Sabtu, 30 Juni 2012

Jakarta dan Edukasi Politik Etis


Jakarta dan Edukasi Politik Etis
AM Fatwa ; Anggota DPD RI
KORAN TEMPO, 28 Juni 2012


Sebentar lagi Jakarta akan menggelar pesta demokrasi keduanya sepanjang sejarah Reformasi. Kendati baru akan dilaksanakan pada 11 Juli mendatang, antusiasme masyarakat sudah sangat terasa sejak saat ini. Beragam fenomena yang terjadi belakangan semakin mengukuhkan prediksi para pengamat bahwa pemilukada DKI akan berlangsung lebih dramatis dibanding pemilukada sebelumnya.

Sebagai satu-satunya mekanisme demokrasi untuk meraih jabatan politik, pemilukada tidak boleh dipandang sebatas sarana untuk meraih kekuasaan. Pasalnya, pandangan semacam ini tidak hanya berpotensi menghadirkan praktek-praktek kotor ala Machiavelianisme yang menghalalkan segala cara. Lebih dari itu, ia juga dapat mereduksi makna pemilukada dari sebuah aktivitas luhur untuk mendapatkan legitimasi publik menjadi rutinitas lima tahunan untuk memperebutkan jabatan politik.

Ketika ditarik ke dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih menjalani proses transisi menuju kehidupan berdemokrasi yang lebih cerdas dan bermartabat, pemilukada DKI bisa menjadi momen yang tepat untuk memberikan edukasi politik etis bagi seluruh penduduk Indonesia. Setidaknya, ada tiga alasan yang membuat pemilukada DKI memiliki potensi dan posisi strategis dalam masalah ini.

Pertama, Jakarta pernah menjadi prototipe penyelenggaraan pemilukada berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Ketika undang-undang tentang penyelenggaraan pemilihan umum di mana pilkada dimasukkan dalam rezim dan resmi diberi nama pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah--atau disingkat pemilukada--ditetapkan, Jakarta adalah daerah pertama yang memiliki kesempatan untuk mengimplementasikan undang-undang tersebut. Sebab, secara kebetulan, jabatan gubernur yang disandang Sutiyoso berakhir pada tahun yang sama.

Pada momen krusial itu Jakarta berhasil menyelenggarakan pemilukada demokratisnya dengan baik, sehingga menjadi referensi yang representatif bagi penyelenggaraan pemilukada selanjutnya di daerah-daerah lain di seluruh penjuru Nusantara.

Jika lima tahun yang lalu Jakarta memiliki momen untuk menjadi contoh bagi pelaksanaan pemilukada yang demokratis, pada tahun ini Jakarta kembali memiliki momen untuk memberikan contoh proses pelaksanaan pemilu demokratis yang etis dan bermoral. Hal ini sangat penting untuk mendewasakan masyarakat Indonesia agar tidak terjebak pada sisi gelap demokrasi yang cenderung menguntungkan kandidat yang memiliki dana besar.

Kedua, sebagai ibu kota negara, Jakarta tidak hanya berhasil memainkan peran vitalnya sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi, tapi juga menjelma menjadi kiblat peradaban sosial dan budaya. Dengan begitu, sangat wajar kalau semua peristiwa yang terjadi atau fenomena yang berkembang di Jakarta cepat tersebar luas dan berdampak nasional, walaupun tentu saja intensitasnya tidak sebesar di Jakarta.

Kalau posisi ini diimbangi dengan kerja keras segenap komponen masyarakat Jakarta untuk mewujudkan pemilukada yang tertib, aman, dan jujur, bukan hanya ekses positifnya yang akan dinikmati oleh masyarakat Jakarta. Lebih dari itu, sikap dan perilaku politik mereka berpeluang besar untuk ditiru oleh masyarakat di wilayah-wilayah yang lain.

Begitu juga sebaliknya, kalau pemilukada DKI diwarnai dengan tindakan-tindakan bernuansa Machiavelistik yang melanggar etika dan moralitas politik, tidak tertutup kemungkinan modus-modus kotor tersebut akan ditiru oleh elemen-elemen politik di daerah lain. Jika kesalahan ini yang ditiru, sengketa pemilukada yang bermuara di Mahkamah Konstitusi lama-kelamaan akan menjadi episode yang tak terpisahkan dalam setiap penyelenggaraan pemilukada.

Ketiga, pemilukada Jakarta tahun ini mempersilakan enam pasang kandidat untuk bertarung secara sportif memperebutkan jabatan orang nomor satu di Ibu Kota. Keenam pasang kandidat tersebut tidak semuanya berasal dari Jakarta, atau dari etnis Betawi penduduk asli daerah DKI.

Realitas ini harus dipandang positif karena mengandung nilai-nilai pendidikan yang bisa menyempurnakan wawasan demokrasi dan nasionalisme masyarakat Indonesia. Realitas ini juga bisa menyadarkan masyarakat akan tujuan ideal yang ingin dicapai demokrasi, yaitu menyeleksi figur yang memiliki kapasitas, kapabilitas, profesionalitas, dan integritas terbaik untuk memimpin suatu daerah.

Bukankah, untuk mendapatkan pemimpin terbaik, masyarakat harus mengedepankan kualitas kandidat sebagai bahan pertimbangan memilih, serta mengabaikan aspek-aspek emosional yang dilandasi kesamaan primordial, seperti suku, agama, ras, dan lain sebagainya? Pada titik inilah, keberagaman latar belakang etnis dan sosio-kultural kandidat Gubernur DKI bisa menjadi modal berharga untuk menyuburkan semangat nasionalisme, serta mengikis segenap potensi sektarianisme sempit yang berporos pada unsur SARA.

Dengan segenap kelebihan yang dimiliki dan momentum yang akan segera tiba, Jakarta memiliki kesempatan emas untuk mengukir prestasi sebagai daerah percontohan perilaku politik etis bagi seluruh penduduk Indonesia. Tentu saja, butuh kerja sama integral di antara semua elemen masyarakat dan seluruh komponen politik untuk meraih prestasi tersebut. Namun, dengan tingkat kearifan yang semakin membaik, rasanya tak kan ada kesulitan berarti bagi penduduk Jakarta untuk mewujudkan prestasi tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar