Selasa, 26 Juni 2012

Gonjang-ganjing Partai Demokrat

Gonjang-ganjing Partai Demokrat
M Alfan Alfian ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
Sumber :  REPUBLIKA, 25 Juni 2012


Gonjang-ganjing alias kemelut politik tengah melanda Partai Demokrat, terutama pasca-kehadiran dan ceramah Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada acara yang diselenggarakan Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator (FKPD) Partai Demokrat belum lama ini. Sebelumnya SBY telah bertemu dengan ketua-ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) I se-Indonesia di kediamannya di Cikeas, suatu pertemuan yang tidak dikenal dalam mekanisme formal Partai Demokrat.

Peristiwa-peristiwa itu segera menyulut kontroversi. Seruan SBY, untuk kesekian kalinya, agar kader partainya yang bermasalah untuk mundur, segera dikaitkan dengan upaya marjinalisasi Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai. Pernyataan itu segera ditafsirkan sebagai tekanan tidak langsung kepada Anas. Ketika elektabilitas Partai Demokrat yang terpantu lembaga-lembaga survei anjlok dan penyebabnya ditimpakan ke Anas, marjinalisasi kepadanya semakin gencar. Hanya saja, dari perspektif demokrasi-konstitusional partai, caranya cukup ironis, kalau bukan sarkastik.

Partai ini memang sedang disorot habis karena kasus-kasus korupsi oknum-oknumnya. Jelas, kasus-kasus hukum membuat persepsi publik negatif terhadap partai ini. Tetapi, anjloknya elektabilitas Partai Demokrat tidak semata-mata disebabkan oleh itu. Dapat dipahami ulasan Anas bahwa fenomena itu terkait dengan kinerja pemerintah.

Menurutnya, kepuasan publik yang memadai atas kinerja pemerintah adalah basis utama keberhasilan partai pemerintah. Walaupun sangat logis, penekanan Anas itu segera ditafsirkan bahwa ia tengah melakukan resistensi halus kepada SBY dan kelompok penekannya.

Komunikasi Politik

Namun, yang juga harus dilihat ialah kekompakan elite-elite Partai Demokrat, sebagaimana ditunjukkan dari ragam pendapat dan ekspresi komunikasi politik yang berimbas negatif terhadap partai. Publik melihat perpecahan tidak bisa dibendung lagi, dan akhirnya mempersepsikan partai ini secara negatif.
Faksionalisasi memang selalu ada di partai politik manapun. Tetapi, manakala faksi-faksi terlalu bersemangat untuk berkonflik dan terus diekspoitasi ke media massa, maka imbas negatif pada partai akan membesar.

Anas belum terbukti terlibat atau ditetapkan sebagai tersangka kasus-kasus itu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini artinya, Anas masih ketua umum partai yang aktual dan memiliki ruang manuver terbuka, walaupun demokrasi internal partai ini, sejak awal memposisikan ketua dewan pembina sebagai god father yang segera mengingatkan pada Golkar masa lalu. Memimpin partai yang unik seperti Partai Demokrat, dalam perspektif kemodernan partai politik, bagaimanapun tidaklah mudah, justru ketika kultur patrimonialisme juga turut berkembang di sisi lain.

Anas ditekan untuk mundur melalui berbagai upaya marjinalisasi politik kepadanya, tetapi ia tetap bertahan. Justru di tengah sorotan yang menimpanya, kapasitasnya sebagai pemimpin politik tengah diuji. Ia bukan politisi instan yang tidak mengakar. Ia pemimpin politik berlatar-belakang aktivis yang punya basis pendukung yang kuat di daerah-daerah, karena pandai berkomunikasi dan memperkuat jaringan akar rumput partai. Karenanya dapat segera dipahami, manakala Anas tidak menghadapi gejolak internal disebabkan desakan atau tuntutan kongres luar biasa dari bawah. Selain, memang konstitusi partai tidak memungkinkan untuk melakukan itu.

Yang menjadi persoalan sekarang ialah bagaimana kata demokrat, sebagai suatu spirit dasar partai ini, tercermin dalam dinamika internalnya. Demokrasi memang harus berbasis etika politik, tetapi ia tetap dibingkai oleh koridor aturan main yang pasti melalui konstitusi partai. Partai ini tak lepas dari figur SBY, bahkan pada mulanya ia semacam klub penggembira yang bertumpu pada popularitas SBY. Godaan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina untuk otoriter memang besar ketika partai terlanda kemelut.

Gaya Mataraman

Tokoh diperlukan dalam fungsi manajemen konflik. Tetapi, yang terpenting bagi suatu partai modern ialah membangun kelembagaan partai. Prosedur dan mekanisme demokrasi internal partai ini, karenanya, harus selalu dievaluasi.
SBY sendiri, tentu juga tidak cukup mudah untuk menampilkan kepemimpinan demokratisnya di internal partai. Ia sering menghadapi dilema dalam menghadapi ujian demokrasi internal partai yang dibentuknya itu.

Tentu tidak sama persis, manakala gonjang-ganjing politik partai penguasa ini, dikaitkan dengan politik Mataraman tempo dulu. SBY bukan Panembahan Senopati, dan Anas bukan Ki Ageng Mangir yang melawan. Kepala Anas tidak identik dengan kepala Mangir, ketika Panembahan Senopati hendak membenturkannya di atas kursi singgasananya yang disebut watu gilang. Walaupun demikian dinamika partai ini unik dan sinetrikal, justru ketika kharisma berjumpa dengan aneka isu di dalamnya.

Dalam peta besar kompetisi politik Indonesia jelang Pemilu 2014, ujian yang mendera partai ini sangat serius. Manakala strategi keluar dari kemelut tidak memadai, ia akan terpental dari peta rangking atas partai, dan turun sebagai partai menengah, kalau bukan kecil. Manakala SBY, Anas, dan para elite politik lain terjebak dalam arena konfliktual tak berkesudahan, maka semakin membuat kesempatan baik berlalu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar