Kamis, 28 Juni 2012

Konflik Energi dan Otonomi Daerah


Konflik Energi dan Otonomi Daerah
Dewi Aryani ; Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
Sumber :  SINDO, 28 Juni 2012


Penerapan desentralisasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Pemerintah Indonesia juga menunjukkan pergerakan dinamis ke arah sentralisasi di satu sisi, dan desentralisasi di sisi lainnya. Seiring penguatan pelaksanaan otonomi daerah (otda), pelaksanaan pembangunan tidak lagi dilakukan pada level nasional saja. Daerah akan menjadi agen pembangunan yang secara akumulatif diharapkan dapat menciptakan pembangunan dan kesejahteraan nasional. Semakin banyak daerah yang membangun, tentu kebutuhan atas energi untuk menyokong pembangunan akan semakin meningkat.Bagi pembangunan daerah, energi setidaknya memiliki dua peran, yaitu energi sebagai komoditas bahan baku dan energi sebagai komoditas bahan bakar.

Melalui pelaksanaan otonomi daerah, pengelolaan energi tidak lagi hanya dilakukan oleh pemerintah pusat,melainkan juga melibatkan level pemerintahan di bawahnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota, kewenangan ketiganya dibagi ke dalam 31 urusan pemerintahan, termasuk di dalamnya kewenangan mengelola energi dan sumber daya mineral.

Selain itu, beberapa undang-undang sektor energi seperti UU Nomor 30/2007 tentang Energi dan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Minerba juga telah membagi kewenangan mengelola untuk tiga level pemerintah,yaitu pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan, pemerintah kabupaten/kota.Kewenangan tersebut dirangkum menjadi kewenangan memberikan izin, kewenangan membina, dan kewenangan mengawasi kegiatan pertambangan. Praktiknya, upaya pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya energi dan sumber daya mineral masih banyak diwarnai oleh berbagai kendala dan hambatan.

Alih-alih menciptakan kesejahteraan melalui eksploitasi dan pemanfaatan sumber daya energi dan mineral yang terkandung di beberapa daerah,justru sering kali menciptakan konflik dan pertikaian akibat tata kelola energi dan sumber daya mineral yang buruk. Kasus Kutai Kertanegara, Bima, Kalimantan Timur, Papua, Mesuji, Bangka Belitung, dan banyak lainnya seolah telah membuka mata masyarakat bahwa ada yang salah dalam tata kelola energi Indonesia.

Selain keenam daerah tersebut, Walhi memperkirakan masih terdapat sekitar 22 daerah rawan konflik tambang lainnya yang akan semakin memanas jika pemerintah tidak segera mengambil langkah preventif untuk mencegahnya. Konflik tambang yang belakangan marak terjadi dan menciptakan kerugian yang sangat besar baik dari sisi korban jiwa, dan materil, terjadi bukannya tanpa sebab.Dari beberapa kasus, terdapat beberapa alasan yang menjadi penyebab konflik tambang tersebut.

Pertama,diterbitkannya izin ganda atas satu wilayah tambang. Kedua, penolakan masyarakat yang merasa aktivitas tambang di wilayahnya mengancam kelangsungan hidup mereka.Ketiga, pertambangan tanpa izin (peti). Keempat, kerusakan ekosistem akibat eksploitasi berlebihan tanpa melakukan recovery pasca tambang yang sesuai ketentuan. Kelima, konflik agraria. Keenam, kasus calo tambang serta banyak sebab lainnya. Dari berbagai alasan tersebut, faktor koordinasi antara level pemerintah dan ketegasan pemerintah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam pengelolaan tambang sangat dipertanyakan.

Pemberian izin ganda, misalnya, terjadi karena lemahnya koordinasi antara dua pemegang kewenangan pemberian izin, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut data yang dirilis Polri, hampir seluruh konflik dan potensi konflik terjadi akibat pelaksanaan otonomi daerah yang masih setengahsetengah dan belum sempurna. Hal ini kemudian menimbulkan suatu pertanyaan besar,apakah pelaksanaan otonomi daerah yang pada awalnya digagas sebagai sistem untuk menciptakan kesejahteraan pada level lokal telah efektif selama ini? Ataukah alih-alih menciptakan kesejahteraan dan demokratisasi, otonomi daerah justru menciptakan sebuah spektrum baru permasalahan tata kelola energi Indonesia?

Pusat-Daerah

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis mencoba melihat dan menganalisis implementasi otonomi daerah dan konflik energi ini melalui tiga pisau analisis, yaitu instrumen peraturan daerah, hubungan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta kinerja birokrasi daerah—termasuk kualitas aparatur daerah di dalamnya.

Pertama, dari sisi peraturan daerah, berbagai peraturan daerah yang diciptakan oleh kepala daerah dan perangkat daerah merupakan instrumen hukum yang paling kuat dan mengikat seluruh masyarakat hukum dalam suatu daerah. Namun sangat disayangkan, kewenangan menciptakan peraturan daerah ini belum mampu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh para kepala daerah karena masih banyak dihinggapi masalah.

Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) telah merilis bahwa dari total 26.000 peraturan daerah yang diinventarisasi oleh KPPOD selama otonomi daerah berlangsung (semenjak UU 22/1999), terdapat sekitar 30% dari total 6.000 perda yang sudah dianalisis yang berada dalam status bermasalah (KPPOD, 2010). Perda tersebut bertentangan dengan efisiensi ekonomi dan beberapa aspek teknis lain. Peraturan-peraturan daerah yang bermasalah memang sebagian besar adalah perda yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) secara cepat.

Keinginan pemerintah daerah untuk memaksimalkan PAD juga dilakukan dengan cara mengeruk potensi alam daerahnya, termasuk di antaranya adalah potensi energi dan sumber daya mineral.Pada kasus di beberapa daerah otonom, pemerintah daerahnya sangat mudah mengeluarkan perda berupa pemberian izin kegiatan usaha tambang kepada beberapa perusahaan tambang yang belum tentu memiliki track record dan kualitas yang mumpuni. Kedua, dari sisi koordinasi hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Merebaknya kasus tumpang tindih izin pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat menunjukkan bahwa terjadi ketidakjelasan koordinasi khususnya dalam hal wewenang perizinan. Disadari atau tidak, kewenangan pengelolaan kawasan tambang yang diejawantahkan dalam UU Minerba N0. 4/2009 sebenarnya berusaha mengakomodasi semangat otonomi daerah yang tertuang dalam UU No.34/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tidak seperti dulu, pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP).

Dengan kata lain, pemerintah daerah terutama kabupaten/ kota menjadi ujung tombak baik-buruknya pengelolaan kekayaan sumber daya mineral. Namun besarnya kepentingan dari para oknum baik pemerintah daerah maupun pemerintah Pusat seolah menganulir semangat yang berusaha dibangun tersebut. Penitikberatan kebijakan atas pertimbangan ekonomi dan keuangan berupa maksimalisasi pendapatan,royalti, pajak dan retribusi, lebih dikedepankan dibandingkan mempertimbangkan lingkungan, keberatan masyarakat, pemerataan, keadilan,keamanan,dsb.

Ketiga, dari sisi kapasitas dan kinerja birokrasi daerah. Isu mengenai disparitas kapasitas dan kualitas antara birokrasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah memang telah terdengar sejak awal otonomi daerah dilaksanakan. Meskipun kondisi tersebut tidak dapat digeneralisasi ke seluruh kabupaten/ kota, faktanya sebagian besar birokrasi daerah memang masih memiliki rekam jejak yang buruk dalam kinerja dan pelayanan publik. Rendahnya kapasitas dan kinerja birokrasi daerah ini tidak lain disebabkan karena rendahnya kualitas SDM daerah.

Kualitas SDM daerah yang masih rendah khususnya mengenai pengetahuan atas tambang dan energi menjadikan pengelolaan tambang tidak terealisasi dengan baik. Akibatnya, birokrasi daerah tidak dapat membentuk suatu visi dan kebijakan yang jelas mengenai arahan, pemanfaatan, dan pengelolaan kekayaan sumber daya mineral, bahkan dalam bentuk perda tentang pertambangan umum sekalipun.

Pada akhirnya, konflik energi yang belakangan ini masih sering terjadi seharusnya dapat segera dihilangkan potensi dan penyebabnya,salah satunya melalui implementasi otonomi daerah yang efektif. Agar otonomi daerah mampu berdaya guna untuk menciptakan kembali fungsi dan tujuannya dalam penciptaan demokratisasi dan kesejahteraan di level lokal, unsur-unsur yang terdapat pada sebuah daerah otonom harus dikelola secara baik pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar