Sabtu, 30 Juni 2012

Pro-Kontra Kilang BBM


Pro-Kontra Kilang BBM
Ari Soemarno ; Mantan Dirut Pertamina, Konsultan Migas
KOMPAS, 29 Juni 2012


Sudah sering kita baca beragam pernyataan ihwal pentingnya pembangunan kilang minyak baru di Indonesia. Fakta yang dihadapi: konsumsi BBM naik terus, sementara kapasitas kilang dalam negeri sangat terbatas sehingga impor bahan bakar cair/minyak meningkat saban tahun.

Sebenarnya dalam 15 tahun ini Pertamina, operator utama kegiatan hilir minyak di Indonesia, telah membuat banyak kajian untuk menambah kapasitas kilang. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, BUMN ini telah menandatangani beberapa nota kesepahaman dengan beberapa negara produsen minyak mentah: Arab Saudi, Libya, Iran, dan Kuwait. Banyak pula pihak swasta yang berminat investasi pembangunan kilang.

Mengapa sampai hari ini tiada realisasinya? Bahkan, terlihat seolah-olah ada ”kekesalan” di kalangan pemerintah, yang tampak dalam pernyataan bahwa pemerintah sendiri akan langsung melakukan investasi dan segera menyediakan dana Rp 1 triliun untuk kajian dan rekayasa awal.

Faktor Keekonomian

Dalam dunia perminyakan setidaknya tersua dua argumentasi pembangunan kilang: keekonomian dan ketahanan energi. Keekonomian atau penciptaan nilai tambah dihitung dari pendapatan yang dihasilkan dikurangi biaya pengadaan bahan baku (minyak mentah) dan biaya variabel, termasuk bahan bakar. Hasilnya dikenal sebagai margin pengilangan (MP).

MP sangat fluktuatif, mengikuti fluktuasi harga pasar minyak mentah dan produk hasil olahan kilang. Fluktuasi lebih dari 70 persen dalam satu tahun atau 40 persen dalam satu bulan lumrah belaka. Sebagai gambaran, MP di Singapura, salah satu pusat kilang dunia, dalam 1998-2010 bergerak antara minus 1 dollar AS dan plus 10 dollar AS per barrel. Inilah salah satu masalah utama dalam membaca keekonomian bisnis kilang: stabilitas profitabilitas investasinya sulit diperhitungkan.

Sementara itu, pembangunan kilang adalah bisnis padat modal dan berjangka waktu panjang. Diperlukan investasi 8 miliar-9 miliar dollar AS, masa pembangunan 5-6 tahun, untuk proyek kilang baru dengan kapasitas olah 400.000 barrel minyak mentah per hari, kapasitas optimal saat ini. Masa investasi kembali 10 bahkan 15 tahun. Wajar bila investor minta keterjaminan profitabilitas bagi investasinya.
Negara pengundang investor umumnya bersedia memberi untung (IRR) untuk investasi kilang sekitar 15 persen, bahkan dapat lebih tinggi lagi, dengan masih memperoleh MP rata-rata 5 dollar AS per barrel selama masa pengembalian pendanaan proyek. Kondisi keekonomian seperti inilah yang menarik bagi investor sekaligus bagi dunia perbankan yang akan terlibat.

Kondisi di atas umumnya bisa dicapai kalau pemerintah memiliki visi keekonomian yang kuat, dilengkapi kesadaran bahwa keberadaan kilang penting menjamin ketahanan energi di dalam negeri sebab bila hanya mengikuti kondisi pasar minyak dan produk minyak saja, bisnis kilang tak menarik bagi investor.

Faktanya, bila hanya berdasarkan harga pasar komoditas minyak dan BBM, maka IRR 8 persen saja. Insentif berupa pembebasan sementara pajak, pembebasan bea masuk, dan lain-lain paling banyak hanya dapat menaikkan IRR sekitar 2 persen.
Contoh realisasi kilang baru adalah Red Sea Refinery di Arab Saudi yang sedang dalam konstruksi. Rencana operasi akhir 2014. Kapasitasnya 400.000 barrel per hari dan investasi awalnya 8 miliar dollar AS, tapi diperkirakan dapat membengkak menjadi 12 miliar dollar AS.

Kilang ini merupakan patungan Saudi Aramco (63 persen) dan BUMN Migas China Sinnopec (37 persen). Bisnis bisa berjalan karena Saudi Aramco berani menjamin IRR 15 persen dan MP neto 5 dollar AS per barrel. Jaminan itu adalah dalam bentuk rabat harga minyak mentah antara 4 dan 8 dollar AS per barrel. Mengapa Saudi mau melakukan hal ini dan mengapa BUMN China bisa menjalankannya? Jawabnya: adanya pertemuan antara keekonomian dan kepentingan jaminan pasokan BBM. Itulah argumentasi ketahanan energi.

Mari kita lihat fakta pembangunan kilang lain yang dilakukan BUMN migas China, CNPC, di Jieyang, Guandong, (40 persen dimiliki PDVSA-Venezuela) berkapasitas 400.000 barrel per hari dengan investasi 9,3 miliar dollar AS. Karena minyak mentahnya diimpor dari Venezuela dengan harga pasar, jaminan untuk IRR diberikan Pemerintah China dalam bentuk premium sebesar 20-25 persen di atas harga pasar produk BBM yang dihasilkan.

Bisnis Kilang Global

Fakta lain yang harus diperhitungkan Pemerintah Indonesia adalah kecenderungan kelebihan pasokan produk hasil kilang dunia, khususnya Asia Pasifik dalam beberapa tahun ini. Dengan mulai beroperasinya kilang baru di Timur Tengah, China, dan India, mulai 2015 kelebihan akan bertambah. MP akan tertekan. Data perminyakan menunjukkan bahwa tingkat utilitas kapasitas kilang Asia Pasifik saat ini rata-rata hanya bisa 75-85 persen.

Akibatnya, banyak kilang lama di negara industri maju (AS, Jepang, dan Eropa Barat) yang berhenti operasi karena tak ekonomis, kalah kompetitif dengan kilang baru yang lebih modern dan efisien. Di sana hampir dalam 20 tahun terakhir tak ada lagi kilang baru yang dibangun. Selain keekonomiannya rendah, konsumsi BBM di sana juga menurun sebagai hasil dari peningkatan efisiensi dan diversifikasi energi.

Karena profitabilitasnya kian rendah, perusahaan migas utama dunia seperti BP, ExxonMobil, dan Chevron memperkecil portofolio bisnis kilang dan hilir minyak secara keseluruhan. Namun, negara industri baru seperti China dan India terus melakukan pembangunan kilang baru. Bila tahun 2000 kapasitas kilang di China 5,4 juta barrel per hari dan India 2,2. Maka, saat ini China 9,5 dan India 3,6. Kapasitas meningkat meski dari segi keekonomian pasar tak mendukung.

Demikian juga terjadi di negara produsen minyak bumi seperti Arab Saudi dan Kuwait. Pertimbangan mereka adalah ketahanan energi. Pemerintahnya memberi insentif dan menciptakan kondisi dengan berbagai langkah strategis agar keekonomian investasi tercapai dan terjamin untuk jangka panjang, khususnya melalui BUMN migasnya.

Kilang BBM diposisikan sebagai infrastruktur esensial untuk menyediakan komoditas energi yang strategis, tidak saja bagi kegiatan perekonomian, tetapi juga dari aspek pertahanan dan keamanan, di samping pertimbangan bisnis jangka panjang.
Bila ingin seluruh kebutuhan BBM diproduksi di dalam negeri, diperlukan saat ini kilang baru dengan kapasitas sekitar 600.000 barrel per hari. Dengan tingkat kenaikan konsumsi 5 persen per tahun, akan diperlukan tambahan kapasitas kilang sekitar 400.000 barrel per hari setiap 5 tahun. Dari segi keekonomian murni, jelaslah proyek kilang baru di Indonesia pasti tidak layak. Jadi, hal ini hanya bisa dilakukan kalau kebutuhannya adalah untuk ketahanan energi.

Alasan yang menyatakan bahwa penambahan kapasitas kilang dalam negeri akan memperbaiki neraca impor dan ekspor migas ataupun harga BBM akan bisa lebih murah: sesat pikir.

Pertama, tambahan kapasitas kilang memang mengurangi impor BBM, tetapi impor minyak mentah akan meningkat (dari dalam negeri tidak tersedia). Kedua, harga BBM keluar dari kilang 85-90 persen ditentukan oleh harga minyak, sedangkan kontribusi biaya total operasional kilang 10-15 persen saja.

Keberadaan kilang di dalam negeri akan mengurangi ketergantungan dari operasi kilang dan pasar BBM di luar negeri. Di pihak lain, ketergantungan pada impor minyak mentah meskipun bertambah, pasarnya lebih stabil dan juga pasokannya lebih bisa dipastikan melalui keterlibatan produsen minyak dalam investasi kilang dan/atau kontrak pembelian jangka panjang yang dijamin secara ”pemerintah ke pemerintah”.

Perlu disadari, penyediaan minyak dari sumber dalam negeri di masa depan masih sulit diharapkan. Produksi saat ini hanya 900.000 barrel per hari dan cenderung terus menurun. Konsumsi BBM sekarang sudah setara minyak 1,3 juta barrel per hari dan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.

Peningkatan produksi hanya mungkin dengan penemuan cadangan baru yang signifikan. Kalaupun itu ditemukan hari ini, produksinya baru 5-10 tahun mendatang dan 10 tahun lagi konsumsi BBM sudah akan mencapai 2 juta barrel per hari setara minyak. Tidaklah mungkin kita bisa mencapai produksi setinggi itu. Kita perlu menyadari benar dan mengubah pola pikir secara mendasar bahwa ke depan kita akan terus menjadi importir neto minyak.

Ke Depan

Karena kilang salah satu elemen penting infrastruktur hilir untuk meningkatkan ketahanan energi, penambahan kapasitas dalam negeri harus dilakukan. Kelayakan keekonomiannya harus dapat diciptakan untuk jangka panjang agar menarik bagi investor dan dapat memperoleh pendanaan dari perbankan.

Terdapat berbagai cara untuk merealisasikannya. Pertama, dibiayai penuh oleh pemerintah seperti kilang Dumai, Balikpapan, dan Cilacap pada 1980-an (didanai APBN sekitar 4 miliar dollar AS). Namun, waktu itu kita masih eksportir neto minyak dalam jumlah besar dan mendapat windfall revenue dari melonjaknya harga minyak. Kedua, memberdayakan Pertamina dengan menggandeng investor lain, khususnya produsen minyak. Kondisi dasar harus diciptakan: bagaimana IRR dapat dijamin.

Kita perlu melihat apa yang dilakukan negara lain yang berhasil membangun kilang. Ada banyak jalan ke Roma. Perlu kesepakatan semua pihak terkait bahwa kilang mutlak diperlukan untuk ketahanan energi negara kita. Ketahanan identik dengan keterjaminan kelangsungan pasokan, dan keterjaminan selalu perlu biaya tambahan, premium. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar