Quo
Vadis Tanwir Muhammadiyah?
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina
Sumber : REPUBLIKA,
22 Juni 2012
Pascamuktamar
Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah kini menyelenggarakan
sidang Tanwir di Kota Kembang, Bandung, Jawa Barat, pada 21-24 Juni 2012. Sebagai
gerakan keagamaan, Muhammadiyah selama ini memberi kontribusi pada penebaran
pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya menjunjung nilai-nilai penghargaan
terhadap perbedaan agama. Namun, seiring berlangsungnya iklim perubahan di era
reformasi, nilai-nilai Islam yang diusung ormas Islam mulai bergeser, utamanya
akibat munculnya ormas keislaman baru yang fanatis dan fundamentalistis.
Bahkan,
pemahaman yang fanatik fundamentalistis itu kian hari kian tumbuh dalam
idealisme di sebagian masya rakat Islam. Pemahaman itu kemudian menjadi
sebentuk gerakan massif yang melandasi munculnya ormas-ormas keislaman baru.
Ormas-ormas keislaman lama, seperti Muhammadiyah dan juga Nahdlatul Ulama (NU)
dalam wacana politik nasional cenderung menjadi semakin “termarginalkan”,
karena digantikan oleh kemunculan ormas keislaman baru yang menghiasi
media-media massa.
Meskipun
pemahaman fundamentalistis dalam peta sosial masyarakat Islam terasa semakin
tumbuh, terutama karena kemunculannya yang menghiasi media-media massa, namun
menurut Azyumardi Azra (Indonesia, Islam
and Democracy, 2006), kaum Muslim yang memiliki pemahaman seperti itu, maupun
mereka kaum Muslim yang tergabung dalam ormas-ormas Islam yang boleh dikatakan
sebagai gerakan fundamentalis, tetap saja hanyalah gerakan periferal dalam
masyarakat Islam Indonesia secara menyeluruh.
Pada
intinya ciri Muslim Indonesia (masih) tetap moderat, dalam pengertian tetap
menjalankan syariat Islam sehari-hari, syariat tidak harus distrukturkan ke
dalam bentuk aturan kenegaraan yang resmi, akan tetapi dipahami sebagai aturan
kultural masyarakat Islam semata, seperti menjalankan shalat setiap hari lima
kali, menjalankan puasa di bulan Ramadhan, melakukan haji, menunaikan zakat,
dan seterusnya.
Namun,
periferalisasi aktivis maupun ormas Islam yang dikategorisasi sebagai gerakan
fundamentalis itu, jika terus dibiarkan boleh jadi akan terus bertambah dan
ideologisasinya bisa terus membumi dalam masyarakat Islam di Indonesia secara
menyeluruh. Dengan bahasa lain, jika penelitian yang sudah dilakukan bahwa
fenomena fundamentalis Islam selama ini cenderung hanya dilihat pada masyarakat
Muslim perkotaan, boleh jadi jika terus dibiarkan maka ideologisasi gerakannya
masuk ke wilayah-wilayah Muslim pedesaan dan di pesantren-pesantren. Di sinilah
letak tantangan ormas Islam seperti Muhammadiyah-NU, bagaimana ormas ini bisa
membendung fenomena gerakan fundamentalisme dalam agama ini.
Paling
tidak ada tiga modus, bagai ma na pemahaman fundamentalistis dari perkotaan itu
bisa masuk di wilayah-wilayah pedesaan dan pesantren. Pertama, melalui media
massa yang dalam hal itu, pertumbuhan media cetak yang dipublikasi oleh aktivis
maupun gerakan fundamentalis, dikemas dengan tema dan wacana yang menarik
perhatian, sehingga bisa menyebar dan memengaruhi cara berpikir masyarakat
Islam umumnya menuju pada cara berpikir yang fanatis dan fundamentalistis.
Kedua,
melalui dakwah-dakwah yang menyebar di ruang-ruang pendidikan, baik di sekolah,
kampus, maupun pesantren. Pola transmisi ideologis aktivis dan gerakan
fundamentalis ialah melalui jalur-jalur kultural di bidang pendidikan.
Ketiga,
melalui aktivitas politik, di mana aktivis dan gerakan fundamentalis lazimnya
masuk dalam dunia politik dan ambisinya adalah merebut suara masyarakat Islam
seluas-luasnya. Pola aktivitas politik yang dilakukan, biasanya digabungkan
atau difermentasikan dengan kegiatan-kegiatan dakwah yang mampu memasuki ruang-ruang
publik masyarakat Islam secara lebih luas.
Pemahaman
fundamentalistis, misalnya, menganggap negara tak bisa menyelesaikan
problematika krisis sosial, seperti bahwa kemiskinan, kebodohan, serta
“penyakit masyarakat“ lainnya (soal prostitusi, diskotek, penyalahgunaan
narkoba) tak bisa diselesaikan, bahkan keadaannya bertambah buruk, karena
negara tidak memberlakukan aturan-aturan dengan ajaran Islam. Negara mestinya
kembali pada sumber dan spirit ajaran Islam, jika menginginkan perubahan yang
signifikan bagi pengentasan masalah sosial itu.
Demikian,
terjadinya pergeseran sosial Islam yang menuju ke arah fundamentalisme, terpicu
karena beberapa hal. Pertama, karena ketidakpercayaan terhadap negara. Kedua,
karena Islam tidak menjadi faktor signifikan dalam struktur negara. Ketiga,
negara terlalu mengakomodasi kepentingan-kepentingan dari Barat (Amerika dan
sekutunya) baik dalam persoalan sistem kenegaraan, demokrasi, maupun campur
tangan ekonomi, sedangkan di sisi lain, antara kepentingan Barat dan masyarakat
Islam di Indonesia umumnya selalu terjadi kutub biner. Tatanan nilai dari Barat, diyakini turut menyebarkan
nilai-nilai amoral dalam masyarakat Islam khususnya, sehingga menjadi kian
terpuruk.
Adanya
kecenderungan ormas yang menginginkan segala sesuatu harus dikembalikan pada
sumber-sumber ajaran Islam, sementara menafikan keragaman bangsa yang pluralis
harus diredam serta diluruskan pemahaman keagamaannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar