Partai
Demokrat di Ambang Prahara
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 18 Juni 2012
HASIL
survei mutakhir dari berbagai lembaga survei mengenai elektabilitas Partai
Demokrat membuat para elite politik partai berlambang segitiga biru itu mulai
kalang kabut.
Partai
penguasa yang perolehan suaranya sangat spektakuler, dari 7,5% pada Pemilu 2004
menjadi 21% pada Pemilu 2009, kini malah mengalami kemerosotan yang amat tajam
menjadi 13% kemudian 12,3% atau bahkan kalangan dalam partai berani menyebut
elektabilitas Partai Demokrat kini tinggal 10%.
Jika
para jajaran elite partai tidak berupaya keras untuk menyelamatkan partai,
bukan mustahil Partai Demokrat hanya akan memperoleh 7,5% pemilih pada Pemilu
2014. Bukan mustahil angkanya bahkan bisa di bawah angka batasan parlemen yang
dipatok 3,5%! Jika itu terjadi, the rise
and fall of Democratic Party akan menjadi kajian yang unik bagi para
peneliti politik Indonesia.
Ada
beberapa penyebab menukiknya elektabilitas Partai Demokrat. Pertama dan yang
paling utama ialah merebaknya kasus-kasus korupsi yang melanda partai yang
slogan kampanyenya pada Pemilu 2009 amat bombastis ‘Katakan tidak pada Korupsi’.
Kedua,
partai yang juga mengutamakan kesantunan dalam berpolitik itu ternyata juga
mengalami konflik pada tataran atas partai dan bawah partai yang tidak jarang
menunjukkan ketidaksantunan dalam berpolitik.
Ketiga,
tata kelola Partai Demokrat benar-benar amburadul sehingga memperkuat asumsi
penulis sejak lama bahwa Partai Demokrat lebih sekadar fans club SBY ketimbang sebenar-benarnya partai politik.
Keempat,
terkait dengan butir ketiga tersebut, ada kecenderungan politik di dalam c
Partai Demokrat bahwa meP reka yang ada di dalam partai sebagian ialah benalu-benalu
politik. Mereka tidak memiliki rasa memiliki dan perasaan kekitaan di dalam
partai. Mereka hanya menggunakan partai sebagai kendaraan politik untuk
mengejar keuntungan politik dan ekonomi.
Kelima,
partai itu seperti kacang lupa akan kulitnya.
Itu bisa dilihat ketika para pendiri dan deklarator partai ialah sosok manusia-manusia yang hanya dibutuhkan sampai Pemilu 2004, tapi kemudian dibuang seperti pepatah habis manis sepah dibuang.
Itu bisa dilihat ketika para pendiri dan deklarator partai ialah sosok manusia-manusia yang hanya dibutuhkan sampai Pemilu 2004, tapi kemudian dibuang seperti pepatah habis manis sepah dibuang.
Keenam,
jajaran elite baru partai selalu melakukan politik tumpas kelor, yaitu
mengganti sebagian besar jajaran pengurus partai dari rezim sebelumnya. Itu
tidak saja terjadi pada tingkatan DPP partai seperti yang terjadi setelah
Kongres 2005, tetapi juga pada 2010.
Ketujuh,
ketidakberanian jajaran elite politik untuk mengambil tindakan konkret ketika
partai sedang limbung, tetapi malah menjadikan konflik dan persoalan di dalam
partai itu semakin membesar dan sulit dikendalikan.
Isu Korupsi
Isu
korupsi bukanlah hal yang baru di jajaran Partai Demokrat. Partai yang
kampanyenya pada Pemilu 2009 begitu menarik bagai medan magnet politik yang
kuat dengan slogan `Katakan tidak pada
Korupsi' ternyata tak bebas dari kasus-kasus korupsi kecil dan besar.
Kasus-kasus
korupsi seperti pengelolaan akomodasi haji di tanah suci, anggaran proyek
prasarana pendidikan bagi 16 perguruan tinggi negeri, anggaran proyek
pembangunan Wisma Atlet di Palembang, dan pembangunan pusat pendidikan dan
latihan bagi atlet di Hambalang, Bogor, ialah contoh kasus korupsi yang menimpa
Partai Demokrat.
Bukan
hal yang baru pula Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono
menyatakan kepada jajaran partainya bahwa mereka yang tidak dapat menjaga
kebersihan partai dan berpolitik secara santun harus keluar dari Partai
Demokrat. Pernyataan itu terasa basi karena sudah diucapkan berulang-ulang
terutama pada Rapat Kerja Nasional Partai Demokrat di Sentul, Bogor, 2011, dan
diulangi lagi pada Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat
(FKPD-PD) Rabu (13/6) malam.
Kebiasaan
buruk lain dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ialah selalu menuduh partai
lain juga melakukan korupsi. Misalnya, ketika beberapa lembaga swadaya
masyarakat (LSM) mempersoalkan pembengkakan anggaran pada pembelian pesawat
tempur Sukhoi, SBY juga menyatakan pembelian Sukhoi pada era Presiden Megawati
Soekarnoputri juga harus diusut tuntas. Kini ia juga memandang `remeh' kasus korupsi
di Partai Demokrat dengan menyatakan korupsi di tubuh Partai Demokrat hanya
dilakukan segelintir kecil orang, sementara partai-partai lain juga melakukan
korupsi!
SBY
lupa bahwa sorotan publik terhadap Partai Demokrat disebabkan partai itu secara
menggebu-gebu mengampanyekan slogan `Katakan
tidak pada Korupsi'. Jika slogan itu tidak dikumandangkan, mungkin terpaan
badai terhadap partai itu tidaklah sebesar saat ini.
Tata Kelola yang Buruk
Partai
Demokrat ialah contoh partai yang tidak dikelola secara profesional. Partai itu
juga melupakan kerja keras para pendiri dan deklarator partai. Para pendiri dan
deklarator partai sebagian besar disingkirkan setelah Kongres 2005.
Tugas
para pendiri dan deklarator partai seakan telah selesai begitu Partai Demokrat
memperoleh suara 7,5% pada Pemilu Legislatif 2004 dan menjadikan Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai Presiden pertama RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ketika
partai sedang di ambang prahara, barulah para pendiri dan deklarator partai
kembali diajak bicara. Itu pun sebatas pada forum yang legalitas dan
otoritasnya tidak tertera di dalam konstitusi partai.
Itu
juga satu kebiasaan buruk SBY yang suka sekali membentuk tim atau forum sebagai
penopang dirinya yang tidak berani mengambil keputusan sendiri. Pembentukan Tim
9 soal kasus Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ialah
contoh kesukaan Presiden Yudhoyono membentuk tim.
Kini,
di kala Demokrat di ambang prahara, SBY sebagai ketua dewan pembina partai juga
melakukan pertemuan forum antarpendiri dan deklarator partai yang sebagian
besar sudah berada di luar partai.
Kita
tahu apa pun keputusan forum untuk bersih-bersih partai, hasil itu tidak
mengangkat partai. Forum itu tidak memiliki otoritas politik untuk
menjalankannya.
Ciri
buruk lain dari Partai Demokrat ialah para elite politik baik di pusat ataupun
di daerah tidak memiliki perasaan kekitaan (we
feeling) di antara sesama anggota partai, dan kurang memiliki sense of belonging (perasaan memiliki)
terhadap partai.
Contohnya,
hiruk pikuk di dalam partai baik pada jajaran pimpinan pusat aupun daerah
menunjukkan para elite partai lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan
kelompok mereka ketimbang kepentingan partai. Kebiasaan ketua partai terpilih,
di pusat maupun di daerah, untuk melakukan tumpas kelor, yakni mengganti
sebagian besar kabinet partai yang lama, ialah contoh betapa kebersamaan di
dalam partai benar-benar diabaikan.
Hal
lain yang menggerogoti partai ialah berlakunya politik uang sogok-menyogok baik
untuk dapat memenangi pemilihan di tingkat kongres, musyawarah daerah, dan
musyawarah cabang partai. Penentuan calon kepala daerah juga ditentukan bukan
oleh apakah para calon tersebut memiliki kapasitas untuk memimpin daerah
tersebut, melainkan pada berapa banyak uang diberikan kepada pengurus partai
agar calon tersebut menjadi calon resmi dari partai.
Walau
praktik yang sama juga terjadi di partai-partai lain, persoalan elektabilitas
dan kapasitas calon tetap dijadikan perhitungan oleh partai-partai tersebut.
Jangan heran jika Partai Golkar dan PDIP masih memimpin dalam berbagai pemilu
kada.
Krisis Tak Berujung
Apa
yang terjadi di tubuh Partai Demokrat saat ini bagaikan krisis yang tak ada
ujungnya. Perseteruan antara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan Ketua Umum
Partai Demokrat bukan lagi isapan jempol prasangka negatif semata, melainkan
menjurus kepada kenyataan. SBY sebagai ketua dewan pembina pernah menyatakan ia
percaya kepada pernyataan Anas Urbaningrum yang tidak terlibat dalam kasus
Hambalang atau proyek lainnya.
Jika
pernyataan SBY benar, mengapa ia masih terus-menerus mengatakan mereka yang
tidak bisa bersih sebaiknya keluar dari partai? Itu menunjukkan SBY tidak
percaya kepada pernyataan politiknya sendiri.
Jika
SBY tahu bahwa ada yang tidak beres di jajaran DPP Partai, mengapa ia tidak
melakukan tindakan tegas? Jika memang tidak ada perseteruan terselubung,
mengapa pula SBY tidak mengundang Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu saat SBY
mengadakan pertemuan dengan para ketua DPD I Partai Demokrat? Apa pula yang
akan dilakukan SBY pada pertemuan dengan pimpinan partai di tingkat cabang dan
ranting pada 30 Agustus 2012?
Partai
Demokrat tampaknya kini benar-benar berada di ambang prahara. Jika ego pribadi
sudah mengalahkan rasa kebersamaan dan kekitaan di dalam partai, keruntuhan
tinggal menunggu waktu. Jika itu benar-benar terjadi, Partai Demokrat akan tercatat
dalam sejarah politik Indonesia pascareformasi sebagai ‘partai yang meroket pada satu masa pemilu dan menukik tajam pada satu
masa pemilu berikutnya’! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar