Kamis, 28 Juni 2012

Simfoni Bisu Partai Demokrat

Simfoni Bisu Partai Demokrat
Syamsuddin Haris ; Profesor Riset LIPI
Sumber :  KOMPAS, 28 Juni 2012


Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyinyalir kinerja pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah satu faktor merosotnya elektabilitas partainya (Kompas, 19/6/2012). Pernyataan ini membenarkan dugaan adanya konflik antara Anas dan SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Mengapa konflik tidak dikelola secara internal?

Barangkali itulah fenomena simfoni bisu partai pemenang Pemilu 2009 ini, yakni kecenderungan segenap petinggi partai, termasuk SBY dan Anas, menyelesaikan persoalan mereka secara publik. Melalui berbagai media, SBY mendesak kader bermasalah yang tidak lagi santun, cerdas, dan bersih untuk segera keluar dari partai.
Menggunakan forum yang sama, Anas memastikan, permintaan SBY tidak spesifik ditujukan kepada dirinya. Anas malah menegaskan bahwa semua pernyataan SBY sebagai ”penting semua dan benar semua” dan bahkan harus menjadi panduan bagi para kader Demokrat.

Sangat disayangkan bahwa parpol sebesar Demokrat yang berhasil mengantar SBY menjadi presiden untuk kedua kalinya terperangkap ke dalam simfoni bisu semacam itu. Ketika parpol lain sibuk bersolek dan menata diri menuju Pemilu 2014, para petinggi Demokrat masih gagal menyamakan persepsi terkait badai internal yang melanda partai. Alih-alih introspeksi dan berkaca diri, sebagian petinggi Demokrat justru mencari-cari ”kambing hitam” di luar partai, seolah-olah ada ”setan gundul” yang menghendaki hancurnya partai segitiga biru itu.

Potret Buram

Pernyataan keras Anas yang dikutip di atas merefleksikan kekecewaannya terhadap tuduhan, seolah-olah badai internal Demokrat bersumber dari dirinya selaku ketua umum. Anas menolak dijadikan ”kambing hitam” di balik merosotnya elektabilitas partainya meski M Nazaruddin, mantan bendahara umum dan terdakwa korupsi pembangunan wisma atlet, selalu menyebut keterlibatannya dalam beberapa perkara korupsi. Bagi Anas, popularitas Demokrat yang merosot turut ditentukan oleh kinerja Presiden SBY sehingga perbaikan kinerja pemerintah dengan sendirinya akan mendongkrak kembali elektabilitas partai.

Mengapa semua itu tidak diperdebatkan para petinggi Demokrat secara internal? Beberapa faktor berikut sangat mungkin melatarinya. Pertama, sebagai parpol relatif baru yang tiba-tiba memenangi pemilu dan berkuasa, jajaran petinggi Demokrat alpa melembagakan energi partai secara organisasi sehingga tatkala partai dihadapkan pada konflik internal, tidak tersedia mekanisme pengelolaan konflik yang baku. Karena itu, ketika SBY hendak melengserkan Anas, mantan bawahan Presiden Megawati ini menggunakan tangan forum komunikasi pendiri dan deklarator Demokrat.

Kedua, kemelut Demokrat adalah potret buram tentang sebuah parpol yang telanjur tergantung pada seorang figur sentral belaka, yakni Presiden SBY. Perlawanan terselubung Anas terhadap SBY sebenarnya bisa dibaca sebagai cara mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam itu mengubah kultur tidak sehat yang tumbuh subur di dalam partai yang dipimpinnya. Namun, tampaknya upaya Anas tersebut sulit untuk berhasil jika tidak memperoleh ”restu” dari SBY. Alih-alih memperoleh restu, sebagian pendukung Anas dalam jajaran pimpinan fraksi dan komisi di DPR telah diganti dengan para loyalis SBY.

Ketiga, sulit dimungkiri, Presiden SBY memiliki gengsi politik yang tinggi. Tidak mengherankan jika jenderal purnawirawan TNI lulusan Akabri 1973 ini lebih suka berbicara melalui media ketimbang bertemu dan berdialog langsung dengan Anas Urbaningrum selaku ketua umum. Bagi SBY, Anas bukanlah siapa-siapa sebelum ”diundang” masuk ke Demokrat, menjadi anggota DPR dan ketua fraksi, dan akhirnya terpilih sebagai ketua umum dalam Kongres Bandung.

Oleh karena itu, di mata sang figur sentral, Anas semestinya ”tahu diri” dan menangkap bahasa isyarat yang kerap digunakan SBY agar mantan anggota Komisi Pemilihan Umum ini secara kesatria dan sukarela mundur dari jabatannya.

Problem Kepemimpinan

Di luar persoalan di atas, realitas Demokrat merefleksikan relatif belum berubahnya tipologi kepemimpinan sebagian partai politik di Indonesia, yakni kepemimpinan personal yang cenderung berjarak dengan jajaran pengurus dan kader partai. Bagi jajaran pengurus dan kader Demokrat, SBY adalah personifikasi partai yang sesungguhnya. Beberapa waktu lalu, perang pernyataan antara anggota Dewan Pembina dan jajaran pengurus Demokrat lain terkait dugaan keterlibatan Anas Urbaningrum dalam perkara korupsi wisma atlet baru berhenti setelah SBY bicara.

Problem krusial lain adalah jarak generasi antara jajaran Dewan Pembina yang dipimpin SBY dan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) yang dipimpin Anas. Hampir 90 persen dari 31 orang anggota Dewan Pembina berusia di atas 55 tahun, sedangkan sebagian besar dari 134 orang pengurus DPP berumur kurang dari 50 tahun. Kesenjangan generasi berimplikasi pada perbedaan dalam cara mengelola partai serta juga merespons berbagai isu politik dan hukum yang terkait SBY dan Demokrat.

Oleh karena itu, jika segenap jajaran Demokrat benar-benar hendak menyelamatkan partai, pertama, perlu langkah-langkah yang bersifat ekstra-organisasi untuk menghentikan ”perang dingin” antara SBY dan Anas. Inisiatif itu harus datang dari SBY selaku Ketua Dewan Pembina sekaligus figur sentral partai. Kedua, pilihan yang lebih menentukan untuk memulihkan kepercayaan publik kepada Demokrat adalah memaksimalkan kinerja pemerintahan SBY. Biarlah hukum yang memastikan, siapa yang tidak bersih dan siapa pula yang berdusta dalam berbagai skandal korupsi yang diduga melibatkan kader lain di luar Nazaruddin dan Angelina Sondakh.

Kalau tidak, energi partai yang terperangkap konflik internal hanya akan menjadi simfoni bisu tanpa jalan keluar. Pernyataan apa pun dari petinggi partai akan menjadi santapan empuk media yang berburu peringkat (rating), tentu dengan risiko, popularitas Demokrat terus meluncur ke titik nadir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar