Membangunkan
Sains Indonesia
Bambang
Hidayat ; Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia
KOMPAS, 29 Juni 2012
Peta hasil kemampuan akademis kita dapat
ditera dari akumulasi publikasi ilmiah serta sumbangannya pada kemajuan
perekonomian dan pembukaan lapangan kerja. Namun, masa hibernasi yang lama
membuat banyak sektor pendidikan dan penelitian terbengkalai.
Indeks yang dicitrakan oleh metrik pertama,
publikasi ilmiah, tidak dapat dihindari karena merupakan pencerminan kemampuan
mengungkap rahasia alam, baik di bidang sains murni maupun terapan.
Metrik kedua merupakan ukuran komitmen kita
pada pembangunan bangsa sekaligus unjuk watak pendidikan dan kemampuan lembaga
penelitian, baik di lingkup perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Lembaga
seperti ini merentang pengertian sains, teknologi, dan budaya dalam medan
sosial bangsanya. Yang pertama menumbuhkan tantangan pada alur kecerdasan dan
intelektualitas. Yang kedua menghadirkan daya dorong laju penciptaan
intelektual, keprigelan, dan kejelian memandang kesempatan.
Kesempatan adalah peluang yang tidak pernah
bermata. Oleh karena itu, kejelian kita diperlukan untuk menangkap kesempatan
lewat pembaruan dan ekonomi (Rahardi Ramelan, Kompas, 1 Juni 2012).
Studi baru dari peneliti Australia
memanfaatkan data Institute for Science
Information (ISI) menunjukkan berita gembira: ke-10 anggota ASEAN
menghasilkan makalah ilmu pengetahuan tiga kali lebih banyak selama dekade
terakhir daripada dekade sebelumnya.
Menggembirakan, tetapi runutan rinci akan
membuat kita berkerut dahi: 45 persen produk ilmiah ini dihasilkan Singapura,
diikuti Thailand 21 persen dan Malaysia 16 persen pada lapisan kedua. Baru pada
lapisan ketiga terlihat sumbangan Vietnam 6 persen, Indonesia 5 persen, dan
Filipina 5 persen.
Ini jelas gambaran kurang menyenangkan dari
perspektif Indonesia, apalagi ada dua hal lagi yang seharusnya menjadi cambuk
bagi kita. Pertama, Thailand dan Malaysia menunjukkan peningkatan terbesar,
sedangkan Indonesia dan Filipina peningkatannya terkecil.
Kedua, Vietnam sangat kuat di bidang fisika
dan matematika, Singapura pada sains materi dan nanoteknologi, Thailand pada
ilmu pengetahuan gizi dan makanan. Malaysia berjaya pada rekayasa dan Filipina
pertanian.
Berada pada lapisan ketiga, apalagi di bawah
Malaysia dan Thailand tanpa keunggulan ilmu pengetahuan, tentu tidak
membanggakan. Sedikitnya ada dua argumen yang mengakibatkan unjuk kerja kita
terpuruk. Pertama, riset di perguruan tinggi (PT) serta lembaga pemerintah
kurang efisien-efektif. Terutama karena sistemik penyelenggaraan penelitian
kurang mendukung, di samping melemahnya kemauan dan kemampuan sumber daya
manusia.
Membangun Asa
Ibarat komputer, elemen pembangkit sistem
ilmu pengetahuan di negara kita nyaris hang dan perlu segera di-boot ulang.
Maka, yang harus diubah pertama kali adalah pemahaman para pemangku kepentingan
akademis mengenai hakikat pendidikan tinggi.
PT adalah sasana tempat pengalihan dan
pengembangan ilmu yang bisa melahirkan ilmu-ilmu baru atau terapan yang
membangun. Jadi, selain sebagai tempat penyemaian kemampuan intelektual, PT
adalah tempat mengkaji pemikiran. Riset yang dilakukan secara terintegrasi
dengan pendidikan (pascasarjana) tentu saja merupakan cita-cita Tri Dharma PT.
Pendidikan dan riset akan secara interaktif menguatkan kontribusi PT dalam
menghasilkan produk sadar kebutuhan masyarakat.
Karena jumlah dana penelitian terbatas,
dibutuhkan strategi pendanaan. Konsekuensinya, penetapan area dan topik riset
unggulan di PT tidak hanya sah, tetapi merupakan suatu keharusan kalau hasil hendak
dipertandingkan dengan sumbangannya. Maka, mekanisme pemilihan tema jelas
berbeda dengan agenda riset nasional (ARN).
Jika ARN bersifat top-down, di PT mekanisme harus bersifat bottom-up, yakni mengakomodasi bakat, minat, dan tujuan khas
peneliti. Hal ini penting karena seperti hasil studi di atas, setiap negara
hanya mampu mencuatkan satu atau beberapa keunggulan hasil penelitian. Kaidah ”ambeg parama arta” sangat penting
sebagai wawasan, bukan mendiskriminasi unggulan.
Keunggulan SDM dapat diketahui dengan cermat
dari basis data yang sudah ada, seperti ISI
Thomson. Penentuan kualitas dan kuantitas sumber daya alam (SDA) dapat
dilakukan melalui pemetaan kekayaan nasional. Keunggulan SDA, mulai dari
keanekaan hayati, kedudukan Indonesia dalam lingkup ring of fire, sampai ke panjang pesisir kita, zoonis, dan peri kebinatangan tropika, merupakan energi potensial
untuk bersaing dalam kancah riset internasional.
Tentu saja kita tidak boleh menelantarkan
bidang lain karena akan terjadi pengerdilan suatu bidang ilmu. Porsi 30 persen
dana penelitian yang dicanangkan pemerintah untuk dikompetisikan akan masuk ke
sini. Di samping itu, pemerintah memikul kewajiban luhur mencarikan dana
alternatif bagi bidang-bidang langka. Perlu kepekaan sistemik memilah tema keilmuan
dan rekayasa yang memberi kegunaan pada masa depan.
Unsur Penentu
Penggunaan indeks ISI sebagai patokan kinerja pengembangan sains memerlukan
redefinisi pengertian jurnal internasional. Hakikat penulisan ilmiah adalah
peneliti memasarkan hasil risetnya. Proses ini akan dinilai berhasil jika ada
”pembeli”.
Sebuah makalah dianggap ”dibeli” jika ada
yang membaca, mengutip, dan menindaklanjuti makalah tersebut. Definisi impact factor (IF) penting untuk
dipahami. Sebuah jurnal dengan IF tinggi menunjukkan bahwa jurnal tersebut
sering dikutip sehingga harus memiliki IF.
Baru-baru ini kolega dari Malaysia
menginformasikan jika negaranya hanya mendefinisikan dua jenis publikasi,
dengan IF dan tanpa IF. Hanya yang pertama yang mendapat insentif!
Baik di PT maupun lembaga penelitian ujung
tombak riset adalah para senior yang sering dimanifestasikan dalam sosok guru
besar atau profesor riset. Mereka adalah elite dalam masyarakat pendidikan dan
penelitian yang diharapkan menjadi ujung tombak kemajuan sains.
Jadi, sistem harus ”memaksa” kelompok elite
ini melaksanakan tugas luhurnya untuk publikasi riset ataupun wawasan pemikiran
akademik yang bermakna. Salah satu tugas senior di PT adalah membimbing
mahasiswa S-3 dan menanamkan jiwa keilmiahan. Jadi, tidak salah jika kualitas
pendidikan strata S-3 hendak disejajarkan dengan kualitas global.
Di beberapa universitas, baik di dalam maupun
di luar negeri (Malaysia, misalnya), publikasi internasional bukan merupakan
barang asing, baik bagi promotor maupun mahasiswa S-3. Sudah semestinya hal ini
merupakan cetak biru program PT.
Tidak kurang penting adalah sistem insentif
dan pemberian hibah penelitian. Sistem insentif yang berasas ”bagi rata” harus diganti dengan asas
meritologi dan kepentingan keilmuan. Dana penelitian yang diberikan tepat-tempo
membuat peneliti memiliki kepastian awal dan akhir kerjanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar