Senin, 18 Juni 2012

Rebranding Program KB


Rebranding Program KB
Haryono Suyono ; Mantan Menko Kesra dan Taskin
Sumber :  SUARA KARYA, 18 Juni 2012
 

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, sejalan dengan keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) yang diakui dunia dengan pemberian penghargaan PBB tahun 1989 kepada Presiden RI Ke-2, Bapak HM Soeharto (Alm), pada 1993 dicanangkan perubahan brand baru atau rebranding gerakan KB sebagai Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Keluarga Indonesia dibagi dalam lima kategori, yaitu keluarga prasejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III Plus.

Pembagian itu bukan untuk memisah-misahkan dan membuatkan sebagai label tetap. Tetapi, sebagai pedoman agar setiap keluarga bisa dikembangkan menurut tahapan pembangunan, dengan dorongan, bantuan atau pendampingan yang terarah. Setiap keluarga diharapkan mampu secara mandiri bergerak dari satu tahapan yang paling rendah menuju ke tahapan berikutnya. Setiap tahapan mempunyai indikator yang secara mandiri dapat diubah oleh keluarga yang bersangkutan. Dengan demikian, upaya pengembangan, dalam arti sempit upaya pengentasan kemiskinan keluarga, dapat dilakukan oleh keluarga secara mandiri.

Sebagai contoh, salah satu indikator keluarga prasejahtera adalah karena rumahnya berlantai tanah. Rumah lantai tanah membahayakan anggota keluarganya. Utamanya, anak balita yang rawan sakit dan dapat menguras pendapatan keluarga yang sangat minim untuk keperluan pengobatan sang anak yang tidak produktif.

Dengan bantuan tetangganya secara sederhana, lantai tanah itu dapat diubah menjadi lantai dengan semen sehingga keluarga itu berubah dengan mudah menjadi keluarga sejahtera I. Pendapatan keluarga itu bertambah bukan karena pendapatannya berubah, tetapi konsumsi untuk pengobatan anak balitanya tidak perlu dikeluarkan karena berkat kebersihan yang bertambah baik, anaknya tidak sakit. Dengan demikian keluarga itu bisa memupuk modal untuk usaha dagang yang menguntungkan.

Keluarga sejahtera III adalah keluarga mampu dan memenuhi segala syarat sebagai keluarga yang sejahtera. Tetapi, keluarga sejahtera biasa perlu ditingkatkan menjadi keluarga sejahatera III Plus, yaitu keluarga sejahtera yang mempunyai perhatian dan siap berbagi dengan sesama tetangganya yang masih tergolong sebagai keluarga prasejahtera atau keluarga sejahtera I dan keluarga sejahtera II. Dengan cara itu, dalam suatu komunitas, sekarang dalam lingkungan Posdaya, gerakan pembangunan bisa diarahkan mempergunakan tahapan keluarga itu sebagai pedoman untuk hidup rukun dan gotong-royong dalam masyarakat saling tolong-menolong dan mengangkatnya menjadi keluarga sejahtera secara merata.

Brand baru pengembangan keluarga itu mendapat perhatian yang luar biasa dari dunia internasional. Sayang, sejak tahun 2000 terjadi disaster yang luar biasa dan gerakan baru itu seakan diberhentikan tanpa sebab yang berarti. Upaya untuk revitalisasi tahun 2006, tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang akhir tahun sebelumnya ikut menandatangani Piagam PBB tentang MDGs di New York, terkejut bahwa upaya pembangunan di Indonesia kurang memperhatikan masalah kependudukan dan pembangunan keluarga.

Tetapi, sinyal Presiden itu tidak disertai pengertian yang benar. Revitalisasi hanya dilakukan seperti ajakan kembali ke tahun 1970-an. Para pemegang kebijakan lupa bahwa alat kontrasepsi bukan satu-satunya yang harus ditawarkan kepada keluarga di pedesaan dan perkotaan. Tetapi, yang lebih penting adalah pengertian yang mendalam serta fasilitasi untuk mengembangkan delapan fungsi keluarga secara terpadu. Pengertian dan praktik dari delapan fungsi keluarga itu harus menjadi brand baru guna mensukseskan ajakan Presiden mengentaskan kemiskinan dan membangun secara terpadu.

Perubahan paradigma ini menempatkan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang mulai ditanggapi di berbagai konferensi internasional sebagai salah satu jalan keluar, di mana rakyat banyak memperoleh pemberdayaan secara paripurna. Rakyat banyak, utamanya keluarga miskin muda, diperkenalkan pada paradigma persiapan untuk bekerja keras, gotong-royong dan mandiri sehingga muncul gagasan hidup bersubsidi silang dalam pemeliharaan kesehatan, kesejahteraan antargenerasi dan antarkeluarga kaya dan miskin.

Keluarga muda diharapkan memberikan sumbangan besar kepada akumulasi modal yang dapat mendorong pemberian sumbangan pada keluarga yang sama di usia yang lebih tua tetapi sumbangannya lebih ringan. Atau, keluarga miskin yang sumbangannya dalam pundi bersama yang lebih kecil dibandingkan dengan keluarga kaya yang bisa memberi sumbangan pada pundi bersama dalam jumlah yang lebih besar.

Gotong-royong yang diatur dalam sistem yang adil itu memberi jaminan bahwa pelayanan pembangunan sosial tidak perlu gratis dan dibeda-bedakan. Tetapi, dapat memberikan treatment yang sama, karena bebannya ditanggung oleh seluruh keluarga atau penduduk secara adil dan merata. Untuk itulah diperlukan komitmen dari pemimpin bangsa untuk mengembangkan pendekatan paradigma baru ini sebagai pemimpin visioner, bukan pemimpin yang tampak hebat dengan pelayanan gratis, tetapi membebani rakyatnya dengan pajak tinggi, utang atau pengurangan dana pembangunan secara besar-besaran.

Untuk berhasil secara maksimal dalam upaya mengentaskan kemiskinan, maka perlu segera dianut paradigma pembangunan keluarga secara penuh. Anutan itu akan mendorong pemberdayaan dan pelayanan pembangunan secara lebih baik. Perubahan paradigma sebagai rebranding pembangunan keluarga, perlu menjadi perhatian dan komitmen bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar