Rebranding
Program KB
Haryono Suyono ; Mantan Menko Kesra dan
Taskin
Sumber : SUARA
KARYA, 18 Juni 2012
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, sejalan dengan
keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) yang diakui dunia dengan pemberian
penghargaan PBB tahun 1989 kepada Presiden RI Ke-2, Bapak HM Soeharto (Alm),
pada 1993 dicanangkan perubahan brand
baru atau rebranding gerakan KB
sebagai Gerakan Pembangunan Keluarga
Sejahtera. Keluarga Indonesia dibagi dalam lima kategori, yaitu keluarga
prasejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera
III dan keluarga sejahtera III Plus.
Pembagian itu bukan untuk memisah-misahkan dan membuatkan sebagai
label tetap. Tetapi, sebagai pedoman agar setiap keluarga bisa dikembangkan
menurut tahapan pembangunan, dengan dorongan, bantuan atau pendampingan yang
terarah. Setiap keluarga diharapkan mampu secara mandiri bergerak dari satu
tahapan yang paling rendah menuju ke tahapan berikutnya. Setiap tahapan
mempunyai indikator yang secara mandiri dapat diubah oleh keluarga yang
bersangkutan. Dengan demikian, upaya pengembangan, dalam arti sempit upaya
pengentasan kemiskinan keluarga, dapat dilakukan oleh keluarga secara mandiri.
Sebagai contoh, salah satu indikator keluarga prasejahtera adalah
karena rumahnya berlantai tanah. Rumah lantai tanah membahayakan anggota
keluarganya. Utamanya, anak balita yang rawan sakit dan dapat menguras
pendapatan keluarga yang sangat minim untuk keperluan pengobatan sang anak yang
tidak produktif.
Dengan bantuan tetangganya secara sederhana, lantai tanah itu
dapat diubah menjadi lantai dengan semen sehingga keluarga itu berubah dengan
mudah menjadi keluarga sejahtera I. Pendapatan keluarga itu bertambah bukan
karena pendapatannya berubah, tetapi konsumsi untuk pengobatan anak balitanya
tidak perlu dikeluarkan karena berkat kebersihan yang bertambah baik, anaknya tidak
sakit. Dengan demikian keluarga itu bisa memupuk modal untuk usaha dagang yang
menguntungkan.
Keluarga sejahtera III adalah keluarga mampu dan memenuhi segala
syarat sebagai keluarga yang sejahtera. Tetapi, keluarga sejahtera biasa perlu
ditingkatkan menjadi keluarga sejahatera III Plus, yaitu keluarga sejahtera
yang mempunyai perhatian dan siap berbagi dengan sesama tetangganya yang masih
tergolong sebagai keluarga prasejahtera atau keluarga sejahtera I dan keluarga
sejahtera II. Dengan cara itu, dalam suatu komunitas, sekarang dalam lingkungan
Posdaya, gerakan pembangunan bisa diarahkan mempergunakan tahapan keluarga itu
sebagai pedoman untuk hidup rukun dan gotong-royong dalam masyarakat saling
tolong-menolong dan mengangkatnya menjadi keluarga sejahtera secara merata.
Brand baru pengembangan keluarga itu mendapat perhatian yang luar
biasa dari dunia internasional. Sayang, sejak tahun 2000 terjadi disaster yang
luar biasa dan gerakan baru itu seakan diberhentikan tanpa sebab yang berarti.
Upaya untuk revitalisasi tahun 2006, tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), yang akhir tahun sebelumnya ikut menandatangani Piagam PBB tentang MDGs
di New York, terkejut bahwa upaya pembangunan di Indonesia kurang memperhatikan
masalah kependudukan dan pembangunan keluarga.
Tetapi, sinyal Presiden itu tidak disertai pengertian yang benar.
Revitalisasi hanya dilakukan seperti ajakan kembali ke tahun 1970-an. Para
pemegang kebijakan lupa bahwa alat kontrasepsi bukan satu-satunya yang harus
ditawarkan kepada keluarga di pedesaan dan perkotaan. Tetapi, yang lebih
penting adalah pengertian yang mendalam serta fasilitasi untuk mengembangkan
delapan fungsi keluarga secara terpadu. Pengertian dan praktik dari delapan
fungsi keluarga itu harus menjadi brand baru
guna mensukseskan ajakan Presiden mengentaskan kemiskinan dan membangun secara
terpadu.
Perubahan paradigma ini menempatkan Pos Pemberdayaan Keluarga
(Posdaya) yang mulai ditanggapi di berbagai konferensi internasional sebagai
salah satu jalan keluar, di mana rakyat banyak memperoleh pemberdayaan secara
paripurna. Rakyat banyak, utamanya keluarga miskin muda, diperkenalkan pada
paradigma persiapan untuk bekerja keras, gotong-royong dan mandiri sehingga
muncul gagasan hidup bersubsidi silang dalam pemeliharaan kesehatan,
kesejahteraan antargenerasi dan antarkeluarga kaya dan miskin.
Keluarga muda diharapkan memberikan sumbangan besar kepada
akumulasi modal yang dapat mendorong pemberian sumbangan pada keluarga yang
sama di usia yang lebih tua tetapi sumbangannya lebih ringan. Atau, keluarga
miskin yang sumbangannya dalam pundi bersama yang lebih kecil dibandingkan
dengan keluarga kaya yang bisa memberi sumbangan pada pundi bersama dalam
jumlah yang lebih besar.
Gotong-royong yang diatur dalam sistem yang adil itu memberi
jaminan bahwa pelayanan pembangunan sosial tidak perlu gratis dan
dibeda-bedakan. Tetapi, dapat memberikan treatment
yang sama, karena bebannya ditanggung oleh seluruh keluarga atau penduduk
secara adil dan merata. Untuk itulah diperlukan komitmen dari pemimpin bangsa
untuk mengembangkan pendekatan paradigma baru ini sebagai pemimpin visioner,
bukan pemimpin yang tampak hebat dengan pelayanan gratis, tetapi membebani
rakyatnya dengan pajak tinggi, utang atau pengurangan dana pembangunan secara
besar-besaran.
Untuk berhasil secara maksimal dalam upaya mengentaskan
kemiskinan, maka perlu segera dianut paradigma pembangunan keluarga secara
penuh. Anutan itu akan mendorong pemberdayaan dan pelayanan pembangunan secara
lebih baik. Perubahan paradigma sebagai rebranding pembangunan keluarga, perlu
menjadi perhatian dan komitmen bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar