Sabtu, 23 Juni 2012

Dari Uighur ke Rohingya


Dari Uighur ke Rohingya
Rakhmat Hidayat ;  Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Mahasiswa PhD Departemen Ilmu Pendidikan Université Lumière Lyon 2 Prancis
Sumber :  REPUBLIKA, 22 Juni 2012


Kisah diskriminasi terhadap minoritas Muslim kembali terjadi seolah menjadi catatan kelabu dalam sejarah kehidupan umat manusia. Peristiwa tersebut terjadi pada Muslim Rohingya di Myanmar. Seperti diberitakan Republika Online (15/06/2012), sekitar 25 orang tewas dan 41 lainnya terluka dalam kerusuhan lima hari antara umat Buddha dan Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine. Sekitar 1.600 rumah Muslim Rohingya juga dibakar.

Peristiwa ini sebenarnya sudah terjadi sejak awal Juni 2012. Sayangnya, peristiwa ini kalah gegap gempitanya oleh perhelatan Piala Eropa 2012 dan forum KTT Rio+20 di Brasil pada 2022 Juni 2012. Tragedi berdarah yang dialami Muslim Rohingya kembali mengingatkan kita pada kaum minoritas Uighur di Provinsi Xianjing, Cina, pada 2009 maupun tragedi yang terjadi pada minoritas Pattani, Thailand.

Seperti diketahui bahwa sekitar 80 ribu warga Muslim Rohingya tinggal di wilayah Myanmar. Oleh Pemerintah Myanmar, warga Muslim Rohingya tersebut tidak diakui sebagai warga negara Myanmar karena perbedaan ras, etnis, fisik, dan kebudayaan mereka. Akibatnya, sering terjadi kekerasan sektarian kepada mereka. Peristiwa seperti ini memang kerap terjadi pada kelompok minoritas oleh dominasi mayoritas.

Kasus-kasus seperti ini meskipun secara kasat mata terjadi pada kelompok Muslim Rohingya dan masyarakat Buddha Myanmar, sesungguhnya tak sekadar bermotif agama. Tetapi, menjadi problem hak asasi manusia yang memprihatinkan narasi sosial-ekonomi masyarakat dunia. Kita akan selalu dihadapkan pada timpangnya relasi sosial politik yang menunjukkan adanya tirani mayoritas.

Masalah Identitas Kolektif

Pada 2009, kita juga dihentakkan dengan peristiwa sejenis yang dirasakan warga Muslim Uighur di Provinsi Xianjiang, Cina. Mereka bentrok dengan etnis Han yang menjadi mayoritas. Menurut laporan resmi Pemerintah Cina, sebanyak 184 warga menjadi korban. Populasi Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen “Images Asia: Report on The Situation for Muslims in Burma” pada Mei 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka tujuh juta jiwa.

Eksistensi minoritas di Rohingya maupun Uighur sejatinya juga terkait dengan problem identitas yang menjadi masalah penting bagi rezim berkuasa. Kulit etnis Rohingya yang lebih gelap membuat mereka mudah dikenali. Secara fisik dan budaya, mereka memang lebih mirip dengan orang-orang Benggali. Problemnya adalah identitas kolektif kecinaan lebih dianggap sebagai representasi sosial-politik yang dominan bagi keberlangsungan pemerintahan tersebut. Ini menunjukkan marginalisasi identitas sosial-kultural dalam ranah sosial-budaya Myanmar.

Akibatnya, terdapat dua kebudayaan yang paradoks dalam budaya masyara kat Myanmar. Muslim di Rohingya menjadi seperti orang asing di kampung sendiri. Problemnya, identitas kolektif ke myanmaran lebih dianggap sebagai representasi sosial-politik yang dominan bagi keberlangsungan rezim berkuasa. Identitas Rohingya berbeda dengan mainstream identitas kolektif Myanmar. Singkatnya, Rohingya bukan Myanmar.

Isu HAM

Persoalan identitas seperti yang dialami masyarakat Rohingya tidak sekadar problem Islam. Ini sudah menjadi masalah global yang dialami masyarakat dunia. Persoalan identitas ini juga sering terjadi dalam dunia sepak bola. Tak terkecuali ajang Piala Eropa yang juga menunjukkan diskriminasi terhadap pemain maupun suporter berkulit hitam.

Tragedi Rohingya menunjukkan betapa kuatnya distorsi politik identitas rezim Myanmar yang menghegemoni ke kuasaannya. Persoalan Islam hanyalah kebetulan ini terjadi pada komunitas yang terjadi pada masyarakat Rohingya. Jika menunjuk pada kasus lain, sebenarnya juga terjadi diskriminasi terhadap kulit hitam di Amerika Serikat pada 1960-an. Diskriminasi identitas adalah prinsip fundamental dalam relasi sosial-ekonomi.

Sayangnya, kasus seperti yang dialami masyarakat Uighur maupun Rohingya bukan isu seksi bagi media maupun pegiat-pegiat demokrasi dan hak asasi manusia, baik di Indonesia maupun mancanegara. Di Tanah Air, belum ada aktivis HAM yang bersuara keras terhadap peristiwa ini. Padahal, beberapa aktivis demokrasi maupun pegiat HAM dikenal lantang suaranya menyuarakan aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas di negeri ini.

Kasus Rohingya juga menjadi tamparan keras terhadap transisi demokrasi yang berlangsung di Myanmar. Sekitar dua tahun terakhir berlangsung proses transisi demokratisasi di Myanmar. Hal itu ditandai dengan dibebaskannya pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi atau dibukanya kebebasan berbicara bagi rakyat. Bahkan, partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang meng usung Suu Kyi berhasil memenangkan pemilihan sela pada 1 April lalu.

Suu Kyi sebagai ikon pembebasan Myanmar dari belenggu tiranisme junta militer Myanmar seharusnya dapat mengartikulasikan kelompok-kelompok marginal non-mainstream di luar kelompok politiknya. Kelompok Rohingya di sebut non-mainstream karena secara sosial-politik tidak punya keterlibatan masif dengan gerakan yang diusung Suu Kyi. Meski demikian, sebagai korban dari tirani militer tersebut, pada dasarnya aspirasi mereka sama, yaitu mengartikulasikan kebebasan dan kemerdekaan masyarakat sipil.

Pada level ini, kasus Rohingya menjadi tantangan Suu Kyi yang dikenal sebagai tokoh utama perjuangan HAM di Myanmar, khususnya, dan dunia secara umum. Suu Kyi dihadapkan pada tantangan reputasinya untuk mengakomodasi isu yang ada di negaranya sendiri. Apalagi Suu Kyi baru saja diberikan nobel perdamaian pada 16 Juni 2012 di Oslo, Norwegia.

Kasus Rohingya juga menjadi pelajaran penting bagi Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim dalam mengayomi berbagai kelompok minoritas. Meski distorsi identitas tidak terjadi, tetapi sangat rentan dihadapkan dengan berbagai praktik-praktik yang dapat menodai relasi sosial-kultural yang harmonis.

1 komentar:

  1. PERNYATAAN SIKAP
    LBH BUDDHIS INDONESIA MENGUTUK KERAS TINDAKAN PEMERINTAH MYANMAR DAN UMAT BUDDHA MYANMAR TERHADAP MUSLIM ROHINGYA KARENA TIDAK SESUAI AKIDAH AGAMA BUDDHA YANG PENUH WELAS ASIH DAN CINTA KASIH
    Jakarta, 22 Juli 2012
    Budiman, SH.
    Ketua LBH Buddhis Indonesia
    Hp. 0818769391 – 081389696926 – 085814181866 – (021) 33370647 – website : www.lbhbuddhis.com

    BalasHapus