Sabtu, 23 Juni 2012

Quo Vadis Tanwir Muhammadiyah?

Quo Vadis Tanwir Muhammadiyah?
Ismatillah A Nu’ad ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina
Sumber :  REPUBLIKA, 22 Juni 2012


Pascamuktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah kini menyelenggarakan sidang Tanwir di Kota Kembang, Bandung, Jawa Barat, pada 21-24 Juni 2012. Sebagai gerakan keagamaan, Muhammadiyah selama ini memberi kontribusi pada penebaran pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya menjunjung nilai-nilai penghargaan terhadap perbedaan agama. Namun, seiring berlangsungnya iklim perubahan di era reformasi, nilai-nilai Islam yang diusung ormas Islam mulai bergeser, utamanya akibat munculnya ormas keislaman baru yang fanatis dan fundamentalistis.

Bahkan, pemahaman yang fanatik fundamentalistis itu kian hari kian tumbuh dalam idealisme di sebagian masya rakat Islam. Pemahaman itu kemudian menjadi sebentuk gerakan massif yang melandasi munculnya ormas-ormas keislaman baru. Ormas-ormas keislaman lama, seperti Muhammadiyah dan juga Nahdlatul Ulama (NU) dalam wacana politik nasional cenderung menjadi semakin “termarginalkan”, karena digantikan oleh kemunculan ormas keislaman baru yang menghiasi media-media massa.

Meskipun pemahaman fundamentalistis dalam peta sosial masyarakat Islam terasa semakin tumbuh, terutama karena kemunculannya yang menghiasi media-media massa, namun menurut Azyumardi Azra (Indonesia, Islam and Democracy, 2006), kaum Muslim yang memiliki pemahaman seperti itu, maupun mereka kaum Muslim yang tergabung dalam ormas-ormas Islam yang boleh dikatakan sebagai gerakan fundamentalis, tetap saja hanyalah gerakan periferal dalam masyarakat Islam Indonesia secara menyeluruh.

Pada intinya ciri Muslim Indonesia (masih) tetap moderat, dalam pengertian tetap menjalankan syariat Islam sehari-hari, syariat tidak harus distrukturkan ke dalam bentuk aturan kenegaraan yang resmi, akan tetapi dipahami sebagai aturan kultural masyarakat Islam semata, seperti menjalankan shalat setiap hari lima kali, menjalankan puasa di bulan Ramadhan, melakukan haji, menunaikan zakat, dan seterusnya.

Namun, periferalisasi aktivis maupun ormas Islam yang dikategorisasi sebagai gerakan fundamentalis itu, jika terus dibiarkan boleh jadi akan terus bertambah dan ideologisasinya bisa terus membumi dalam masyarakat Islam di Indonesia secara menyeluruh. Dengan bahasa lain, jika penelitian yang sudah dilakukan bahwa fenomena fundamentalis Islam selama ini cenderung hanya dilihat pada masyarakat Muslim perkotaan, boleh jadi jika terus dibiarkan maka ideologisasi gerakannya masuk ke wilayah-wilayah Muslim pedesaan dan di pesantren-pesantren. Di sinilah letak tantangan ormas Islam seperti Muhammadiyah-NU, bagaimana ormas ini bisa membendung fenomena gerakan fundamentalisme dalam agama ini.

Paling tidak ada tiga modus, bagai ma na pemahaman fundamentalistis dari perkotaan itu bisa masuk di wilayah-wilayah pedesaan dan pesantren. Pertama, melalui media massa yang dalam hal itu, pertumbuhan media cetak yang dipublikasi oleh aktivis maupun gerakan fundamentalis, dikemas dengan tema dan wacana yang menarik perhatian, sehingga bisa menyebar dan memengaruhi cara berpikir masyarakat Islam umumnya menuju pada cara berpikir yang fanatis dan fundamentalistis.

Kedua, melalui dakwah-dakwah yang menyebar di ruang-ruang pendidikan, baik di sekolah, kampus, maupun pesantren. Pola transmisi ideologis aktivis dan gerakan fundamentalis ialah melalui jalur-jalur kultural di bidang pendidikan.

Ketiga, melalui aktivitas politik, di mana aktivis dan gerakan fundamentalis lazimnya masuk dalam dunia politik dan ambisinya adalah merebut suara masyarakat Islam seluas-luasnya. Pola aktivitas politik yang dilakukan, biasanya digabungkan atau difermentasikan dengan kegiatan-kegiatan dakwah yang mampu memasuki ruang-ruang publik masyarakat Islam secara lebih luas.

Pemahaman fundamentalistis, misalnya, menganggap negara tak bisa menyelesaikan problematika krisis sosial, seperti bahwa kemiskinan, kebodohan, serta “penyakit masyarakat“ lainnya (soal prostitusi, diskotek, penyalahgunaan narkoba) tak bisa diselesaikan, bahkan keadaannya bertambah buruk, karena negara tidak memberlakukan aturan-aturan dengan ajaran Islam. Negara mestinya kembali pada sumber dan spirit ajaran Islam, jika menginginkan perubahan yang signifikan bagi pengentasan masalah sosial itu.

Demikian, terjadinya pergeseran sosial Islam yang menuju ke arah fundamentalisme, terpicu karena beberapa hal. Pertama, karena ketidakpercayaan terhadap negara. Kedua, karena Islam tidak menjadi faktor signifikan dalam struktur negara. Ketiga, negara terlalu mengakomodasi kepentingan-kepentingan dari Barat (Amerika dan sekutunya) baik dalam persoalan sistem kenegaraan, demokrasi, maupun campur tangan ekonomi, sedangkan di sisi lain, antara kepentingan Barat dan masyarakat Islam di Indonesia umumnya selalu terjadi kutub biner. Tatanan nilai dari Barat, diyakini turut menyebarkan nilai-nilai amoral dalam masyarakat Islam khususnya, sehingga menjadi kian terpuruk.

Adanya kecenderungan ormas yang menginginkan segala sesuatu harus dikembalikan pada sumber-sumber ajaran Islam, sementara menafikan keragaman bangsa yang pluralis harus diredam serta diluruskan pemahaman keagamaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar