Saweran
Gedung KPK
Donal
Fariz ; Peneliti Hukum pada Divisi Hukum
dan Monitoring Peradilan,
Indonesia Corruption Watch (ICW)
Sumber :
KOMPAS, 28 Juni 2012
Polemik pembangunan gedung Komisi
Pemberantasan Korupsi terus bergulir. Pasalnya, DPR tak kunjung menyetujui
rencana biaya pembangunan gedung baru lembaga itu sejak diusulkan pada 2008.
Masa depan pemberantasan korupsi dipermainkan.
Hingga kini publik tak habis pikir dengan isi
kepala sejumlah anggota DPR sehingga belum mencabut tanda bintang dalam proyek
rencana pembangunan gedung baru KPK sebesar Rp 225 miliar (Kompas, 26/6). Di
sisi lain, pemerintah sebenarnya sudah menyetujui agar proyek itu dire-
alisasikan dengan skema bertahun-tahun.
Beberapa politisi seolah-olah mencari-cari
alasan pembenar agar pembangunan gedung itu tak jadi terealisasikan. Mulai dari
alasan KPK sebagai lembaga ad hoc hingga alasan menghemat keuangan negara.
Alibi itu tentu tak bisa dibenarkan.
Pemahaman mayoritas anggota DPR dengan menyebut KPK sebagai lembaga ad hoc yang
sifatnya sementara justru sangat keliru. Ad hoc sendiri, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, berasal dari bahasa Latin dengan arti: dibentuk
untuk salah satu tujuan saja.
Sangat sesat ketika para politisi Senayan
memaknai KPK sebagai lembaga ad hoc yang hanya temporer atau sementara waktu.
Apalagi jika merujuk pada Undang-Undang KPK, tidak ada satu pun pasal dalam UU
ini yang secara eksplisit menyebutkan KPK bersifat sementara waktu.
Selain itu, alasan beberapa politisi Komisi
III untuk tak menyetujui pembangunan gedung KPK bertujuan untuk menghemat
anggaran. Hal ini tentu bertolak belakang dengan melihat realitas yang terjadi
belakangan ini.
Tengok saja, para politisi menyetujui
pembangunan wisma atlet sebesar Rp 200 miliar, Proyek Hambalang Rp 2,5 triliun,
dan proyek lain yang belum jelas manfaatnya. Bahkan, proyek vaksin flu burung
menurut audit BPK merugikan negara Rp 693 miliar. Proyek-proyek tersebut
”gagal” karena menjadi lahan bancakan para mafia anggaran. Lalu, pertanyaan besarnya,
mengapa untuk anggaran pemberantasan korupsi, DPR tidak menyetujui?
Padahal, KPK secara formal sudah menjelaskan
alasannya kepada DPR. Agar semakin meyakinkan, KPK juga telah memaparkan desain
besar penguatan institusi tersebut ke depannya. Mulai dari rencana perekrutan
pegawai baru hingga pengembangan teknologi dalam menjerat pelaku kejahatan
korupsi. Namun, alasan tersebut lagi-lagi mentah di tangan para politisi.
Anti-Penguatan KPK
Penting dipahami bahwa pembangunan gedung KPK
harus ditempatkan sebagai upaya penguatan institusi KPK secara kelembagaan.
Gedung KPK yang sudah melewati kapasitas dan unit-unit yang tersebar di
beberapa tempat membuat kerja mereka tidak efektif.
Apalagi pada saat yang bersamaan tagihan
publik kepada KPK juga semakin meningkat seiring dengan banyaknya kasus korupsi
yang dibawa kepada proses hukum. Mau tak mau mereka harus meningkatkan
kuantitas dan kualitas sumber daya manusia demi memacu denyut kinerja.
Hal yang sama sebenarnya juga sering dituntut
DPR kepada KPK sehingga sikap penolakan pembangunan gedung karena imbas
peningkatan SDM tentu bertolak belakang dengan tuntutan yang selalu mereka
dengung-dengungkan. Ibaratnya, ”KPK disuruh berlari, tetapi kaki mereka
diikat’’.
Inti permasalahan ini sebenarnya:
keberpihakan. Sudah rahasia umum bahwa para politisi Senayan rudin dukungan
terhadap agenda pemberantasan ko- rupsi. Secara konkret bisa dilihat perlakukan
terhadap KPK. Wewenang lembaga ini dikebiri dalam RUU KPK. Bahkan, beberapa
politisi secara terbuka menginginkan KPK dibubarkan.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kerja KPK
yang banyak mengungkap praktik korupsi yang terjadi di lingkungan Senayan. Suap
dilakukan anggota DPR saat menjadi calo jabatan, calo proyek, dan calo
anggaran.
Dalam dokumentasi ICW, hingga kini setidaknya
sudah 45 politisi Senayan yang dibawa KPK ke proses hukum. Jumlah tersebut
hampir pasti akan meningkat jika kita menyelisik beberapa kasus yang tengah
digarap KPK, semisal Hambalang dan PPID.
Di balik itu semua, harus digarisbawahi bahwa
sesungguhnya musuh terbesar KPK ataupun para penegak hukum lain dalam
pemberantasan korupsi bukanlah melawan individu ataupun komplotannya. Musuh
terbesar KPK ialah melawan otoritas negara yang tak berpihak pada pemberantasan
korupsi itu sendiri. Maka, mereka menggunakan kewenangan anggaran yang dimiliki
hingga mengendalikan aturan sebagai tombak pelumpuh perjuangan melawan korupsi.
Kuasa Sangat Besar
Praktik seperti ini sejatinya jamak terjadi.
Arogansi para politisi seolah-olah terbalut oleh selimut kewenangan yang
diberikan konstitusi sehingga mereka dapat berbuat semau mereka. Kuasanya
sangat besar. Praktis alat kontrol hanya terletak pada ada tidaknya moralitas
di setiap individu.
Saat ini rasanya hampir mustahil mengetuk
hati para politisi untuk mengubah haluan dan bergabung dalam kapal
pemberantasan korupsi bersama KPK dan masyarakat. Sudah berkali-kali mereka
tidak lulus ujian komitmen pemberantasan korupsi. Yang terakhir tentulah
polemik pembangunan gedung tersebut.
Masyarakat tidak lagi bisa duduk manis dan menunggu
datangnya ilham kepada para politisi untuk menyetujui pembangunan gedung
tersebut. Maka, sudah saatnya masyarakat turun tangan: salah satunya dalam
gerakan koin untuk KPK yang mencuat belakangan ini.
Jika langkah ini terwujud, bisa dibayangkan
bahwa kelak gedung KPK akan menjadi tonggak sejarah perjuangan pemberantasan
korupsi di Indonesia dan untuk pertama kali di dunia, pembangunan gedung komisi
antikorupsi didanai langsung dari saweran masyarakat.
Gedung KPK kelak akan menggeser gedung DPR
sebagai rumah rakyat karena gedung DPR tidak lagi mewakili kepentingan rakyat. ●
Mantap bro. Tajam, tanpa pransangka
BalasHapus