Pembangunan
dan Kebijakan Afirmasi
Binsar A Hutabarat ; Peneliti pada Reformed Center for Religion and Society
Sumber : SINAR
HARAPAN, 22 Juni 2012
Sekitar 85 persen pengelolaan lapangan migas
di Indonesia saat ini dikuasai asing dan memperkaya asing.
Misalnya, PT Freeport Indonesia yang telah
puluhan tahun menambang emas dan tembaga di Mimika Papua, merupakan salah satu
penghasil emas terbesar di dunia dengan kontribusi laba terhadap perusahaan
induknya, Freeport McMorran yang tercatat di New York Stock Exchange, mencapai
70 persen lebih. Perusahaan asing itu bukti bahwa manfaat
terbesar perusahaan-perusahaan tambang Indonesia dinikmati kepentingan asing,
kekayaan alam Indonesia terus-menerus dikeruk oleh asing.
Dominasi asing juga merambah di bisnis
telekomunikasi, juga berbagai bank swasta nasional hampir 50 sahamnya dikuasai
berbagai bank asing. Perkembangan tersebut semakin meneguhkan Indonesia saat
ini sedang mengalami krisis kedaulatan ekonomi.
Intervensi asing yang dimungkinkan dengan penguasaan
bidang-bidang strategis itu akan membuat pembangunan Indonesia tidak “melulu”
untuk rakyat Indonesia, tetapi juga untuk kepentingan asing. Bila pemerintah
tidak bertindak menyudahi dominasi asing ini yang paling menderita adalah
rakyat miskin.
Selain itu, rakyat harus bersama-sama
menggelorakan kembali semangat gotong royong untuk mendesak pemerintah
melaksanakan pembangunan berkeadilan, yaitu pembangunan yang berpihak pada si
miskin, yang memang jumlah terbanyak penduduk Indonesia.
Mandat Konstitusi
Pembangunan berkeadilan adalah mandat
konstitusi. Alinea kedua pembukaan UUD 1945 secara indah melukiskan, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Lebih lanjut Pasal 33 UUD 45 menetapkan,
rakyat Indonesia berhak mendapatkan kesejahteraan melalui pengelolaan alam
Indonesia yang dikuasai negara. Asing tak boleh menguasai kekayaan alam
Indonesia; dan rakyat Indonesia harus mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya
dari pengelolaan alam tersebut.
Bila pemerintah punya komitmen kuat
melaksanakan pembangunan berkeadilan di negeri ini, jurang antara si kaya dan
si miskin pasti kian menyempit. Makin lebarnya jurang antara si kaya dan si
miskin di negeri ini mesti menjadi alarm bagi pemerintah bahwa ada yang salah
dalam pembangunan Indonesia.
Sebagai bangsa yang terkenal dengan semangat
gotong royongnya kita tentu tak boleh membiarkan kondisi ini berlanjut.
Ketidakadilan pembangunan mestinya juga menjadi tanggung jawab semua elemen
bangsa.
Gotong Royong Kian Tipis
Soekarno mengakui, sila-sila dari Pancasila
bukan temuannya, tapi nilai-nilai yang diam dalam sanubarinya masyarakat
Indonesia. Pancasila cerminan kehidupan rakyat Indonesia. Tentu saja ada alasan
mendasar jika Soekarno lalu memeras kelima sila dari Pancasila itu menjadi satu
sila, yakni “gotong royong”.
Ini karena gotong royong merupakan karakter
utama bangsa Indonesia. Semangat gotong royong mencerminkan kuatnya solidaritas
nasional Indonesia. Solidaritas diartikan sebagai semangat kepedulian
seseorang, kelompok, atau masyarakat. Itulah yang menumbuhkan sikap-sikap
kepahlawanan, kerelaan berkorban dan kesediaan untuk ikut merasakan dan
membantu orang lain.
Bila semangat gotong royong ini diarahkan
kepada pencapaian tujuan bersama – pemenuhan kepentingan-kepentingan yang
mengarah kepada kesejahteraan sesungguhnya dari komunitas yang lebih besar,
maka itu akan memampukan mereka yang miskin berpartisipasi menciptakan
kesejahteraan mereka.
Pembangunan berkeadilan tidak akan
meninggalkan orang-orang miskin begitu saja, tetapi menopang si miskin untuk
menciptakan kondisi-kondisi politik, ekonomi dan sosial untuk berpartisipasi
dalam mengejar kebaikan bersama.
Pembangunan berkeadilan mengutamakan manfaat
bagi semua. Tepatlah apa yang dikatakan John Rawls, “Ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sehingga
ketidaksamaan-ketidaksamaan itu: (a) untuk kebaikan terbesar bagi yang paling
kurang beruntung (miskin), (b) diletakkan pada jabatan-jabatan dan
posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dengan syarat-syarat kesempatan
yang sama dan adil.”
Kebijakan Afirmasi
Memperlakukan si miskin sama dengan si kaya
jelas tidak adil. Si miskin mesti diperlakukan berbeda dengan si kaya, tentunya
tanpa menegasikan prinsip kesamaan. Ketidaksamaan dalam distribusinya
dibenarkan, asalkan bisa memperbaiki posisi si miskin. Ketidaksamaan dalam
distribusinya bertujuan agar orang-orang dengan keberuntungan yang tidak sama
benar-benar menikmati kesamaan (equal
liberty).
Prinsip “kesamaan” tidak sama bobotnya dengan
“prinsip perbedaan”. John Rawls berpendapat dalam “tatanan leksikal”, prinsip
“kesamaan” lebih dulu daripada prinsip yang mengatur
ketidaksamaan-ketidaksamaan ekonomi dan sosial.
Kebebasan bisa dibatasi hanya demi kebebasan,
bukan demi keuntungan-keuntungan sosio-ekonomi. Ketidaksamaan-ketidaksamaan di
dalam distribusinya harus dilaksanakan dalam arti positif, yaitu menopang si
lemah, bukan dalam arti negatif yaitu melemahkan yang kuat.
Mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi
di negeri ini, demikian juga si kaya mesti merenungkan apa yang pernah
dikatakan Sanjit Bunker Roy, pendiri Barefoot
College, simbol masyarakat miskin India, dan memiliki cabang di sejumlah
negara di dunia, dan telah membantu ribuan kaum marginal untuk menggapai hidup yang lebih baik,
“Bagaimana
mungkin seorang yang berpendidikan tinggi bisa menjadi orang yang congkak?
Orang yang berpendidikan tinggi yang mampu meraih suatu pendidikan yang baik
sering kali tak mau berbagi dengan orang-orang di sekitar mereka.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar