Utang
Kita
Ichsanuddin Noorsy ; Asosiasi Politik Ekonomi Indonesia (AEPI)
Sumber : SUARA
KARYA, 18 Juni 2012
Utang luar negeri Indonesia per Februari 2012 nyaris mencapai 225
miliar dolar AS (Rp 1.900 triliun lebih). Ini sangat memprihatinkan. Ketika
menjadi anggota DPR, di rumah rakyat itu saya bukan hanya menolak utang luar
negeri. Bahkan, dengan sekuat tenaga mengusulkan "3 R"
(restrukturisasi, reskedul, rekondisi). Namun, Bambang Subiyanto sebagai Menkeu
saat itu dan Boediono sebagai Menneg PPN/Kepala Bappenas menolak gagasan itu.
Argumentasi yang selalu muncul, Indonesia patut menjaga kepercayaan
internasional. Gagal bayar (default)
atas utang luar negeri akan menghasilkan dampak gagal bayar lainnya (cross default).
Argumen seperti itu mudah dipatahkan sepanjang Indonesia bisa
melihat peluang. Peristiwa bencana tsunami pada 26 Desember 2004 di Aceh dan
Mentawai serta bencana tsunami-tsunami lainnya, tudingan terorisme di
Indonesia, termasuk soal program pengurangan emisi gas rumah kaca, bahkan dalam
soal pendayagunaan Selat Malaka dan ruang dirgantara, sebenarnya memberi ruang
bagi Indonesia untuk mengurangi beban utang luar negeri.
Namun, karena memburu pertumbuhan ekonomi tinggi, utang luar
negeri dianggap sebagai faktor yang tetap dibutuhkan. Dalam setiap APBN, sangat
terlihat bahwa pembiayaan utang luar negeri selalu negatif. Ini menunjukkan
bahwa pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri jauh lebih tinggi
dibanding pencairan. Sementara pinjaman program terus-menerus meningkat sejak
2005 hingga 2010 dan baru menurun pada 2011.
Padahal, dengan pinjaman program itu, pemerintah meminjam untuk
mempekerjakan orang asing dalam merancang proyek atau merancang regulasi (yang
membuat Indonesia makin terjajah) atau dalam rangka membangun sistem organisasi.
Bayangkan, berapa kali kerugian yang diderita rakyat Indonesia.
Contoh yang paling dekat atas hal ini adalah pinjaman program
untuk mendesain proyek mass rapid transit
(MRT) di DKI Jakarta. Kemenhub dan Pemda DKI mempekerjakan orang Jepang untuk merancangnya
hingga akhirnya proyek itu menggunakan teknologi Jepang. Tidak hanya itu,
sistem, manajemen, pemeliharaan, dan suku cadang pun ditentukan oleh pihak
Jepang. Maka tidak mengherankan, Jepang menjadi kreditur terbesar diikuti oleh
AS dan Singapura. Sementara kreditur kelembagaan terbesar adalah Bank Dunia,
ADB, dan JICA.
Struktur utang luar negeri seperti ini memberi pemahaman mengapa
industri transportasi secara sistemik di Indonesia sangat ditentukan oleh
Jepang. Bisa juga dipahami, mengapa Dubes Jepang saat berkunjung ke Esemka di
Solo bertanya, kapan mobil Esemka diekspor ke Jepang? Juga bisa dimengerti
mengapa Bank Danamon dan DBS memaksa untuk merger?
Tidak cukup dengan hal itu, mereka yang menjadikan Indonesia
sebagai kuda troya pun ingin aman. Maka, dibuatlah perjanjian jaminan investasi
mereka di Indonesia, seperti perjanjian jaminan investasi Singapura di
Indonesia yang dibuat pada 15 Februari 2005. Atau, perjanjian jaminan investasi
AS di Indonesia yang ditandatangani oleh Wapres Boediono di Washington pada 13
April 2010. Semua itu menjadi lebih kukuh dengan berlakunya UU No 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal.
Saya kira, teknokrat, politikus, dan kaum birokrat Indonesia sejak
era reformasi tidak belajar dari krisis multidimensional pada tahun 1997 dan
1998. Jika mereka belajar dengan baik dan mencintai negeri ini dengan sepenuh
hati, disertai kuatnya semangat mengangkat harkat martabat bangsa, mereka tidak
akan menciptakan utang luar negeri baru. Bahkan, sudah sepatutnya mereka yang memperoleh
amanah konstitusi untuk melakukan "3 R" (restrukturisasi, reskedul,
rekondisi) guna tegaknya kedaulatan ekonomi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar