Selasa, 26 Juni 2012

Kemenangan Menuntut Pemeliharaan

Kemenangan Menuntut Pemeliharaan
Connie Rahakundini Bakrie ;  Analis Pertahanan, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan dan Keamanan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 25 Juni 2012


KEMAMPUAN dan ketangguhan dalam membina, mengembangkan, dan mempertahankan kehidupan politik dari sebuah negara kerap diartikan para ahli sebagai wujud kekuatan negara. Sementara itu, kekuatan negara pada dasarnya dipengaruhi kekuatan militer. Dengan demikian, efektivitas kekuatan militer menjadi persoalan yang penting dalam membangun kekuatan negara.

Jadi, kekuatan militer akan memperkuat kekuasaan negara, baik secara internal-dalam rangka ‘menertibkan’ perilaku warga negara--maupun secara eksternal--untuk tujuan ‘penaklukan’ sumber daya ekonomi-guna membangun kekuatan negara bagi kesejahteraan penduduk mereka (Paul Strathern: 2001).

Allan R Millett, Williamson Murray, dan Kenneth H Watman dalam The Effectiveness of Military Organizations menyampaikan salah satu efektivitas kekuatan militer ialah kekuatan tempur maksimal (maximum combat power) dengan memanfaatkan seluruh sumber daya fisik dan politik yang ada. Kekuatan tempur sendiri merupakan kemampuan untuk menghancurkan atau merusak (damage) kekuatan lawan dan sebaliknya mampu membatasi kehancuran di daerah sendiri.

Di sisi lain, faktor-faktor penting yang memengaruhi sebuah sistem pertahanan sebuah negara sangat ditentukan terlaksananya pendidikan dan rekrutmen prajurit, peningkatan jumlah dan kondisi alutsista (alat utama sistem persenjataan) ke arah modernisasi, kesiapan operasional, peningkatan fasilitas pangkalan militer melalui pembangunan, pemeliharaan, perawatan, dan perbaikan, serta terwujudnya susunan kekuatan yang mampu melaksanakan proyeksi kekuatan yang bersifat tempur.

Dengan demikian, ketidaktersediaan dan ketidaksiapan alutsista dan teknologi peperangan akan menjadi ancaman karena faktor-faktor tersebut merupakan faktor penting sebuah sistem pertahanan. Di sinilah posisi alokasi anggaran pertahanan menjadi faktor utama dalam membangun kekuatan militer.
 
Jadi, mengefektifkan kekuatan militer dalam sebuah postur pertahanan kurang dapat diterima jika berlandaskan pada kemampuan minimal dengan alasan anggaran. Itu dapat berakibat fatal terhadap pertahanan dan kelangsungan hidup bernegara.

Kemampuan Pertahanan

Ketika kita berbicara tentang sebuah pembangunan kemampuan pertahanan, kerap kali itu diartikan sebatas pembangunan kemampuan pembelian equipment. Karena itu, muncul anggapan ketika senjata canggih sudah di tangan, dengan serta-merta kemampuan yang diharapkan sudah dimiliki. Padahal, salah satu kunci penting dalam defence acquisition ialah `if you have the equipment, not necessary you have the capability'. Itu sebabnya Departemen Pertahanan Inggris mengimplementasikan suatu comprehensive model yang disebut sebagai TEPIDOIL yang mencakup delapan hal prinsip, yaitu training, equipments, personnel, infrastructure, doctrine, organization, information, and logistic.

TEPIDOIL bertujuan membantu agar melihat sesuatu secara komprehensif dalam mencapai operational defence capability. Inggris belajar dari satu kasus pahit yang terjadi pada 1935 ketika lalai dalam hal logistic support untuk satu peralatan barunya, yaitu ground-based radar yang merupakan elemen kunci dari air defence. Peralatan itu tidak pernah dipakai selama beberapa tahun.
 
Jadi, baru disadari ketika peralatan akan dipakai pada Battle of Britain pada 1940, logictics support element teknologi baru tidak tersedia. Sejak saat itu, dari sisi logistik ditekankan bahwa akuisisi sistem pertahanan harus memperhitungkan dukungan serta jaminan ketersediaan suku cadang dalam penggunaan, termasuk kemampuan perawatan hingga akhir usia pakainya.

Setelah melihat pada kasus jatuhnya pesawat Fokker 27-500 turboprop engine yang telah bergabung di TNI-AU sejak 1976 beberapa waktu lalu saat latihan profisiensi single engine, muncul pertanyaan, adakah kaitannya dengan realitas objektif akan anggaran pertahanan negara yang minim yang berakibat pada kemampuan militer kita bila dilihat dari dari elemen-elemen prinsip TEPIDOIL?
Karena jika hanya dilihat dari faktor kelayakan terbang, pesawat nahas tersebut saat terjatuh bukan dalam sebuah latihan single engine, melainkan latihan normal pattern untuk sebuah profisiensi rutin.

Dari sisi elemen penyediaan sarana untuk berlatih, mengembangkan dan memvalidasi peralatan serta melatih penerapan common military doctrine untuk mewujudkan military capability yang diinginkan sama pentingnya dengan alutsista itu sendiri.

Sayangnya, dalam beberapa training, ada yang mungkin lalai disiapkan atau terlambat dilakukan. Misalnya, ketika Inggris melakukan pembelian helikopter dengan sistem elektronik canggih dan sensitif, Apache Attack Helicopter, helikopter tersebut sudah tiba sebelum training dilaksanakan sehingga pesawat harus berdiam di hanggar beberapa tahun hingga trained personnel-nya siap.

Dari sisi latihan, sebenarnya TNI-AU sudah memiliki silabus latihan yang sangat baik, dimulai dari sekolah penerbang latih dasar dengan pesawat daya dorong kecil, kemudian latih mula dengan pesawat lebih besar dengan daya dorong lebih besar, dan dilaksanakan dengan silabus yang lengkap dari pattern take off & landing, aerobatik (melatih untuk meyakinkan kemampuan pesawat dan kekuatan badan), instrumen dan terbang malam--latihan terbang malam dan hadapi cuaca buruk, navigasi--membawa pesawat dari satu landasan ke landasan lain di kota yang berbeda, hingga terbang rendah dan latihan kedaruratan.

Setelah itu, pendidikan diikuti latihan transisi ke pesawat jenis tertentu dengan silabus yang lebih fokus ke jenis pesawat yang akan diawaki seorang penerbang operasional. Di tingkat itu pun, penerbang dituntut untuk terus berlatih profisiensi rutin terjadwal, baik untuk normal operation maupun latihan kedaruratan untuk mencapai jenjang uji kenaikan kualifikasi, baik element leader (tempur), kopilot atau kapten pilot, dengan dilakukan uji tertulis dan uji kemampuan memimpin dan membawa pesawat sendiri yang terus dipantau instruktur penerbang.

Dari aspek logistik, seharusnya dapat diukur dari sisi alokasi pembagian anggaran pertahanan kita, misalnya apakah dukungan akan suku cadang merupakan yang benar benar dibutuhkan alutsista terkait, apakah lalu terpenuhi dalam aspek kualitas (asli atau palsu) maupun kuantitas suku cadang yang tersedia.

Dalam sistem logistik kita, jika ingin dikatakan sebuah kejanggalan, banyak pesawat yang kita miliki belum punya jam terbang tinggi, tetapi dari sisi usia sudah memasuki kriteria grounded atau malah harus sudah harus di-grounded seperti Sky Hawk A4.

Di sisi lain, F-5 dan MK 53 masih memiliki 9.600 dan 8.000 jam terbang, yang hingga hari ini rata-rata baru tercapai setengah jam terbang mereka. Artinya, pesawat-pesawat uzur itu akan terus diterbangkan hingga 2032. Pesawat uzur Fokker 27-500 yang masih memiliki cadangan jam terbang di atas 14.000--jika dihitung jam operasi yang hanya 250 jam terbang per tahun--dirancang untuk terus terbang hingga 2068! Pertanyaannya ialah mengapa alokasi anggaran pertahanan yang tersedia tidak dihemat dengan melaksanakan efisiensi pembelanjaan pada aspek upgrade jam terbang (yang terbilang mahal)? Mengapa alokasi dana upgrade air time akan terbuang pada pesawat-pesawat yang memasuki area kriteria grounded atau dipastikan grounded, tidak dialokasikan saja untuk membeli pesawat baru yang memang masih sangat kurang? Kenyataan lain dalam sistem logistik kita ialah menumpuknya cadangan suku cadang di gudang--atau malah masih berdatangan--untuk equipment pesawat yang malah sudah grounded.

Suatu pesawat sendiri dapat dinyatakan grounded dengan beberapa pertimbangan. Pertama, jam terbang terlampaui. Kedua, teknologi yang dipakai sudah tertinggal. Ketiga, usia yang uzur (sekalipun cadangan jam terbang masih banyak). Keempat, tingginya tingkat kecelakaan pada pesawat sejenis. Kelima, limitasi yang terlampaui dalam pemeliharaan rutin atau hal lainnya yang bisa menyatakan pesawat tidak laik terbang. Patut dicatat laik-tidak laik terbang sebuah pesawat dapat terukur dari pemeliharaan dan pemeriksaan rutin dilaksanakan baik untuk mesin, airframe, suku cadang, dan seterusnya.

Oleh karena itu, persoalan pertahanan negara bukanlah persoalan yang mudah, tapi sangat kompleks. Isu seputar transparansi anggaran dan alutsista hanyalah porsi kecil dari permasalahan kompleksnya pertahanan Indonesia. Sering kali kita mengabaikan masalah kebutuhan akan elemen lain pada TEPIDOIL yang sebetulnya menjadi sumber permasalahan, dan sebenarnya hal itu dapat disikapi secara tegas jelas jika negara mampu fokus melihat potensi ancaman dan menyamakan persepsi akan perang yang akan memberikan landasan bagi kaidah postur sebuah tentara profesional.

Karena itu, skala ancaman merupakan logika utama bagi pembangunan postur pertahanan yang disesuaikan dengan kondisi terkini. Elemen skala ancaman yang ditetapkan secara jujur akan mampu mengidentifikasi strategi penangkalan yang efektif, dengan di dalamnya organisasi TNI, personel TNI, dan kapabilitas alutsista berada. Jadi, terpenuhinya komponen-komponen mendasar tersebut bisa sebagai ukuran, sejauh mana negara dengan seluruh sumber daya fisik dan politik yang dimiliki mampu mencintai prajurit-prajuritnya yang menjadi garda terdepan negeri untuk melindungi bangsa dan negara dengan ketangguhan dan kekuatan alut sista yang mumpuni. Sebagaimana Catullus jauh hari sudah menyatakan, “Amat victoria curam.“ Kemenangan menuntut pemeliharaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar