Bahaya
Politik Santun
Donny
Gahral Adian ; Dosen
Filsafat Politik Universitas Indonesia
Sumber :
KOMPAS, 26 Juni 2012
Belakangan, perkelahian politik dirasakan
sudah berlebihan. SBY kembali mengingatkan kadernya untuk berpolitik secara
santun. Kesantunan, bagi SBY, adalah kode baru interaksi politik guna
membuatnya lebih beradab.
Politik pun direduksi menjadi tata krama
seperti saat kita duduk bareng di meja makan. Persoalannya, kesantunan sering
dipakai untuk menyembunyikan kebohongan. Kesantunan adalah halaman depan yang
membuat rusaknya rumah moral menjadi tak kentara. Politik santun sejatinya
adalah modus operandi yang berbahaya. Puluhan tahun kita sudah disandera oleh
kesantunan para politisi Orde Baru. Sejarah tidak boleh berulang.
Otoritarianisme
Kita sering menganggap otoritarianisme
sebagai sesuatu yang bengis dan trengginas. Filsuf Machiavelli berbicara soal
virtu sebagai karakter yang wajib dimiliki pemimpin otoriter. Virtu adalah
sederet karakter pribadi yang diperlukan pemimpin untuk mempertahankan
kekuasaan.
Demi kekuasaan, pemimpin harus mampu
bertindak sesuai situasi. Dalam situasi bahaya (fortuna), pemimpin harus
bertindak trengginas. Ketika situasi teratasi, pemimpin kembali bersikap etis,
mengambil hati rakyat yang tercederai.
Bertolak dari Machiavelli, kesantunan dapat
dibaca sebagai indikasi dosa-dosa politik. Semakin santun seorang pemimpin
semakin banyak dosa politik yang ingin disembunyikan. Kesantunan ibarat topeng
moral yang menyembunyikan anti-moral. Semakin tebal topeng kesantunan semakin
tinggi kecurigaan kita. Kesantunan ibarat purgatori yang diniatkan untuk
membasuh dosa-dosa politik. Kesantunan tidak sekadar membersihkan masa lalu,
tetapi sekaligus mengamankan masa depan. Ketika dosa politik kembali dilakukan,
maka itu segera dinetralkan oleh ingatan kolektif tentang kesantunan sang
pendosa. Ini mengapa kita sering mendengar seorang berkata, ”Dia memang
bermasalah, tetapi orangnya santun.”
Kesantunan adalah ukuran politik yang
berbahaya. Kesantunan dapat menyembunyikan semacam otoritarianisme baru yang
halus dan hegemonik. Pemimpin otoriter dapat mengaburkan otoritarianismenya
dengan kesantunan sehingga rakyat pun menjadi bimbang untuk segera memberikan
penilaian. Kelas menengah yang tercerahkan mungkin tetap kritis. Namun,
sebagian besar rakyat kita mudah sekali tersihir oleh politik santun yang
meninabobokan. Politik santun ibarat opium hingga rakyat tak melihat realitas.
Sejujurnya, realitas politik republik ini
sangat muram. Sederet dosa politik merentang sejak naiknya rezim SBY. Pertama,
dosa politik membiarkan dana APBN dipakai menalangi kerugian akibat Lapindo.
Kedua, dosa politik tidak segera melaksanakan amanat UU SJSN (Sistem Jaminan
Sosial Nasional). Ketiga, dosa politik memberikan talangan kepada Bank Century.
Keempat, dosa politik menaikkan harga BBM. Terakhir, dosa politik memberikan
grasi kepada ratu narkoba asal Australia. Semua itu adalah realitas politik
yang ingin ditutupi dengan kesantunan. Kesantunan terus-menerus dipompa ke
ruang publik, sementara hak-hak demokratis rakyat secara konsisten dicederai.
Virus
Politik santun yang dipelopori SBY menyebar
bak virus ke hampir semua pemimpin republik. Semua sibuk mematut diri di depan
cermin guna menyedot dukungan publik. Kebijakan pun kehilangan substansi. Pengambil
kebijakan sibuk memoles diri sehingga kebijakan yang keliru tidak teraba
rakyat. Semua berlomba menjadi satu napas dengan rakyatnya. Ada wali kota yang
naik motor ke kantor. Ada pula menteri yang beralih profesi menjadi penjaga
pintu tol. Ruang publik kita pun berubah menjadi galeri kesantunan.
Akibatnya, demokrasi pun direduksi menjadi
”tontonan kepribadian”. Konsultan politik menjadi insinyur-insinyur kepribadian
yang militan. Kebijakan memang tetap menjadi tolok ukur. Namun, rakyat lebih
ingat kesantunan ketimbang kebijakan. Ini menjadi peluang bisnis bagi lembaga
survei. Modusnya sederhana. Pertama survei obyektif untuk mendapat data akurat
tentang popularitas dan elektabilitas. Data tersebut biasanya rendah. Kemudian,
lembaga menawarkan rekayasa total untuk menaikkan popularitas dan
elektabilitasnya. Dia adalah fungsi dari rekayasa kepribadian.
Pemimpin dan kebijakannya ibarat tanah liat
yang bisa dibentuk sekehendak hati. Substansi kehilangan makna dalam atmosfer
politik sedemikian. Kita tidak lagi mempersoalkan apakah sebuah kebijakan
bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Kita mempersoalkan gaya berpakaian,
rambut dan tata krama para politisi. Akibatnya, seorang pemimpin bisa saja
menyelenggarakan republik secara inkonstitusional, tetapi tetap mendapat tempat
di hati rakyat.
Sama Wajah
Kesantunan meratakan demarkasi ideologis
antar-pemimpin republik. Semua berpenampilan sama sebagai yang etis, ideal, dan
berintegritas. Kita gagal membedakan mana pemimpin yang menyelenggarakan
republik berdasar konstitusi dan mana yang menggotong ideologi lain. Pemimpin
yang memberi izin pendirian mal satu wajah dengan dia yang melindungi pasar
tradisional. Pemimpin yang menyubsidi bankir jahat sama dengan dia yang
menaikkan subsidi pertanian.
Kondisi di atas membuat demokrasi ibarat
etalase politik yang membuat pilihan menjadi tidak bermakna. Ini persis seperti
ketika kita berbelanja di supermarket dan memilih barang. Kita dipaksa membeli
tampilan, bukan substansi. Kerja politik dan rekam jejak terabaikan. Kita
kembali terjebak kesalahan lama: memilih orang seperti barang. Memilih atribut
kepribadian ketimbang basis ideologis dan kerja politik.
Saatnya politik kesantunan dibuang jauh-jauh
dari indikator calon pemimpin republik. Kita tidak membutuhkan pemimpin santun,
tetapi dia yang berani menjalankan konstitusi secara murni dan konsisten.
Berani menjalankan konstitusi saat kontrak karya dengan perusahaan
multinasional merugikan republik. Kesantunan justru membuat kita menjadi apa
yang dikatakan Nietzsche, budak yang memuliakan kesengsaraan.
Indikator politik bagi saya adalah keberanian
konstitusional. Berani merenegosiasi kontrak karya. Berani menyeret pelanggar
HAM. Berani menjalankan SJSN. Berani menyelesaikan persoalan perbatasan dengan
negara tetangga. Dengan demikian, semoga
kita mendapat pemimpin yang tidak santun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar