
Angka pertumbuhan Jakarta sebenarnya minus
setelah dikurangi merosotnya daya dukung lingkungan, bersama ongkos- ongkos
yang harus ditanggung warganya. Celakanya, justru model pembangunan kota yang
melayani pemodal inilah yang dicontoh kota-kota besar lain di Indonesia.
Masalah utama Jakarta tak mungkin dijawab
jika para calon pemimpin Jakarta yang maju dalam pilkada bulan depan tak berani
mengubah arah pembangunan kota saat ini menjadi Jakarta yang ramah dan melayani
rakyat kebanyakan.
Selamat
ulang tahun Jakarta! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar