Senin, 18 Juni 2012

Partai Demokrat di Ambang Prahara


Partai Demokrat di Ambang Prahara
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 18 Juni 2012


HASIL survei mutakhir dari berbagai lembaga survei mengenai elektabilitas Partai Demokrat membuat para elite politik partai berlambang segitiga biru itu mulai kalang kabut.

Partai penguasa yang perolehan suaranya sangat spektakuler, dari 7,5% pada Pemilu 2004 menjadi 21% pada Pemilu 2009, kini malah mengalami kemerosotan yang amat tajam menjadi 13% kemudian 12,3% atau bahkan kalangan dalam partai berani menyebut elektabilitas Partai Demokrat kini tinggal 10%.

Jika para jajaran elite partai tidak berupaya keras untuk menyelamatkan partai, bukan mustahil Partai Demokrat hanya akan memperoleh 7,5% pemilih pada Pemilu 2014. Bukan mustahil angkanya bahkan bisa di bawah angka batasan parlemen yang dipatok 3,5%! Jika itu terjadi, the rise and fall of Democratic Party akan menjadi kajian yang unik bagi para peneliti politik Indonesia.

Ada beberapa penyebab menukiknya elektabilitas Partai Demokrat. Pertama dan yang paling utama ialah merebaknya kasus-kasus korupsi yang melanda partai yang slogan kampanyenya pada Pemilu 2009 amat bombastis ‘Katakan tidak pada Korupsi’.

Kedua, partai yang juga mengutamakan kesantunan dalam berpolitik itu ternyata juga mengalami konflik pada tataran atas partai dan bawah partai yang tidak jarang menunjukkan ketidaksantunan dalam berpolitik.

Ketiga, tata kelola Partai Demokrat benar-benar amburadul sehingga memperkuat asumsi penulis sejak lama bahwa Partai Demokrat lebih sekadar fans club SBY ketimbang sebenar-benarnya partai politik.

Keempat, terkait dengan butir ketiga tersebut, ada kecenderungan politik di dalam c Partai Demokrat bahwa meP reka yang ada di dalam partai sebagian ialah benalu-benalu politik. Mereka tidak memiliki rasa memiliki dan perasaan kekitaan di dalam partai. Mereka hanya menggunakan partai sebagai kendaraan politik untuk mengejar keuntungan politik dan ekonomi.

Kelima, partai itu seperti kacang lupa akan kulitnya.
Itu bisa dilihat ketika para pendiri dan deklarator partai ialah sosok manusia-manusia yang hanya dibutuhkan sampai Pemilu 2004, tapi kemudian dibuang seperti pepatah habis manis sepah dibuang.

Keenam, jajaran elite baru partai selalu melakukan politik tumpas kelor, yaitu mengganti sebagian besar jajaran pengurus partai dari rezim sebelumnya. Itu tidak saja terjadi pada tingkatan DPP partai seperti yang terjadi setelah Kongres 2005, tetapi juga pada 2010.

Ketujuh, ketidakberanian jajaran elite politik untuk mengambil tindakan konkret ketika partai sedang limbung, tetapi malah menjadikan konflik dan persoalan di dalam partai itu semakin membesar dan sulit dikendalikan.

Isu Korupsi

Isu korupsi bukanlah hal yang baru di jajaran Partai Demokrat. Partai yang kampanyenya pada Pemilu 2009 begitu menarik bagai medan magnet politik yang kuat dengan slogan `Katakan tidak pada Korupsi' ternyata tak bebas dari kasus-kasus korupsi kecil dan besar.

Kasus-kasus korupsi seperti pengelolaan akomodasi haji di tanah suci, anggaran proyek prasarana pendidikan bagi 16 perguruan tinggi negeri, anggaran proyek pembangunan Wisma Atlet di Palembang, dan pembangunan pusat pendidikan dan latihan bagi atlet di Hambalang, Bogor, ialah contoh kasus korupsi yang menimpa Partai Demokrat.

Bukan hal yang baru pula Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kepada jajaran partainya bahwa mereka yang tidak dapat menjaga kebersihan partai dan berpolitik secara santun harus keluar dari Partai Demokrat. Pernyataan itu terasa basi karena sudah diucapkan berulang-ulang terutama pada Rapat Kerja Nasional Partai Demokrat di Sentul, Bogor, 2011, dan diulangi lagi pada Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat (FKPD-PD) Rabu (13/6) malam.

Kebiasaan buruk lain dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ialah selalu menuduh partai lain juga melakukan korupsi. Misalnya, ketika beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) mempersoalkan pembengkakan anggaran pada pembelian pesawat tempur Sukhoi, SBY juga menyatakan pembelian Sukhoi pada era Presiden Megawati Soekarnoputri juga harus diusut tuntas. Kini ia juga memandang `remeh' kasus korupsi di Partai Demokrat dengan menyatakan korupsi di tubuh Partai Demokrat hanya dilakukan segelintir kecil orang, sementara partai-partai lain juga melakukan korupsi!

SBY lupa bahwa sorotan publik terhadap Partai Demokrat disebabkan partai itu secara menggebu-gebu mengampanyekan slogan `Katakan tidak pada Korupsi'. Jika slogan itu tidak dikumandangkan, mungkin terpaan badai terhadap partai itu tidaklah sebesar saat ini.

Tata Kelola yang Buruk

Partai Demokrat ialah contoh partai yang tidak dikelola secara profesional. Partai itu juga melupakan kerja keras para pendiri dan deklarator partai. Para pendiri dan deklarator partai sebagian besar disingkirkan setelah Kongres 2005.

Tugas para pendiri dan deklarator partai seakan telah selesai begitu Partai Demokrat memperoleh suara 7,5% pada Pemilu Legislatif 2004 dan menjadikan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden pertama RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Ketika partai sedang di ambang prahara, barulah para pendiri dan deklarator partai kembali diajak bicara. Itu pun sebatas pada forum yang legalitas dan otoritasnya tidak tertera di dalam konstitusi partai.

Itu juga satu kebiasaan buruk SBY yang suka sekali membentuk tim atau forum sebagai penopang dirinya yang tidak berani mengambil keputusan sendiri. Pembentukan Tim 9 soal kasus Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ialah contoh kesukaan Presiden Yudhoyono membentuk tim.

Kini, di kala Demokrat di ambang prahara, SBY sebagai ketua dewan pembina partai juga melakukan pertemuan forum antarpendiri dan deklarator partai yang sebagian besar sudah berada di luar partai.

Kita tahu apa pun keputusan forum untuk bersih-bersih partai, hasil itu tidak mengangkat partai. Forum itu tidak memiliki otoritas politik untuk menjalankannya.

Ciri buruk lain dari Partai Demokrat ialah para elite politik baik di pusat ataupun di daerah tidak memiliki perasaan kekitaan (we feeling) di antara sesama anggota partai, dan kurang memiliki sense of belonging (perasaan memiliki) terhadap partai.

Contohnya, hiruk pikuk di dalam partai baik pada jajaran pimpinan pusat aupun daerah menunjukkan para elite partai lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan kelompok mereka ketimbang kepentingan partai. Kebiasaan ketua partai terpilih, di pusat maupun di daerah, untuk melakukan tumpas kelor, yakni mengganti sebagian besar kabinet partai yang lama, ialah contoh betapa kebersamaan di dalam partai benar-benar diabaikan.

Hal lain yang menggerogoti partai ialah berlakunya politik uang sogok-menyogok baik untuk dapat memenangi pemilihan di tingkat kongres, musyawarah daerah, dan musyawarah cabang partai. Penentuan calon kepala daerah juga ditentukan bukan oleh apakah para calon tersebut memiliki kapasitas untuk memimpin daerah tersebut, melainkan pada berapa banyak uang diberikan kepada pengurus partai agar calon tersebut menjadi calon resmi dari partai.

Walau praktik yang sama juga terjadi di partai-partai lain, persoalan elektabilitas dan kapasitas calon tetap dijadikan perhitungan oleh partai-partai tersebut. Jangan heran jika Partai Golkar dan PDIP masih memimpin dalam berbagai pemilu kada.

Krisis Tak Berujung

Apa yang terjadi di tubuh Partai Demokrat saat ini bagaikan krisis yang tak ada ujungnya. Perseteruan antara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan Ketua Umum Partai Demokrat bukan lagi isapan jempol prasangka negatif semata, melainkan menjurus kepada kenyataan. SBY sebagai ketua dewan pembina pernah menyatakan ia percaya kepada pernyataan Anas Urbaningrum yang tidak terlibat dalam kasus Hambalang atau proyek lainnya.

Jika pernyataan SBY benar, mengapa ia masih terus-menerus mengatakan mereka yang tidak bisa bersih sebaiknya keluar dari partai? Itu menunjukkan SBY tidak percaya kepada pernyataan politiknya sendiri.

Jika SBY tahu bahwa ada yang tidak beres di jajaran DPP Partai, mengapa ia tidak melakukan tindakan tegas? Jika memang tidak ada perseteruan terselubung, mengapa pula SBY tidak mengundang Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu saat SBY mengadakan pertemuan dengan para ketua DPD I Partai Demokrat? Apa pula yang akan dilakukan SBY pada pertemuan dengan pimpinan partai di tingkat cabang dan ranting pada 30 Agustus 2012?

Partai Demokrat tampaknya kini benar-benar berada di ambang prahara. Jika ego pribadi sudah mengalahkan rasa kebersamaan dan kekitaan di dalam partai, keruntuhan tinggal menunggu waktu. Jika itu benar-benar terjadi, Partai Demokrat akan tercatat dalam sejarah politik Indonesia pascareformasi sebagai ‘partai yang meroket pada satu masa pemilu dan menukik tajam pada satu masa pemilu berikutnya’!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar