Rabu, 27 Juni 2012

Bahaya Politik Santun


Bahaya Politik Santun
Donny Gahral Adian ;  Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia 
Sumber :  KOMPAS, 26 Juni 2012


Belakangan, perkelahian politik dirasakan sudah berlebihan. SBY kembali mengingatkan kadernya untuk berpolitik secara santun. Kesantunan, bagi SBY, adalah kode baru interaksi politik guna membuatnya lebih beradab.

Politik pun direduksi menjadi tata krama seperti saat kita duduk bareng di meja makan. Persoalannya, kesantunan sering dipakai untuk menyembunyikan kebohongan. Kesantunan adalah halaman depan yang membuat rusaknya rumah moral menjadi tak kentara. Politik santun sejatinya adalah modus operandi yang berbahaya. Puluhan tahun kita sudah disandera oleh kesantunan para politisi Orde Baru. Sejarah tidak boleh berulang.

Otoritarianisme

Kita sering menganggap otoritarianisme sebagai sesuatu yang bengis dan trengginas. Filsuf Machiavelli berbicara soal virtu sebagai karakter yang wajib dimiliki pemimpin otoriter. Virtu adalah sederet karakter pribadi yang diperlukan pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan.

Demi kekuasaan, pemimpin harus mampu bertindak sesuai situasi. Dalam situasi bahaya (fortuna), pemimpin harus bertindak trengginas. Ketika situasi teratasi, pemimpin kembali bersikap etis, mengambil hati rakyat yang tercederai.

Bertolak dari Machiavelli, kesantunan dapat dibaca sebagai indikasi dosa-dosa politik. Semakin santun seorang pemimpin semakin banyak dosa politik yang ingin disembunyikan. Kesantunan ibarat topeng moral yang menyembunyikan anti-moral. Semakin tebal topeng kesantunan semakin tinggi kecurigaan kita. Kesantunan ibarat purgatori yang diniatkan untuk membasuh dosa-dosa politik. Kesantunan tidak sekadar membersihkan masa lalu, tetapi sekaligus mengamankan masa depan. Ketika dosa politik kembali dilakukan, maka itu segera dinetralkan oleh ingatan kolektif tentang kesantunan sang pendosa. Ini mengapa kita sering mendengar seorang berkata, ”Dia memang bermasalah, tetapi orangnya santun.”

Kesantunan adalah ukuran politik yang berbahaya. Kesantunan dapat menyembunyikan semacam otoritarianisme baru yang halus dan hegemonik. Pemimpin otoriter dapat mengaburkan otoritarianismenya dengan kesantunan sehingga rakyat pun menjadi bimbang untuk segera memberikan penilaian. Kelas menengah yang tercerahkan mungkin tetap kritis. Namun, sebagian besar rakyat kita mudah sekali tersihir oleh politik santun yang meninabobokan. Politik santun ibarat opium hingga rakyat tak melihat realitas.

Sejujurnya, realitas politik republik ini sangat muram. Sederet dosa politik merentang sejak naiknya rezim SBY. Pertama, dosa politik membiarkan dana APBN dipakai menalangi kerugian akibat Lapindo. Kedua, dosa politik tidak segera melaksanakan amanat UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Ketiga, dosa politik memberikan talangan kepada Bank Century. Keempat, dosa politik menaikkan harga BBM. Terakhir, dosa politik memberikan grasi kepada ratu narkoba asal Australia. Semua itu adalah realitas politik yang ingin ditutupi dengan kesantunan. Kesantunan terus-menerus dipompa ke ruang publik, sementara hak-hak demokratis rakyat secara konsisten dicederai.

Virus

Politik santun yang dipelopori SBY menyebar bak virus ke hampir semua pemimpin republik. Semua sibuk mematut diri di depan cermin guna menyedot dukungan publik. Kebijakan pun kehilangan substansi. Pengambil kebijakan sibuk memoles diri sehingga kebijakan yang keliru tidak teraba rakyat. Semua berlomba menjadi satu napas dengan rakyatnya. Ada wali kota yang naik motor ke kantor. Ada pula menteri yang beralih profesi menjadi penjaga pintu tol. Ruang publik kita pun berubah menjadi galeri kesantunan.

Akibatnya, demokrasi pun direduksi menjadi ”tontonan kepribadian”. Konsultan politik menjadi insinyur-insinyur kepribadian yang militan. Kebijakan memang tetap menjadi tolok ukur. Namun, rakyat lebih ingat kesantunan ketimbang kebijakan. Ini menjadi peluang bisnis bagi lembaga survei. Modusnya sederhana. Pertama survei obyektif untuk mendapat data akurat tentang popularitas dan elektabilitas. Data tersebut biasanya rendah. Kemudian, lembaga menawarkan rekayasa total untuk menaikkan popularitas dan elektabilitasnya. Dia adalah fungsi dari rekayasa kepribadian.

Pemimpin dan kebijakannya ibarat tanah liat yang bisa dibentuk sekehendak hati. Substansi kehilangan makna dalam atmosfer politik sedemikian. Kita tidak lagi mempersoalkan apakah sebuah kebijakan bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Kita mempersoalkan gaya berpakaian, rambut dan tata krama para politisi. Akibatnya, seorang pemimpin bisa saja menyelenggarakan republik secara inkonstitusional, tetapi tetap mendapat tempat di hati rakyat.

Sama Wajah

Kesantunan meratakan demarkasi ideologis antar-pemimpin republik. Semua berpenampilan sama sebagai yang etis, ideal, dan berintegritas. Kita gagal membedakan mana pemimpin yang menyelenggarakan republik berdasar konstitusi dan mana yang menggotong ideologi lain. Pemimpin yang memberi izin pendirian mal satu wajah dengan dia yang melindungi pasar tradisional. Pemimpin yang menyubsidi bankir jahat sama dengan dia yang menaikkan subsidi pertanian.

Kondisi di atas membuat demokrasi ibarat etalase politik yang membuat pilihan menjadi tidak bermakna. Ini persis seperti ketika kita berbelanja di supermarket dan memilih barang. Kita dipaksa membeli tampilan, bukan substansi. Kerja politik dan rekam jejak terabaikan. Kita kembali terjebak kesalahan lama: memilih orang seperti barang. Memilih atribut kepribadian ketimbang basis ideologis dan kerja politik.

Saatnya politik kesantunan dibuang jauh-jauh dari indikator calon pemimpin republik. Kita tidak membutuhkan pemimpin santun, tetapi dia yang berani menjalankan konstitusi secara murni dan konsisten. Berani menjalankan konstitusi saat kontrak karya dengan perusahaan multinasional merugikan republik. Kesantunan justru membuat kita menjadi apa yang dikatakan Nietzsche, budak yang memuliakan kesengsaraan.

Indikator politik bagi saya adalah keberanian konstitusional. Berani merenegosiasi kontrak karya. Berani menyeret pelanggar HAM. Berani menjalankan SJSN. Berani menyelesaikan persoalan perbatasan dengan negara tetangga. Dengan demikian, semoga kita mendapat pemimpin yang tidak santun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar