Sabtu, 30 Juni 2012

Membangunkan Sains Indonesia

Membangunkan Sains Indonesia
Bambang Hidayat ; Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 29 Juni 2012


Peta hasil kemampuan akademis kita dapat ditera dari akumulasi publikasi ilmiah serta sumbangannya pada kemajuan perekonomian dan pembukaan lapangan kerja. Namun, masa hibernasi yang lama membuat banyak sektor pendidikan dan penelitian terbengkalai.

Indeks yang dicitrakan oleh metrik pertama, publikasi ilmiah, tidak dapat dihindari karena merupakan pencerminan kemampuan mengungkap rahasia alam, baik di bidang sains murni maupun terapan.

Metrik kedua merupakan ukuran komitmen kita pada pembangunan bangsa sekaligus unjuk watak pendidikan dan kemampuan lembaga penelitian, baik di lingkup perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Lembaga seperti ini merentang pengertian sains, teknologi, dan budaya dalam medan sosial bangsanya. Yang pertama menumbuhkan tantangan pada alur kecerdasan dan intelektualitas. Yang kedua menghadirkan daya dorong laju penciptaan intelektual, keprigelan, dan kejelian memandang kesempatan.

Kesempatan adalah peluang yang tidak pernah bermata. Oleh karena itu, kejelian kita diperlukan untuk menangkap kesempatan lewat pembaruan dan ekonomi (Rahardi Ramelan, Kompas, 1 Juni 2012).

Studi baru dari peneliti Australia memanfaatkan data Institute for Science Information (ISI) menunjukkan berita gembira: ke-10 anggota ASEAN menghasilkan makalah ilmu pengetahuan tiga kali lebih banyak selama dekade terakhir daripada dekade sebelumnya.

Menggembirakan, tetapi runutan rinci akan membuat kita berkerut dahi: 45 persen produk ilmiah ini dihasilkan Singapura, diikuti Thailand 21 persen dan Malaysia 16 persen pada lapisan kedua. Baru pada lapisan ketiga terlihat sumbangan Vietnam 6 persen, Indonesia 5 persen, dan Filipina 5 persen.

Ini jelas gambaran kurang menyenangkan dari perspektif Indonesia, apalagi ada dua hal lagi yang seharusnya menjadi cambuk bagi kita. Pertama, Thailand dan Malaysia menunjukkan peningkatan terbesar, sedangkan Indonesia dan Filipina peningkatannya terkecil.

Kedua, Vietnam sangat kuat di bidang fisika dan matematika, Singapura pada sains materi dan nanoteknologi, Thailand pada ilmu pengetahuan gizi dan makanan. Malaysia berjaya pada rekayasa dan Filipina pertanian.

Berada pada lapisan ketiga, apalagi di bawah Malaysia dan Thailand tanpa keunggulan ilmu pengetahuan, tentu tidak membanggakan. Sedikitnya ada dua argumen yang mengakibatkan unjuk kerja kita terpuruk. Pertama, riset di perguruan tinggi (PT) serta lembaga pemerintah kurang efisien-efektif. Terutama karena sistemik penyelenggaraan penelitian kurang mendukung, di samping melemahnya kemauan dan kemampuan sumber daya manusia.

Membangun Asa

Ibarat komputer, elemen pembangkit sistem ilmu pengetahuan di negara kita nyaris hang dan perlu segera di-boot ulang. Maka, yang harus diubah pertama kali adalah pemahaman para pemangku kepentingan akademis mengenai hakikat pendidikan tinggi.

PT adalah sasana tempat pengalihan dan pengembangan ilmu yang bisa melahirkan ilmu-ilmu baru atau terapan yang membangun. Jadi, selain sebagai tempat penyemaian kemampuan intelektual, PT adalah tempat mengkaji pemikiran. Riset yang dilakukan secara terintegrasi dengan pendidikan (pascasarjana) tentu saja merupakan cita-cita Tri Dharma PT. Pendidikan dan riset akan secara interaktif menguatkan kontribusi PT dalam menghasilkan produk sadar kebutuhan masyarakat.

Karena jumlah dana penelitian terbatas, dibutuhkan strategi pendanaan. Konsekuensinya, penetapan area dan topik riset unggulan di PT tidak hanya sah, tetapi merupakan suatu keharusan kalau hasil hendak dipertandingkan dengan sumbangannya. Maka, mekanisme pemilihan tema jelas berbeda dengan agenda riset nasional (ARN).

Jika ARN bersifat top-down, di PT mekanisme harus bersifat bottom-up, yakni mengakomodasi bakat, minat, dan tujuan khas peneliti. Hal ini penting karena seperti hasil studi di atas, setiap negara hanya mampu mencuatkan satu atau beberapa keunggulan hasil penelitian. Kaidah ”ambeg parama arta” sangat penting sebagai wawasan, bukan mendiskriminasi unggulan.

Keunggulan SDM dapat diketahui dengan cermat dari basis data yang sudah ada, seperti ISI Thomson. Penentuan kualitas dan kuantitas sumber daya alam (SDA) dapat dilakukan melalui pemetaan kekayaan nasional. Keunggulan SDA, mulai dari keanekaan hayati, kedudukan Indonesia dalam lingkup ring of fire, sampai ke panjang pesisir kita, zoonis, dan peri kebinatangan tropika, merupakan energi potensial untuk bersaing dalam kancah riset internasional.

Tentu saja kita tidak boleh menelantarkan bidang lain karena akan terjadi pengerdilan suatu bidang ilmu. Porsi 30 persen dana penelitian yang dicanangkan pemerintah untuk dikompetisikan akan masuk ke sini. Di samping itu, pemerintah memikul kewajiban luhur mencarikan dana alternatif bagi bidang-bidang langka. Perlu kepekaan sistemik memilah tema keilmuan dan rekayasa yang memberi kegunaan pada masa depan.

Unsur Penentu

Penggunaan indeks ISI sebagai patokan kinerja pengembangan sains memerlukan redefinisi pengertian jurnal internasional. Hakikat penulisan ilmiah adalah peneliti memasarkan hasil risetnya. Proses ini akan dinilai berhasil jika ada ”pembeli”.

Sebuah makalah dianggap ”dibeli” jika ada yang membaca, mengutip, dan menindaklanjuti makalah tersebut. Definisi impact factor (IF) penting untuk dipahami. Sebuah jurnal dengan IF tinggi menunjukkan bahwa jurnal tersebut sering dikutip sehingga harus memiliki IF.

Baru-baru ini kolega dari Malaysia menginformasikan jika negaranya hanya mendefinisikan dua jenis publikasi, dengan IF dan tanpa IF. Hanya yang pertama yang mendapat insentif!

Baik di PT maupun lembaga penelitian ujung tombak riset adalah para senior yang sering dimanifestasikan dalam sosok guru besar atau profesor riset. Mereka adalah elite dalam masyarakat pendidikan dan penelitian yang diharapkan menjadi ujung tombak kemajuan sains.

Jadi, sistem harus ”memaksa” kelompok elite ini melaksanakan tugas luhurnya untuk publikasi riset ataupun wawasan pemikiran akademik yang bermakna. Salah satu tugas senior di PT adalah membimbing mahasiswa S-3 dan menanamkan jiwa keilmiahan. Jadi, tidak salah jika kualitas pendidikan strata S-3 hendak disejajarkan dengan kualitas global.

Di beberapa universitas, baik di dalam maupun di luar negeri (Malaysia, misalnya), publikasi internasional bukan merupakan barang asing, baik bagi promotor maupun mahasiswa S-3. Sudah semestinya hal ini merupakan cetak biru program PT.

Tidak kurang penting adalah sistem insentif dan pemberian hibah penelitian. Sistem insentif yang berasas ”bagi rata” harus diganti dengan asas meritologi dan kepentingan keilmuan. Dana penelitian yang diberikan tepat-tempo membuat peneliti memiliki kepastian awal dan akhir kerjanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar