Dari
Uighur ke Rohingya
Rakhmat Hidayat ; Dosen
Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Mahasiswa PhD Departemen Ilmu
Pendidikan Université Lumière Lyon 2 Prancis
Sumber : REPUBLIKA,
22 Juni 2012
Kisah
diskriminasi terhadap minoritas Muslim kembali terjadi seolah menjadi catatan
kelabu dalam sejarah kehidupan umat manusia. Peristiwa tersebut terjadi pada
Muslim Rohingya di Myanmar. Seperti diberitakan Republika Online (15/06/2012), sekitar 25 orang tewas dan 41 lainnya
terluka dalam kerusuhan lima hari antara umat Buddha dan Muslim Rohingya di
negara bagian Rakhine. Sekitar 1.600 rumah Muslim Rohingya juga dibakar.
Peristiwa
ini sebenarnya sudah terjadi sejak awal Juni 2012. Sayangnya, peristiwa ini
kalah gegap gempitanya oleh perhelatan Piala Eropa 2012 dan forum KTT Rio+20 di
Brasil pada 2022 Juni 2012. Tragedi berdarah yang dialami Muslim Rohingya
kembali mengingatkan kita pada kaum minoritas Uighur di Provinsi Xianjing,
Cina, pada 2009 maupun tragedi yang terjadi pada minoritas Pattani, Thailand.
Seperti
diketahui bahwa sekitar 80 ribu warga Muslim Rohingya tinggal di wilayah
Myanmar. Oleh Pemerintah Myanmar, warga Muslim Rohingya tersebut tidak diakui
sebagai warga negara Myanmar karena perbedaan ras, etnis, fisik, dan kebudayaan
mereka. Akibatnya, sering terjadi kekerasan sektarian kepada mereka. Peristiwa
seperti ini memang kerap terjadi pada kelompok minoritas oleh dominasi
mayoritas.
Kasus-kasus
seperti ini meskipun secara kasat mata terjadi pada kelompok Muslim Rohingya
dan masyarakat Buddha Myanmar, sesungguhnya tak sekadar bermotif agama. Tetapi,
menjadi problem hak asasi manusia yang memprihatinkan narasi sosial-ekonomi
masyarakat dunia. Kita akan selalu dihadapkan pada timpangnya relasi sosial
politik yang menunjukkan adanya tirani mayoritas.
Masalah Identitas Kolektif
Pada 2009, kita juga dihentakkan dengan
peristiwa sejenis yang dirasakan warga Muslim Uighur di Provinsi Xianjiang, Cina.
Mereka bentrok dengan etnis Han yang menjadi mayoritas. Menurut laporan resmi
Pemerintah Cina, sebanyak 184 warga menjadi korban. Populasi Muslim Rohingya di
Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut
yang mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada
dokumen “Images Asia: Report on The
Situation for Muslims in Burma” pada Mei 1997. Dalam laporan tersebut,
jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka tujuh juta jiwa.
Eksistensi
minoritas di Rohingya maupun Uighur sejatinya juga terkait dengan problem
identitas yang menjadi masalah penting bagi rezim berkuasa. Kulit etnis
Rohingya yang lebih gelap membuat mereka mudah dikenali. Secara fisik dan
budaya, mereka memang lebih mirip dengan orang-orang Benggali. Problemnya
adalah identitas kolektif kecinaan lebih dianggap sebagai representasi
sosial-politik yang dominan bagi keberlangsungan pemerintahan tersebut. Ini
menunjukkan marginalisasi identitas sosial-kultural dalam ranah sosial-budaya
Myanmar.
Akibatnya,
terdapat dua kebudayaan yang paradoks dalam budaya masyara kat Myanmar. Muslim
di Rohingya menjadi seperti orang asing di kampung sendiri. Problemnya,
identitas kolektif ke myanmaran lebih dianggap sebagai representasi sosial-politik
yang dominan bagi keberlangsungan rezim berkuasa. Identitas Rohingya berbeda
dengan mainstream identitas kolektif
Myanmar. Singkatnya, Rohingya bukan Myanmar.
Isu HAM
Persoalan identitas seperti yang dialami
masyarakat Rohingya tidak sekadar problem Islam. Ini sudah menjadi masalah
global yang dialami masyarakat dunia. Persoalan identitas ini juga sering
terjadi dalam dunia sepak bola. Tak terkecuali ajang Piala Eropa yang juga
menunjukkan diskriminasi terhadap pemain maupun suporter berkulit hitam.
Tragedi Rohingya menunjukkan betapa kuatnya
distorsi politik identitas rezim Myanmar yang menghegemoni ke kuasaannya.
Persoalan Islam hanyalah kebetulan ini terjadi pada komunitas yang terjadi pada
masyarakat Rohingya. Jika menunjuk pada kasus lain, sebenarnya juga terjadi diskriminasi
terhadap kulit hitam di Amerika Serikat pada 1960-an. Diskriminasi identitas
adalah prinsip fundamental dalam relasi sosial-ekonomi.
Sayangnya,
kasus seperti yang dialami masyarakat Uighur maupun Rohingya bukan isu seksi
bagi media maupun pegiat-pegiat demokrasi dan hak asasi manusia, baik di
Indonesia maupun mancanegara. Di Tanah Air, belum ada aktivis HAM yang bersuara
keras terhadap peristiwa ini. Padahal, beberapa aktivis demokrasi maupun pegiat
HAM dikenal lantang suaranya menyuarakan aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok
minoritas di negeri ini.
Kasus
Rohingya juga menjadi tamparan keras terhadap transisi demokrasi yang
berlangsung di Myanmar. Sekitar dua tahun terakhir berlangsung proses transisi
demokratisasi di Myanmar. Hal itu ditandai dengan dibebaskannya pejuang
demokrasi Aung San Suu Kyi atau dibukanya kebebasan berbicara bagi rakyat.
Bahkan, partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang meng usung Suu Kyi berhasil
memenangkan pemilihan sela pada 1 April lalu.
Suu
Kyi sebagai ikon pembebasan Myanmar dari belenggu tiranisme junta militer
Myanmar seharusnya dapat mengartikulasikan kelompok-kelompok marginal non-mainstream di luar kelompok
politiknya. Kelompok Rohingya di sebut non-mainstream
karena secara sosial-politik tidak punya keterlibatan masif dengan gerakan yang
diusung Suu Kyi. Meski demikian, sebagai korban dari tirani militer tersebut,
pada dasarnya aspirasi mereka sama, yaitu mengartikulasikan kebebasan dan
kemerdekaan masyarakat sipil.
Pada
level ini, kasus Rohingya menjadi tantangan Suu Kyi yang dikenal sebagai tokoh
utama perjuangan HAM di Myanmar, khususnya, dan dunia secara umum. Suu Kyi
dihadapkan pada tantangan reputasinya untuk mengakomodasi isu yang ada di
negaranya sendiri. Apalagi Suu Kyi baru saja diberikan nobel perdamaian pada 16
Juni 2012 di Oslo, Norwegia.
Kasus
Rohingya juga menjadi pelajaran penting bagi Indonesia sebagai negara mayoritas
Muslim dalam mengayomi berbagai kelompok minoritas. Meski distorsi identitas
tidak terjadi, tetapi sangat rentan dihadapkan dengan berbagai praktik-praktik
yang dapat menodai relasi sosial-kultural yang harmonis. ●
PERNYATAAN SIKAP
BalasHapusLBH BUDDHIS INDONESIA MENGUTUK KERAS TINDAKAN PEMERINTAH MYANMAR DAN UMAT BUDDHA MYANMAR TERHADAP MUSLIM ROHINGYA KARENA TIDAK SESUAI AKIDAH AGAMA BUDDHA YANG PENUH WELAS ASIH DAN CINTA KASIH
Jakarta, 22 Juli 2012
Budiman, SH.
Ketua LBH Buddhis Indonesia
Hp. 0818769391 – 081389696926 – 085814181866 – (021) 33370647 – website : www.lbhbuddhis.com