Jumat, 22 Juni 2012

Problematika Sistem Presidensial Kita


Problematika Sistem Presidensial Kita
Firman Noor ;  Bekerja pada Pusat Penelitian Politik LIPI dan FISIP UI 
Sumber :  KOMPAS, 22 Juni 2012


Saat ini wacana pemilu presiden tengah marak diperbincangkan. Salah satu persoalan mendasar kehidupan politik yang seharusnya tak luput dari perhatian kita adalah masa depan keberadaan sistem presidensial itu sendiri.

Hal ini terutama karena sejatinya kombinasi antara sistem presidensial dan multipartai yang kita gunakan secara empirik sebenarnya bukan kombinasi terbaik untuk menciptakan sebuah pemerintahan demokrasi yang stabil dan efektif. Kajian Scott Mainwaring mengisyaratkan, kombinasi itu terbukti gagal menciptakan demokrasi yang stabil dan efektif di 31 negara.

Alih-alih menjamin kestabilan politik dan menghasilkan pemerintahan yang efektif, yang terjadi adalah tiga skenario yang semuanya buruk.

Pertama, terjadinya deadlock antara eksekutif dan legislatif. Ini terjadi terutama karena presiden terpilih berasal dari kelompok minoritas di parlemen sehingga sulit mengegolkan kebijakan, yang akhirnya berbuntut pada macetnya program pemerintah.

Kedua, terjadinya fragmentasi ideologi politik. Ini menyebabkan tak adanya semacam ”pengubuan bipolar” yang kukuh dan seimbang, yang dapat memastikan keseimbangan politik di antara kekuatan politik yang ada.

Ketiga, sulitnya membangun koalisi eksekutif yang terkontrol dan kohesif. Hal ini terjadi mengingat demikian banyak partai yang ikut serta dalam gerbong pemerintahan dengan berbagai orientasi, idealisme, dan komitmen terselubung di dalamnya.

Dari beberapa negara penganut sistem presidensial, hanya Cile satu-satunya negara pengguna sistem multipartai yang mampu mempertahankan stabilitas politik dan demokrasi selama 25 tahun lebih. Negara lain pengguna presidensialisme yang dapat mempertahankan kehidupan demokrasinya lebih dari 25 tahun, seperti Kolombia, Kosta Rika, Uruguay, dan Venezuela, semua menganut sistem dwipartai.

Jika 25 tahun adalah ”batas usia” perjalanan kombinasi sistem presidensial dan multipartai, secara kasar dapat diprediksi sekitar 17 tahun lagi Indonesia berpotensi mengalami kekacauan politik yang sistemik. Batas usia itu bisa saja bertambah, tapi bukan tak mungkin pula terjadi dalam waktu yang lebih cepat.

Usul beberapa kalangan untuk mengubah sistem presidensial telah disampaikan guna mengantisipasi situasi ini. Kemunculan anjuran semacam itu memang masuk akal. Namun, meski peralihan dari satu sistem ke sistem lain mungkin terjadi, perubahan itu biasanya tak segera menyelesaikan inti persoalan dan justru kerap menimbulkan persoalan lain yang tidak sederhana. Faktor kesejarahan, kebiasaan atau budaya politik, kerap memicu resistensi yang kerap berkepanjangan atas hadirnya sistem yang benar-benar baru.

Langkah Antisipasi

Guna menghindari terjadi hal yang tak diinginkan itu, antisipasi atau perbaikan dari dalam tampak lebih menguntungkan untuk dijalankan. Antisipasi itu setidaknya mencakup tiga hal.

Pertama, untuk mencegah seorang presiden memperoleh ”kemenangan artifisial”—di mana presiden sejatinya tidak dapat menjalankan kebijakannya dengan mudah karena dukungan yang minim dari legislatif—maka syarat ambang batas pilpres yang tidak terlalu kecil, apalagi tidak ada, harus ditinggalkan.

Adanya ambang batas pilpres yang cukup besar diharapkan memunculkan kandidat presiden yang merupakan tokoh kaliber nasional yang teruji. Dapat diharapkan presiden bukan saja sosok yang memiliki kekuatan personal, melainkan juga punya dukungan yang luas di parlemen.

Kedua, untuk menopang sistem presidensial yang lebih efektif, sebagaimana umumnya terjadi pada sistem presidensial yang menggunakan sistem dwipartai, jumlah partai mutlak harus sedapat mungkin dibatasi. Meski tak harus menjadi penganut sistem dwipartai karena akan sulit terjadi, sistem politik kita harus mampu merasionalkan jumlah partai.

Dengan jumlah partai yang sedikit, sebuah koalisi pemerintahan diharapkan dapat lebih tertata, solid, dan bertanggung jawab. Komunikasi politik yang efektif pun akan lebih mudah terbangun dan intens.

Selain itu, partai-partai juga akan lebih terdorong untuk melakukan perbaikan kualitas dan lebih menata langkahnya di parlemen secara bertanggung jawab. Hal ini penting karena tanpa adanya dorongan semacam ini bukan tidak mungkin partai dapat melakukan serentetan langkah serampangan yang membahayakan stabilitas pemerintahan, termasuk menciptakan berbagai kebuntuan yang dapat menyulitkan eksekutif menjalankan program-programnya.

Ketiga, penguatan dan perluasan pelembagaan partai politik, terutama dalam hal kaderisasi. Sebagai sarana pendidikan politik, perekrutan internal dan pengisian jabatan publik kaderisasi memainkan peran vital.

Kaderisasi yang baik tidak saja menghasilkan sosok politisi yang matang dan mampu memimpin lembaga eksekutif secara layak, tetapi juga melahirkan politisi yang mampu berperan sebagai penyeimbang eksekutif yang efektif. Tentu dengan semangat mengedepankan kepentingan rakyat. Kualitas demikian amat dibutuhkan untuk menjauhkan terciptanya pola hubungan yang tak sehat antara eksekutif dan legislatif, yang pada gilirannya berpotensi menghambat stabilitas dan efektivitas pemerintahan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar